Showing posts with label sosial. Show all posts
Showing posts with label sosial. Show all posts

PERSEPSI TENTANG DIRI SESEORANG (Psikologi Sosial)

 PEMBENTUKAN KESAN

Ciri Khas

§ Evaluasi senang atau tidak senang: merupakan dimensi dasar terpenting dalam persepsi seseorang terhadap orang lain (Rosenberg, Nelson, dan Vivekanantahan, dalam Sears dkk 1994)

§ Proses pembentukan sering bersifat mekanis, cenderung hanya mencerminkan sifat orang lain yang diamati. 

Model Pembentukan Kesan Menyeluruh

§ MODEL MERATA-RATAKAN: kumpulan informasi mengenai sisi positif dan negatif  digabungkan dan dirata-ratakan. (merupakan cara evaluasi yang terbaik)

§ MODEL MENAMBAHKAN: pengamat menilai orang lain dengan kaca mata positif, sehingga penilaian cenderung tinggi.

Konsistensi Kesan

Orang cenderung membentuk kesan atas karakteristik orang lain  secara konsisten, kendati dengan sedikit informasi.

Prinsip ini mengandung bias dalam penilaian:

IMPLICIT PERSONALITY THEORY  

Contoh: Jika seseorang ramah, berarti sekaligus murah hati, rendah hati, toleran, dsb.

HALLO EFFECT

 Contoh: Orang yang buruk selamanya dianggap buruk


PENDEKATAN KOGNITIF

Ini merupakan alternatif dari pendekatan mekanis tsb di atas dalam pembentukan kesan.

Dalam pendekatan ini pengamat tidak hanya mempertimbangkan penggalan-penggalan informasi secara terpisah, melainkan berupaya menyimpulkan kesan tentang seseorang secara keseluruhan. Hal ini memiliki implikasi tertentu:

KONTEKS

Setiap karakteristik akan diberi makna berbeda jika konteksnya berbeda.

CENTRAL TRAIT

Beberapa ciri yang melekat pada seseorang diasumsikan lebih berarti daripada ciri lainnya.

Misalnya, seseorang yang digambarkan memiliki ciri-cir: rajin, tekun, teliti, dingin, bertanggungjawab.  Orang tsb cenderung dinilai negatif karena adanya ciri “dingin” (dianggap penting!) meski memiliki ciri-ciri lain yang positif.

 KEAKURATAN PENILAIAN

§ Penilaian terhadap ciri-ciri lahiriah dapat lebih akurat

§ Konteks yang melatarbelakangi lebih mempermudah penilaian agar lebih akurat

§ Penilaian terhadap keadaan internal (perasaan, emosi, kepribadian, motivasi, dsb) lebih sulit, cenderung kurang akurat.

KOMUNIKASI NON-VERBAL

Manusia mengkomunikasikan diri sendiri melalui dua saluran: komunikasi verbal (dengan pembicaraan) dan komunikasi non verbal.

Komunikasi non-verbal adalah aktivitas menyampaikan informasi tanpa mempergunakan bahasa. Terdapat dua saluran komunikasi non-verbal:

§ Yang kelihatan: JARAK FISIK, ISYARAT, KONTAK MATA

§ Parabahasa : Parabahasa merupakan keragaman berbicara yang berbeda dari kata-kata actual atau tata-kalimat, yang memuat banyak arti, mencakup: NADA SUARA, KERAS LEMBUT SUARA, IRAMA NAIK TURUNNYA SUARA, SIKAP RAGU MENYAMPAI-KAN INFORMASI. 

MASALAH PENIPUAN

§ Untuk mengetahui apakah seseorang berbohong, petunjuk yang dapat digunakan adalah petunjuk verbal dan non-verbal.

§ Apabila seseorang berbohong secara verbal (dengan kata-katanya) maka dapat digunakan petunjuk non-verbal. Hal ini karena saluran non-verbal lebih sulit untuk dikendalikan sehingga mudah “bocor”.

§ Mereka yang menipu biasanya menunjukkan ekspresi cemas, tegang, dan gugup melalui saluran parabahasa. Misalnya, rata-rata nada suaranya lebih tinggi bila dibanding ketika tidak berbohong (Ekman et al, 1976; Krauss et al, 1976).

____________________________________________

Sumber:

Sears, David, O., Freedman, J.L., Peplau, L.A. 1994. Psikologi Sosial.Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

 

KOGNISI SOSIAL (Psikologi Sosial)

KOGNISI SOSIAL

Pendekatan utama dalam Psikologi Sosial justru menekankan pentingnya proses kognitif. Dalam konteks persepsi manusia, hal ini dinamakan KOGNISI SOSIAL. Yang menjadi inti pendekatan ini adalah:

  • Bahwa persepsi manusia merupakan proses kognitif, yaitu: Orang merupakan pengamat yang mengorganisasi secara aktif, yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk mengembangkan kesan yang terpadu dan berarti, bukan sekedar rasa suka dan benci.
  • Kemampuan pemrosesan kita terbatas sehingga menggunakan serangkaian jalan pintas kognitif.

 Berikut adalah empat gagasan umum yang sudah dikembangkan dalam riset-riset kognisi social, dimulai dari yang paling sederhana:

  1. Memproses informasi tentang orang, termasuk pengamatan atas beberapa arti yang melekat pada objek.
  2. Para pengamat cenderung memberikan perhatian khusus teradap bagian yang paling menonjol.
  3. Kita menyusun bidang perceptual dengan mengkategorikan stimulus
  4. Kita melihat stimulus sebagai bagian dari struktur. Masing-masing stimulus cenderung mempunyai hubungan dengan stimulus lainnya menurut waktu, ruang, dan arus sebab-akibat. 


KEMENONJOLAN

Apa yang menentukan penonjolan sebuah petunjuk dibandingkan petunjuk yang lain?

· KECERAHAN (brightness)

· KEBISINGAN (noise)

· GERAKAN (movement)

· SESUATU YANG BARU (novelty)

Bagaimana penonjolan mempengaruhi persepsi?

· Memberikan tanggapan kepada stimuli paling menonjol tanpa memproses semua informasi.

· Orang yang lebih meninjol dipandang lebih berpengaruh atas konteks sosialnya.

· Evaluasi terhadap seseorang yang menonjol biasanya lebih ekstrim daripada evaluasi terhadap orang yang kurang menonjol.

· Kemenonjolan meningkatkan keterpaduan kesan.

KATEGORISASI

Dalam mengkategorikan orang:

· Mengkategorikan berdasarkan persamaan alamiah dalam penampilannya ( jenis kelamin: pria-wanita, rambut: panjang-pendek, jenis pakaian: murah-mahal, dsb)

· Melakukan pengelompokan social (berdasarkan ras, dsb)

· Mengkategorikan berdasarkan Prototipe, yaitu  berdasarkan persamaan seseorang dengan contoh ideal. Misal, orang yang berpakaian bagus dianggap sebagai orang kaya.

Diskriminasi antar kelompok

Berbagai telaah menunjukkan bawa tindakan mengkategorisasikan dapat mengasilkan diskriminasi jika tindakan itu melibatkan pengkategorian orang menjadi KAMI (IN-GROUP) dan MEREKA (OUT-GROUP). In-group adalah kelompok dimana “saya” menjadi anggota , dan out-group adalah kelompok dimana “saya” tidak menjadi anggota.

Kategorisasi semacam ini menjurus pada favoritisme (penilaian positif) terhadap in-group dan diskriminasi (penilaian negatif) terhadap out-group.

Konsekuensi kategorisasi:

· Mempercepat waktu pemrosesan informasi

· Menyederhanakan dan mempermudah pemrosesan

· Dapat mengarah pada kesalahan persepsi

SKEMA

Definisi:

Serangkaian pemahaman yang teratur dan berstruktur, mencakup pengetahuan mengenai objek dan hubungan antar berbagai informasi (Taylor & Crocker dalam Sears et.al.1994)

Isi skema

TEORI TENTANG TIPE KEPRIBADIAN, SIKAP, STEREOTIP TTG KELOMPOK, PERSEPSI JENIS KEJADIAN.

Fungsi skema:

· Membantu dalam memproses informasi yang rumit dengan menyederhanakan dan menyusunnya

· Membantu dalam mengingat dan menyusun detil

· Mempercepat waktu pemrosesan

· Mengisi kesenjangan pengetahuan

· Membantu menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi baru

Jenis-jenis skema

· Skema tentang pribadi seseorang (®teori kepribadian implisit). Misal, Abraham Lincoln memiliki kepribadian sangat teliti, jujur, serius dalam menjalankan tugas, dan peduli terhadap orang yang lemah. Sifat-sifat tersebut dinilai saling berubungan.

· Skema tentang diri pribadi. Misal, menggambarkan diri sebagai orang yang mandiri, tegas, dst.

· Skema untuk kelompok (®stereotip). Stereotip adalah pemberian label ciri-ciri khusus terhadap kelompok tertentu (kelompok ras/etnis, agama, jenis kelamin, dsb). Misal, menganggap orang kulit hitam sebagai orang yang bodoh, pemabuk, dsb.

· Skema peran. Misal, peran guru adalah menyampaikan materi pelajaran, memberi latihan, menguji kemampuan siswa, dsb.

· Skema tentang kejadian (serangkaian standar kejadian). Misalnya, jajan (makan) di restoran fast-foot, meliputi antri, memilih menu, memesan, membayar, lalu menyantap makanan pesanan.

Perbedaan individual

· Ada orang yang berpikir skematik, ada yang tidak

· Ada beberapa skema yang dianut secara luas:

Teori kepribadian implicit

Stereotip ras dan etnik

· Ada skema yang bersifat individual (tidak dianut bersama)

· Ada skema kelompok: berbagai kelompok yang berbeda memiliki skema yang berlainan tentang urutan perilaku

PEMROSESAN SKEMATIK

Keuntungan yang diperoleh:  (lihat fungsi skema!)

Kendala-kendala:

· Kecenderungan menerima informasi baru hanya jika informasi tersebut sesuai untuk mengisi kesenjangan pikiran dengan menambahkan unsure-unsur yang sesuai dengan skema.

· Penyusunan cenderung kita buta terhadap ketidakkonsistenan

· Penyederhanaan yang berlebih-lebian

· Abstraksi menjauhkan kita dari realitas kongkrit

· Stereotip dapat berbahaya

· Teori kepribadian implicit dapat menjurus ke kesalahan

· Dapat menjerumuskan ke interpretasi yang keliru, prediksi yang tidak akurat, dan cara respon yang kaku.

 _____________________________________________________________

Sumber:

Sears, David, O., Freedman, J.L., Peplau, L.A. 1994. Psikologi Sosial.Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Atribusi ( Kesimpulan Tentang Orang lain)

ATRIBUSI

Untuk menilai orang lain berdasarkan sifat-sifat, tujuan, atau kemampuan tertentu, mengharuskan kita untuk membuat atribusi atau kesimpulan tentang mereka. Karena kita tidak memiliki akses tentang pikiran-pikiran pribadi, motif, ataupun perasaan orang lain, kita membuat kesimpulan tentang sifat-sifat mereka berdasarkan perilaku yang dapat kita amati. Dengan membuat atribusi semacam itu kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam meramalkan apa yang diperbuat oleh orang tersebut di kemudian hari.
Secara sederhana Atribusi sering diartikan sebagai kesimpulan tentang sebab-sebab perilaku seseorang.
Terdapat beberapa pendekatan berlainan yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses atribusi. Tiap-tiap pendekatan memiliki prinsip dasar untuk menyimpulkan sebab-sebab perilaku.

1.  Psikologi Naif dari Heider
Minat Psikologi Sosial terhadap proses atribusi diawali dengan teori Fritz Heider (l958), yang peduli tentang usaha kita untuk memahami arti perilaku orang lain, khususnya bagaimana kita mengidentifikasi sebab-sebab tindakannya. 
Secara umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces), seperti kemampuan atau usaha, atau oleh daya-daya lingkungan (environmental forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu tindakan diatribusi sebagai  daya personal, akibatnya akan berbeda dengan tindakan yang diatribusi sebagai daya lingkungan.  Misalnya, andaikan kita sedang antre utuk membeli tiket di Gedung Bioskop, tiba-tiba seorang laki-laki tinggi-besar menabrak kita. Kita mungkin mengatribusinya sebagai daya pribadi (kita simpulkan sebagai kesengajaan dari laki-laki itu untuk menyakiti kita). Jika demikian, kita akan marah atau sakit hati. Namun jika kita mengatribusi peristiwa tersebut disebabkan daya lingkungan (misalnya kita simpulkan sebagai kecelakaan karena laki-laki tersebut tersandung karpet yang tidak rata), maka kita akan memaafkan laki-laki tersebut atau bersikap ramah terhadapnya. 
Kita menyimpulkan (mengatribusi) suatu tindakan disebabkan daya personal hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan, dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian atribusi kita, kita beranggapan bahwa hal tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakannya di masa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita mengatribusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalakan tindakan-tindakannya di masa yang akan datang.

2. Teori Atribusi dari Kelley
Teori atribusi dari Harold Kelley (1967, 1973) ini merupakan perkembangan dari teori Heider. Seperti Heider, fokus teori ini adalah bagaimana caranya menentukan, apakah tindakan tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi karena adanya sebab, Oleh sebab itu Kelly mengajukan suatu cara untuk mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada  penyebab tindakan, apakah daya internal atau daya eksternal. 
Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang kita gunakan untuk memutuskan hal tersebut:  (a) Konsistensi (consistency) respon dalam berbagai waktu dan situasi, yaitu sejauh mana respon tertentu selalu terjadi pada saat hadirnya stimulus atau keadaan tertentu; (b) Informasi konsensus (consensus information), yaitu sejauh mana orang-orang lain merespon stimulus yang sama dengan cara yang sama dengan orang yang kita atribusi; (c) Kekhususan (distinctiveness), yaitu sejauh mana orang yang kita atribusi tersebut memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai stimulus yang kategorinya sama. 
Kombinasi antara konsistensi yang tinggi, konsensus yang tinggi, dan kekhususan yang tinggi, menghasilkan atribusi eksternal; sedangkan konsistensi yang tinggi dikombinasi dengan konsensus yang rendah dan kekhususan yang rendah, menghasilkan atribusi internal.

Contoh:
Umpamakan anda mencari restoran yang baik, dan seorang teman anda mengusulkan sebuah restoran Perancis. Bagaimana cara anda mengetahui, apakah usul teman anda itu karena faktor eksternal (atribusi eksternal) yaitu karena restoran itu sendiri memang baik; ataukah karena faktor personal (atribusi internal) yaitu karena sifat-sifat pribadi teman anda-lah yang menentukan pilihannya tersebut.  Jika anda menanyakan perihal restoran Perancis yang disarankan teman anda tersebut kepada beberapa orang yang lain dan ternyata mereka juga berpendapat bahwa restoran tersebut memang baik (konsensusnya tinggi); dan jika anda ketahui bahwa teman anda tersebut tidak begitu suka terhadap restoran-restoran yang lain, termasuk restoran-restoran Perancis yang lain (kekhususannya tinggi); dan jika teman anda tersebut telah berkunjung lebih dari satu kali ke restoran yang disarankannya dan selalu suka terhadap restoran tersebut (konsistensinya tinggi), maka anda akan membuat atribusi eksternal terhadap usulan teman anda tersebut. Artinya anda akan beranggapan bahwa restoran tersebut memang benar-benar baik, sehingga anda memilih untuk berkunjung ke sana. Di sisi lain, jika ternyata beberapa teman anda tidak menyukainya (konsensusnya rendah); dan anda tahu bahwa teman anda tersebut jarang mengatakan bahwa restoran yang lain tidak baik (kekhususannya rendah); maka anda akan membuat atribusi internal, yaitu anda beranggapan bahwa teman anda menyukai restoran tersebut hanya karena ia suka makan di restoran-restoran dan bahwa dia tidak dapat membedakan mana restoran yang baik dan mana yang sedang-sedang.
Jika konsistensinya tidak tinggi, hal ini tidak dapat mengarahkan pada atribusi internal maupun eksternal. Mungkin terdapat faktor penentu yang lain yang mempengaruhi perilaku. Misalnya, jika teman anda tersebut hanya beberapa waktu menyukai restoran tersebut, anda dapat berpikir bahwa manajemen atau kepala restoran tersebut telah berganti.

3. Teori tentang Atribusi Personal (Jones dan Davis)
E.E. Jones dan Keith Davis (1965) memfokuskan perhatiannya terhadap bagaimana cara kita menyimpulkan, apakah perilaku seseorang mencerminkan watak pribadinya atau tidak. Seperti Heider, mereka beranggapan bahwa berbagai tindakan yang dilakukan seseorang merupakan hasil dari suatu urut-urutan yang diawali oleh sifat-sifat pribadi yang menghasilkan niat dan dimodifikasi oleh kemampuan, yang akhirnya menghasilkan tindakan-tindakan.  Namun mereka memperluas teori Heider tersebut dengan menyatakan bahwa dalam bertindak, seorang selalu mempunyai pilihan-pilihan, dan mendapatkan berbagai efek dari tindakannya. Untuk menyimpulkan watak seseorang, pengamat (perceiver) harus bekerja secara terbalik, yaitu dengan mengamati pilihan-pilihan tindakan beserta efek-efeknya. Dalam hal ini, pengamat tidak hanya melihat apa yang nyata-nyata dilakukan seseorang, namun juga memperhatikan sebenarnya apa saja yang dapat dilakukan. Apa yang dilakukan (tindakan yang dipilih) seseorang mempunyai berbagai efek. Di sisi lain, tindakan-tindakan yang sebenarnya mampu untuk dilakukan namun tidak dipilih, jika dipilih (benar-benar dilakukan) sebenarnya juga mempunyai efek. Efek-efek yang berbeda dari tindakan yang dipilih dan yang tidak dipilih itulah yang memberikan petunjuk mengenai niat yang ada pada seseorang, yang sekaligus dapat mencerminkan wataknya.
Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam atribusi personal: apakah efek-efek tindakan yang dipilih itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, diharapkan atau tidak diharapkan, positif atau negatif. Jika efek-efek tindakannya mempunyai nilai  negatif atau kurang diharapkan atau tidak menyenangkan atau tidak baik, hal ini lebih dapat mencerminkan watak atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki orang yang bersangkutan. Misalkan, memilih bermain tenis pada waktu cuaca dingin dan hujan (dipandang sebagai tidak menyenangkan) lebih dapat menunjukkan motif atau niat seseorang dari pada jika orang tersebut bermain tenis pada waktu cuaca cerah (sudah sewajarnya bermain tenis pada saat cuaca cerah).

4.  Atribusi diri
Menurut Bem (1967,1972), dalam mengatribusi diri sendiri kita kebanyakan menggunakan proses yang sama seperti mengatribusi orang lain. Biasanya kita terlebih dahulu melihat apakah ada penyebab perilaku kita yang berasal dari lingkungan melalui daya-daya eksternal. Jika tidak ada, selanjutnya kita berasumsi (beranggapan) bahwa perilaku kita terjadi karena motif-motif internal atau sifat-sifat pribadi kita sendiri. Pada akhirnya kita akan mengenali karakter kita sendiri melalui perilaku-perilaku kita. 
Tokoh lain, Jones dan Nisbet (1972) membuat hipotesis yang lain, yaitu meskipun prosesnya mungkin sama, namun proses mengatribusi diri sendiri dan mengatribusi orang lain  tidaklah sama. Kita cenderung melihat perilaku kita lebih banyak dikendalikan oleh situasi, sementara kita melihat  perilaku orang lain lebih disebabkan oleh daya-daya internal. Perbedaan ini disebabkan karena kita melihat diri kita sendiri sebagai pribadi yang stabil yang berinteraksi dengan lingkungan yang berubah-ubah. Karena lingkungan yang berubah-ubah, maka kita menyimpulkan bahwa perubahan perilaku kita disebabkan karena perubahan situasi. Lain halnya jika kita mengamati perilaku orang lain, bagaimanapun juga kita melihat bahwa lingkungan merupakan faktor yang stabil dan orang (yang kita amati) berubah-ubah. Contoh yang mendukung hipotesis ini adalah hasil eksperimen Nisbet dkk. Yang menemukan bahwa ketika para mahasiswa menjelaskan alasannya memilih bidang studi tertentu, mereka cenderung menyebutkan baik kualitas jurusan yang dipilihnya maupun kualitas prbadinya sebagai dua faktor yang menentukan pilihannya. Namun demikian, ketika menjelaskan pilihan yang dilakukan oleh temannya, mereka lebih cenderung menekankan karakter pribadi teman tersebut dari pada kualitas jurusan pilihan temannya. 

Putus Cinta

Perpisahan

Untuk memahami terjadinya perpisahan, Hill, Rubin, dan Peplau (1976) mengadakan penelitian yang ekstensif selama dua tahun, yaitu dengan subjek sebanyak 231 pasangan di wilayah Boston, AS.  Pada akhir penelitian (masa penelitian dua tahun), ternyata 103 pasangan (45%) telah berpisah; 65 pasangan masih berkencan; 9 pasangan telah bertunangan, 43 pasangan telah menikah, dan 11 pasangan tidak dapat dihubungi.  

Hill dkk menemukan bahwa mereka yang melaporkan perasaan  dekat dengan pasangannya pada tahun pertama penelitian (1972) tidak selalu berarti bahwa hubungan dengan pasangannya tetap langgeng dalam dua tahun kemudian.  Hal ini sesuai dengan pembahasan hasil penemuan Rubin (1970) mengenai kecintaan dan kesukaan. Hasil penelitian Rubin tersebut menunjukkan bahwa skor dari skala cinta (love) lebih prediktif (lebih dapat digunakan untuk memprediksi/meramalkan) terhadap hubungan tersebut dari pada skor dari skala rasa suka (liking).  Selanjutnya, terbukti juga bahwa skor skala cinta dari subjek perempuan lebih prediktif terhadap kelanggengan hubungan dari pada skor skala cinta dari subjek laki-laki.  Artinya bahwa pada subjek perempuan, yang skor skala cinta-nya lebih tinggi, lebih langgeng pula hubungan subjek tersebut dengan pasangannya.  Hal ini tentu saja seperti yang telah kita bahas di atas, karena perempuan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola hubungan, maka perasaan perempuan dalam suatu hubungan merupakan indeks yang lebih sensitif untuk kesehatan hubungannya.   Apakah pasangan tersebut telah melakukan sexual intercourse dan apakah telah hidup bersama, hal ini tidak menjamin keberhasilan hubungan di masa yang akan datang.

 Pada subjek penelitian Hill dkk tersebut, kesamaan yang ada pada satu pasangan (yang merupakan faktor penting untuk Daya Tarik), juga penting bagi berhasilnya suatu hubungan. 

Kesamaan dalam pendidikan, inteligensi, dan daya tarik, lebih banyak ditemukan pada pasangan yang hubungannya langgeng dari pada pasangan yang akhirnya berpisah. 

Kesamaan dalam agama, sikap-sikap terhadap peran gender,  dan kebutuhan/harapan akan ukuran keluarga (banyaknya anak), ternyata  tidak dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan jangka panjang.

Prediktor penting yang lain yang dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan adalah kebutuhan untuk berkuasa (need for power) pada laki-laki (Stewart & Rubin, 1976). Kebutuhan berkuasa di sini didefinisikan sebagai  suatu kecenderungan yang stabil untuk mempengaruhi orang lain melalui tindakan langsung ataupun yang lebih halus/licik/cerdik. Pada pasangan-pasangan di Boston (penelitian Hill dkk), laki-laki yang kebutuhan berkuasa-nya tinggi lebih, lebih banyak menunjukkan masalah di dalam hubungan dan lebih banyak menunjukkan ketidakpuasan terhadap hubungan dengan pasangannya. 

Ketidakseimbangan  (Inequity) dan Ketidakpermanenan (Impermanence)

Menurut equity theory (yaitu versi lain dari social exchange theory),  di dalam suatu hubungan orang  tidak hanya mempertimbangkan costs dan rewards yang ada padanya, namun juga costs dan rewards pada orang lain. Idealnya dua perbandingan tersebut seimbang. Orang yang merasa bahwa dalam hubungannya terjadi ketidakseimbangan, akan mengalami ketegangan dan mengusahakan adanya keseimbangan, baik secara nyata mengubah input dan outcomes ataupun secara psikologis mengubah persepsi tentang perolehan dan costs yang dialami oleh dua belah pihak.   Menurut penemuan Davidson (1984) serta Traupmann,  Peterson, Utne, & Hatfield (1981), pasangan yang masing-masing individunya merasakan keseimbangan, paling mungkin untuk sukses hubungannya. Sebaliknya, persepsi ketidakseimbangan merupakan sinyal adanya kesulitan dalam hubungan tersebut.

Perceraian (perpisahan setelah perkawinan)

Perkawinan bukanlah jaminan berlangsungnya hubungan yang langgeng. Di Amerika, tingkat perceraian semakin tinggi dari tahun ke tahun.

 Apakah yang menyebabkan retaknya perkawinan ?  Beberapa faktor kepribadian dan demografis ditemukan berhubungan dengan kemungkinan perceraian (Newcomb & Bentler, 1981). Misalnya, orang yang menikah terlalu muda, lebih besar kemungkinannya untuk bercerai.  Dari sisi kepribadian, misalnya, mereka yang tingkat ambisi dan kebutuhan berprestasinya terlalu tinggi, cenderung kurang stabil perkawinannya.

KONSEPSI-KONSEPSI TENTANG CINTA & PENGUKURAN CINTA

KONSEPSI-KONSEPSI  TENTANG CINTA  & PENGUKURAN CINTA

Hampir semua orang yakin bahwa cinta itu berbeda dengan persahabatan. Cinta romantik berkembang lebih cepat daripada persahabatan. Cinta romantik nampaknya lebih mudah retak daripada persahabatan, dan lebih dapat berakibat negatif,  misalnya frustrasi (Berscheid, 1985).

Merawat, merupakan dasar konsepsi dari cinta. Dalam hubungan percintaan, perilaku sering lebih dimotivasi oleh kepedulian terhadap minat-minat pasangan daripada minat-minat diri sendiri.  Sedangkan kepedulian terhadap kebutuhan-kebutuhan diri sendiri nampaknya lebih merupakan ciri ketertarikan sepintas lalu daripada hubungan percintaan yang serius (Steck, Levitane, & Kelley, 1982).

Seorang psikolog sosial, Zick Rubin (1970, 1973) telah mengembangkan dua kuesioner, masing-masing untuk mengukur kondisi kesukaan dan kecintaan. Menurut Rubin :

  • Kesukaan, pertama-tama lebih didasarkan pada afeksi dan respek. Item-item skala ini dikaitkan dengan kesepakatan tentang kualitas positif seorang teman dan kebutuhan untuk menjadi sama dengan teman tersebut.
  • Kecintaan, bersandar pada keintiman, kelekatan, dan peduli terhadap kesejahteraan pihak lain. Item untuk skala ini dihubungkan dengan kesedihan karena tidak adanya seseorang yang dicintai, pemaafan terhadap kesalahan, dan tingginya tingkat keterbukaan diri.

Beberapa penemuan mengusulkan bahwa cinta bukan merupakan konsep yang berdimensi tunggal. Misalnya, terdapat dua tipe cinta : passionate (romantik) dan companionate (Hatfield, 1988; Peele, 1988; Walster & Walster, 1978).

  1. Cinta passionate merupakan pengalaman emosional yang mendalam: luar biasa gembira jika berbalas, dan sangat menderita bila tak berbalas.
  2. Cinta companionate merupakan bentuk cinta yang lebih familiar, yang didefinisikan sebagai afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang memiliki jalinan mendalam dengan diri kita, merefleksikan hubungan jangka panjang, dan kemungkinan merupakan tahap lanjut dari cinta romantik.

John Alan Lee (1973) menunjukkan bahwa cinta itu bervariasi. Terdapat enam tipe gaya mencinta : cinta romantik, cinta permainan (game-playing love), cinta persahabatan, cinta yang menguasai (possesive love), cinta yang logis, dan cinta diri.

 Robert Sternberg (1986) mencirikan cinta sebagai segi tiga yang terdiri dari tiga komponen : keintiman, gairah/nafsu, dan keputusan/komitmen.

  • Keintiman menunjuk pada perasaan kedekatan/keterikatan terhadap orang lain.
  • Gairah/nafsu menunjuk pada aspek romantik dan seksual dalalam hubungan
  • Keputusan/komitmen, mencakup dua aspek :  Pada tahap awal hubungan, menunjuk pada keputusan untuk menjalin cinta dengan seseoang; Pada tahap lanjut, menunjuk pada tingkat komitmen seseorang untuk terus mencintai orang tersebut.

Menurut Sternberg, perbedaan tipe cinta merupakan hasil dari perbedaan kekuatan dari tiga komponen tersebut diatas.  Sebagai contoh :

  • Tipe suka (liking),  mencakup keintiman yang kuat, tetapi sedikit gairah/nafsu dan komitmen.
  • Tipe infatuation, gairah/nafsunya paling kuat.
  • Tipe empty love, komitmen yang paling kuat.
  • Tipe consummate love, memiliki keseimbangan antara keintiman, nafsu, dan keputusan/komitmen.
  • Tipe romantic love, mencakup keintiman  dan nafsu yang kuat, namun lemah dalam hal keputusan/komitmen.

Tahap-tahap Perkembangan Cinta

- Tahap pertama, dapat disebut tahap perkenalan. Pada tahap ini dua orang mulai mengenal satu sama lain. Terbentuk kesan pertama, dan selanjutnya terjadi interaksi. Banyak hubungan yang tidak pernah berlanjut melebihi tahap ini, misalnya hubungan dengan dokter gigi yang merawat gigi kita,sopir bis langganan, seseorang yang pernah kita jumpai dalam pesta di rumah tetangga.

- Tahap kedua, pembentukan hubungan yang nyata. Pada tahap ini terjadi peningkatan saling ketergantungan.  Terjadi peningkatan interaksi dan kehendak untuk saling membuka diri; mulai meluangkan waktu dan energi untuk hubungan tersebut; mengkoordinasikan aktivitas satu  sama lain; dan mengantisipasi interaksi-interaksi yang menyenangkan di masa yang akan datang.

- Tahap ketiga, adalah tahap mempererat hubungan. Kemajuan dalam tahap ini tidak selalu mulus. Dapat terjadi ketegangan di antara keduanya. Misalnya, pasangan yang bercinta, seringkali mengidealkan pasangannya, namun seringkali menemukan karakteristik-karakteristik yang tidak ideal pada pasangannya.

Pada tahap ini kemungkinan terjadi kecemburuan, sebagai akibat pertumbuhan komitmen. Terdapat ungkapan “Cemburu selalu lahir bersamaan dengan lahirnya cinta”.  White (1981) serta White & Mullen (1989) menunjukkan bahwa terdapat dua faktor umum yang ada pada reaksi cemburu : kebutuhan untuk memiliki hubungan yang eksklusif dan perasaan kurang/ tidak cakap (inadequacy). Pada laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan :

Pada laki-laki, kecemburuan seringkali berhubungan dengan harga diri (self-esteem), khususnya bahwa respek terhadap pasangan merupakan sumber harga diri, dan bahwa hal ini tergantung sejauh mana dia mendukung keyakinan-keyakinan akan  peran gender tradisional. Dengan kata lain, kecemburuan pada laki-laki tampaknya lebih berhubungan erat dengan status.

Pada perempuan, kecemburuan terutama berhubungan dengan ketergantungan yang kuat terhadap hubungan itu sendiri.

Meskipun kecemburuan dapat menjadi ancaman dalam perkembangan hubungan, namun hal ini tidak selalu dialami.

- Tahap ke empat, merupakan tahap perkembangan komitmen yang nyata. Pada tahap ini terjadi perubahan perasaan-perasaan dan perilaku.  Salah satu perubahan yang ada adalah terjadinya peningkatan kepercayaan (trust). Dalam hal ini kita dapat mempertimbangkan tiga macam kepercayaan terhadap pasangan :

  1. Kepercayaan yang mencakup predictability, yaitu kemampuan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan oleh pasangannya.
  2. Kepercayaan yang berimplikasi dependability, yaitu mengembangkan asumsi tertentu tentang karakteristik dan kecenderungan-kecenderungan internal dari pasangannya. (Predictability maupun dependability diperoleh berdasarkan pengalaman dan fakta yang telah lewat).
  3. Kepercayaan yang berimplikasi faith. Pada tahap ini orang memandang kedepan, yakin bahwa outcome (hasil) tertentu akan dicapai.

Dalam hubungan yang erat, cinta dan kebahagiaan terkait erat dengan tiga elemen kepercayaan ini.   

Pada beberapa kasus, perkembangan komitmen nyata yang dicapai pada tahap ke empat ini merupakan hasil perkembangan dari cinta.  Namun demikian pada kasus di mana masyarakat mengatur perkawinan sebagai suatu keharusan, komitmen merupakan hasil dari kesepakatan formal, dan selanjutnya keterlibatan emosional serta cinta berkembang mengikuti lahirnya komitmen tersebut. 

Berdasarkan penelitian Marc Blais (Blais, Sabourin, Boucher, & Valeran, 1990) terhadap subjek yang rata-rata umurnya 38.1 tahun dan telah berpasangan rata-rata selama 12.6 tahun, ditemukan bahwa individu yang berpasangan dalam jangka panjang  yang motivasi komitmennya bersifat internal (benar-benar karena pilihannya; bukan karena menghasilkan reward, menghindari punishment, atau menghindari rasa bersalah), merasakan perilaku-perilaku mereka yang berorientasi pada hubungan sebagai hal yang menyenangkan (positif). Persepsi semacam ini berhubungan langsung dengan kebahagiaan mereka dalam berelasi.

Lebih lanjut, Blais dkk menemukan bahwa motivasi-motivasi dari pihak perempuan (bukan dari pihak laki-laki), mempengaruhi persepsi pasangannya (secara nyata memang kita dapat melihat bahwa dalam suatu hubungan, persepsi masing-masing pihak akan mempengaruhi persepsi pihak lain). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran yang lebih besar dalam mengembangkan dan mengelola hubungan dari pada laki-laki. 

Kenali Kepribadianmu Dengan Big Five

✨ “Kenali Kepribadianmu dengan Big Five!” ✨ 🔹 1. Neurotisisme – Cemas & mudah gugup (Kebaikan) ↔ Tenang & percaya diri 🔹 2. Ekstra...