Dampak Positif Konflik dalam Organisasi
PENDAHULUAN
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari subsistem yang saling berkaitan atau saling tergantung satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik.
Konflik dapat mengakibatkan keuntungan dan kerugian, maka konflik harus dikelola secara tepat, membutuhkan pengenalan terhadap keuntungan dan kerugiannya. Apabila konflik dihilangkan, organisasi akan kehilangan manfaatnya, sebaliknya bila dibiarkan berkembang liar, konflik akan tidak terkendali dan merugikan organisasi. Konflik dapat mengakibatkan keuntungan, maupun kerugian. Karenanya, manajer perlu mengetahui keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh konflik.
Berdasarkan fungsinya, Robbins (2007:449) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi performa dan pencapaian tujuan kelompok. Disini lebih membahas kepada konflik functional yang menjadi sebuah keuntungan dan manfaat bagi organisasi.
Makalah ini mencoba untuk menyajikan dampak positif yang akan didapatkan jika ada konflik dalam organisasi dan kapan konflik dibutuhkan di dalam organisasi. Pembahasan dilakukan secara teoretis dengan menggunakan beberapa referensi yang tersedia.
PENGERTIAN KONFLIK
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Pengertian lainnya, Konflik menurut Rue dan Byar disebutkan bahwa konflik adalah suatu kondisi perilaku yang tidak tersembunyi atau tidak disembunyikan dimana satu pihak ingin memenangkan kepentingannya sendiri diatas kepentingan pihak lain (Basalamah 2004, 275).
Robbins (2007, 447) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa sebuah proses yang dimulai ketika salah satu pihak yang lain telah terkena dampak negatif, atau tentang pengaruh negatif, sesuatu yang pihak pertama yang pedulikan.
PENYEBAB KONFLIK
Menurut Robbins (2007, 449), konflik muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
Dalam negosiasi terdapat banyak hal yang bisa menyebabkan konflik (Jackman 2005, 72). Berikut ini dipaparkan beberapa contoh penyebab konflik dalam negosiasi :
1. Ketika satu pihak atau lebih menolak untuk bergerak dari posisi awal negosiasi.
2. Lebih fokus kepada orang dan posisi daripada masalah yang ada.
3. Adanya agenda tersembunyi atau rasa saling tidak percaya terhadap motivasi pihak lawan.
4. Manipulasi dan perilaku agresif terhadap salah satu pihak atau lebih.
5. Keinginan untuk menang, tanpa mempedulikan apapun resikonya.
6. Mengejar sasaran yang terlalu tinggi dan tidak realistis.
7. Tidak bersedia meluangkan waktu untuk menjajaki posisi lawan dan/atau, adanya penolakan untuk menghargai sudut pandang lawan.
8. Kurang jelasnya peran atau tingkat otoritas.
9. Kriteria subyektif yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan atau proses pengambilan keputusan yang tidak jelas.
Dalam negosiasi seorang manajer harus dapat memahami sikapnya terhadap konflik. Pemahaman tersebut dapat berguna sebagai persiapan dan pemikiran dalam menghadapi konflik ketika konflik tersebut muncul dalam negosiasi.
PANDANGAN TENTANG KONFLIK
Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins (2007:447).
Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.
Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
STRATEGI UNTUK MERANGSANG KONFLIK
Dari hasil eksperimen Elise Boulding (dalam Winardi, 1994: 79), didapati bahwa anggota kelompok menjadi mampu menganalisis problem secara lebih efisien dan lebih luas perspektifnya, bahkan mampu memecahkan masalahnya secara lebih baik, saat di kelompok itu ada stimulator konflik (orang yang sengaja disusupkan).
Artinya, dalam sebuah organisasi, terkadang konflik harus sengaja dibangkitkan, dengan tujuan membuat kehidupan organisasi menjadi lebih dinamis, yang berujung pada kematangan organisasi. Untuk merangsang atau membangkitkan konflik, diperlukan strategi.
Wahyudi (2006:101), mengemukakan beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam bentuk Model Stimulasi Konflik, seperti : Meningkatkan persaingan dengan penawaran insentif, Menetapkan standar kinerja, Menimbulkan ketidakpastian dalam kelompok, Menyampaikan informasi yang bertentangan, Memilih pimpinan yang lebih demokratis, Melakukan pembagian tugas baru, Menyediakan penghargaan terhadap prestasi, dan Memotivasi karyawan.
Sementara itu, Stoner dan Freeman (1992: 562) dalam buku ‘Manajemen’, mengemukakan beberapa metode untuk merangsang konflik dalam organisasi, yaitu : Minta bantuan orang luar, Menyimpang dari peraturan, Menata kembali organisasi, Mendorong persaingan, dan Memilih manajer yang tepat.
Dengan menciptakan konflik, bukan berarti meretakkan keutuhan organisasi. Konflik yang tercipta sangat bermanfaat untuk memupuk perubahan dan kreativitas dalam menjajaki peluang-peluang baru, meningkatkan komunikasi dan kinerja organisasi, serta menciptakan keseimbangan kekuatan dan pengaruh, melalui kerjasama dalam teknik-teknik pemecahan masalah.
DAMPAK POSITIF KONFLIK DALAM ORGANISASI
Menyikapi tak terelakaanya konflik, maka kalau kemudian konflik ini di organisir menjadi sebuah alat dalam mengkondisikan organisasi dalam proses adaptsi atas lingkungan yang berubah. Sebagai otoritas hendaknya segera menyadari kalau hal ini tidak diatasi maka akan menjadi sebuah kebuntuan dalam konteks pertumbuhan organisasi yang diharapkan.
Beberapa prusahaan besar cenderung memelihara konflik dalam membangun organisasinya untuk menghasilkan strategi yang signifikan. Exxon mobile dengan kebijakannya “healthy Disrespect,” memanfaatkan konflik untuk menguji setiap strategi yang akan dilaksanakan hingga setiap celah dapat diatasi, minimal diantisipasi.
Manfaat konflik dibutuhkan ketika organisasi sedang mencapai kematangan (mature), pada saat mencapai kematangan maka ide-ide organisasi sulit timbul, karena ide sudah terpakai habis. Agar tidak terjadi kemunduran perusahaan maka konflik dibutuhkan untuk memunculkan ide-ide baru untuk membuat perusahaan tetap bertahan pada keadaan puncaknya, dibutuhkan strategi seperti yang sudah diungkapkan diatas untuk menimbulkan konflik yang tepat agar dapat membawa manfaat bagi organisasi
Beberapa keuntungan konflik dapat dirumuskan seperti :
1. Konflik sebagai pengembang daya dan semangat kerja (menghasilkan energi jika dihadapkan pada saingan).
2. Memiliki nilai diagnosis (merupakan alat deteksi dini, bagi masalah yang akan segera muncul).
3. Pemacu kreativitas (dalam pencarian solusi yang baru dan kreatif terhadap permasalahan yang dihadapi).
4. Memfokuskan pada tugas (konflik merangsang para pelaku bekerja lebih keras untuk menyelesaikan tugas yang sedang dilaksanakan).
5. Sebagai umpan balik (menyetel persepsi terhadap realitas), sebagai empowerment (pendorong kelompok yang tadinya tidak aktif menjadi lebih aktif menyodorkan ide untuk menyelesaikan masalah).
6. Sebagai katup pengaman (jika muncul konflik yang lebih intens)
7. Berfungsi sebagai pancing (untuk memancing wacana-wacana yang cemerlang dan penting bagi organisasi).
8. Sebagai alat pembelajaran (dalam menyampaikan pandangan dengan jelas), dan mendorong ke arah perubahan (katalis perubahan).
Pickering (2000 : 3), meringkas beberapa manfaat konflik dalam organisasi sebagai berikut :
1. Menambah motivasi
2. Mempertinggi problem
3. Kepaduan group
4. Pencocokan yang real
5. Menambah skil pengetahuan
6. Mempertinggi kreatifitas
7. Berkontribusi untuk tercapainya tujuan
8. Pendorong untuk pertumbuhan.
Begitu juga dengan Nelson dan Quick (1977 : 178) yang menyebut kosekwensi positif dari konflik antara lain :
1. Menuju ide baru
2. Merangsang kreatifitas
3. Perubahan motivasi
4. Menaikkan kekuatan organisasi
5. Membantu individual dan group membuat identitas
6. Menyajikan sebagai nilai aman untuk menunjukkan problem.
PENUTUP
Pada saat ini konflik tidak hanya merupakan hal-hal negative yang dapat membuat organisasi hancur atu merupakan hal yang biasa terjadi di organisasi, tetapi konflik dapat membawa manfaat jika dikelola dengan baik. Konflik dibutuhkan manfaatnya untuk membuat organisasi tetap bertahan pada posisi puncaknya dan agar dapat mencegah kemunduran organisasi.
Timbulnya konflik dapat terjadi secara tidak sengaja di dalam organisasi dan dapat kita rangsang ketika perusahaan dalam masa puncaknya dan mencapai kenyamanan di dalam organisasi, jika tidak dirangsang dan organisasi nyaman pada masa itu maka dapat menyebabkan organisasi tidak kreatif dan lama kelamaan dapat menyebabkan kemunduran organisasi.
Banyak manfaat konflik seperti menimbulkan ide-ide baru pada saat perusahaan nyaman dengan ide lamanya, menambah persaingan sehat, menambah motivasi tenaga kerja dan banyak seperti yang sudah disebutkan di dalam dampak positif konflik.
REFERENSI
http://sukasayurasem.wordpress.com/2009/01/04/konflik-dalam-organisasi/
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-juanita3.pdf
Robbins, Stephen P., 2007. Organizational Behavior twelfth edition.
No comments:
Post a Comment