Psikologi Humanistik (David Mills dan Stanley Scher)

David Mills dan Stanley Scher

Ilmu Pengetahuan Alam selama bertahun-tahun hanya dibahas dan dipelajari secara kognitif semata, yakni sebagai akumulasi dari fakta-fakta dan teori-teori. Padahal, bagaimanapun, praktek dari ilmu pengetahuan selalu melibatkan elemen-elemen afektif 
yang meliputi adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan imajinasi dalam usaha-usaha kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, David Mills dan Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan konsep 
pendidikan terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan 
afeksi atau perasaan murid dalam belajar.
Metode afektif yang melibatkan perasaan telah bisa diterapkan 
pada murid-murid untuk pelajaran IPS, Bahasa dan Seni. Sebetulnya ahli yang memulai merintis usaha ini adalah George Brown, namun kedua ahli ini kemudia mencoba melakukan riset yang bertujuan menemukan aplikasi yang lebih real dalam usaha tersebut. 
Penggunaan pendekatan terpadu ini dilakukan dalam pembelajaran IPA, pendidikan bisnis dan bahkan otomotif.
Pendekatan terpadu atau Confluent Approach merupakan sintesa dari Psikologi Humanistik –khususnya Terapi Gestalt- dan pendidikan, yang melibatkan integrasi elemen-elemen afektif dan kognitif dalam proses belajar. Elemen kognitif menunjuk pada 
berpikir, kemampuan verbal, logika, analisa, rasio dan cara-cara intelektual, sedangkan elemen afektif menunjuk pada perasaan, cara-cara memahami yang melibatkan gambaran visual-spasial, fantasi, persepsi keseluruhan, metaphor, intuisi, dan lain-lain.
Tujuan umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia 
sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan 
kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, 
menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab 
bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam pendekatan terpadu adalah untuk lebih membebaskan murid dari ketergantungan kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan responsibilitas murid untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan memberikan pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka, 
dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan untuk hal-
hal yang bisa ditangani oleh murid sendiri.
 Lebih jauh, David Mills dan Stanley Scher memaparkan tujuan 
pendidikan terpadu ini secara detail sebagai berikut :

a. Membantu murid untuk mengalami proses ilmu pengetahuan, termasuk penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual maupun afektif.
b. Membantu murid dalam mencapai kemampuan untuk menggali dan mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang ilmiah.
c. Meningkatkan pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep dan ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
d. Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi dari aplikasi yang mungkin dari ilmu pengetahuan.
e. Memungkinkan murid untuk menerapkan baik proses maupun pengetahuan ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan kesadaran murid terhadap dunia mereka dan setiap pilihan yang mereka ambil.
Penerapan metode gabungan antara kognitif dan afektif ini menunjukkan hasil yang lebih efektif dibanding pengajaran yang hanya menekankan aspek kognitif. Para siswa merasa lebih cepat menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role playing dan 
game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid berperan 
sebagai astronot.

Psikologi Humanistik (Aldous Huxley)

Aldous Huxley
 Manusia memiliki banyak potensi yang selama ini banyak terpendam dan disia-siakan. Pendidikan diharapkan mampu 
membantu manusia dalam mengembangkan potensi-potensi 
tersebut, oleh karena itu kurikulum dalam proses pendidikan harus 
berorientasi pada pengembangan potensi, dan ini melibatkan semua 
pihak, seperti guru, murid maupun para pemerhati ataupun peneliti dan perencana pendidikan.
Huxley (Roberts, 1975) menekankan adanya pendidikan non-verbal yang juga harus diajarkan kepada siswa. Pendidikan non verbal bukan berwujud pelajaran senam, sepak bola, bernyanyi 
ataupun menari, melainkan hal-hal yang bersifat diluar materi pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan kesadaran seseorang. 
Proses pendidikan non verbal seyogyanya dimulai sejak usia dini sampai tingkat tinggi.
Betapapun, agar seseorang bisa mengetahui makna hidup dalam kehidupan yang nyata, mereka harus membekali dirinya dengan suatu kebijakan hidup, kreativitas dan mewujudkannya dengan langkah-langkah yang bijaksana. Dengan cara ini seseorang akan mendapatkan kehidupan yang nikmat dan penuh arti. 
Berbekal pendidikan non verbal, seseorang akan memiliki banyak 
strategi untuk lebih tenang dalam menapaki hidup karena memiliki 
kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman hidupnya dengan 
lebih menarik. Akhirnya apabila setiap manusia memiliki kemampuan ini, akan menjadi sumbangan yang berarti bagi kebudayaan dan moral kemanusiaan.

Psikologi Humanistik (Arthur Combs)

Arthur Combs
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus 
melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa 
tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang 
lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh 
murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-
aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).
Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut. Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana 
bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil.
Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya 
terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.

Psikologi Humanistik (Carl R. Rogers)

Carl R. Rogers
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan 
pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan 
ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.

b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai 
arti baginya.

c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman 
yang bisaanya menyinggung perasaan.

d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
 Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ). 
Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu 
penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, 
menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar.
 Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, 
tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan 
pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.
 Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkansemua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai 
Whole - Person Learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki 
(feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah 
untuk terus belajar.

e. Belajar dan Perubahan
 Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. 
Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. 
Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup 
dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating. 
Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

Psikologi Humanistik ( Abraham Maslow)

Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan 
adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis.
Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan 
alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic exication). 
Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan  humanistic.
Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri 
manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.

Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi 
ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. 
Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang 
manusia.
Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan mulai dari tokoh-tokoh penting dalam aliran humanistik dan teorinya yang relevan dengan psikologi pendidikan, dan diakhiri dengan aplikasi psikologi 
humanistik dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses 
pembelajaran.

Tokoh-tokoh Penting dalam Aliran Humanistik dan 
Teorinya

1. Abraham Maslow 
 Abraham H. Maslow (selanjutnya ditulis Maslow) adalah 
tokoh yang menonjol dalam psikologi humanistik. Karyanya di 
bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya 
memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting 
didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan 
positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi pertumbuhan (Rumini, dkk. 1993).
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling 
asasi- sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. 
Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut 
sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka 
muncullah kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan 
ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah kebutuhan harga 
diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh 
orang lain.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan 
yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan 
kepada terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk 
tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
 Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama disebutnya dediciency need (kebutuhan yang timbul karena kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya bergantung pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang 
lain dinamakan growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan 
untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas 
kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam tidak 
tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi / keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.

"Kutu Loncat" Dalam Perusahaan

Si "Kutu Loncat" dalam Perusahaan

Situasi Masalah
Situasi persaingan bisnis yang semakin panas, ditambah dengan naik turunnya inflasi yang tidak dapat diprediksi, mendukung banyak perusahaan untuk merumahkan karyawan-karyawannya dan mencari karyawan baru sebagai penggantinya. Perusahaan tersebut memasang iklan di media massa seperti majalah, surat kabar, dan internet, untuk mencari karyawan berpotensi. Karyawan ini diharapkan dapat melaksanakan tanggung jawab dari beberapa jabatan sekaligus dengan hasil yang optimal.
Adakalanya karyawan-karyawan dari perusahaan lain yang merasa tertarik dengan tawaran yang diberikan perusahaan tersebut, melepas pekerjaannya di perusahaan tempat ia bekerja sekarang. Namun, tidak menutup pula suatu kemungkinan dimana seorang karyawan mempertahankan pekerjaannya di perusahaan tempat ia bekerja saat ini.
Dengan demikian, faktor utama seorang karyawan yang pindah kerja mungkin disebabkan adanya tawaran menarik dari perusahaan lain. Namun, apakah karyawan tersebut dapat dikatakan sebagai karyawan kutu loncat, dimana istilah ini digunakan untuk seorang karyawan yang sangat sering pindah kerja dan dipersepsikan sebagai sesuatu yang buruk. Dan apa saja yang menyebabkan seorang karyawan pindah kerja.

Pengajuan Hipotesis
Pernyataan diatas mendukung kemungkinan bahwa adanya karyawan yang pindah kerja disebabkan oleh tawaran menarik dari perusahaan lain. Namun, faktor sebenarnya yang menyebabkan seorang karyawan pindah kerja dapat dipengaruhi oleh :
1.Rasa bosan
2.Mencari gaji yang lebih tinggi
3.Mencari posisi yang lebih tinggi
4.Rekan kerja yang tidak kondusif
5.Kurangnya komitmen untuk menetap di satu perusahaan

Decision Making (The psychology of choice) (part 1)

 Assumptions of Neoclassical Economics ("Homo Economicus")

• Selfishness - an individual chooses on the basis of his/her own interests (no true, systematic altruism)
• Stable, exogenous preferences - what the individual wants is well-defined, available to introspection, and stable over time
• Formal rationality - an individual's preferences, tastes, etc. are consistent with each other

Rational Choice Theories for Individuals
- Utility theory one agent, choice depends only on states of nature

Example: A decision that depends on states of nature
• Options:
    - Plan picnic outdoors
    - Plan picnic indoors
• Possible states of nature
    - Rain
    - No rain
• Choice depends on likelihood of rain, relative quality of picnic indoors/outdoors with and without rain

Rational Choice Theories for Individuals (Von Neumann and Morgenstern, 1944)
- Utility theory one agent, choice depends only on states of nature
- Game theory more than one agent, choice depends on what other agents may choose

Example: a decision that depends on what others may do
• Options:
    - Go to the beach
    - Go to the cinema
• Your friend may choose to:
    - Go to the beach
    - Go to the cinema
• You cannot control or know what your friend will do 
• Both of you know each other's preferences
• Choice depends on what you think your friend will do, which depends on what s/he thinks you will do, and so on...

Expected Utility Theory - Crucial Features
Utility ("degree of liking") is defined by (revealed) preferences
- i.e. U(A) > U(B) iff A is preferred to (chosen over) B

Expected Utility Theory - Crucial Features
Utility ("degree of liking") is defined by (revealed) preferences
- i.e. U(A) > U(B) iff A is preferred to (chosen over) B • Preferences are well ordered
- i.e. transitive: If A ? B and B ? C, then A ? C

Utility ("degree of liking") is defined by (revealed) preferences
- i.e. U(A) > U(B) iff A is preferred to (chosen over) B
Preferences are well ordered
- i.e. transitive: If A ? B and B ? C, then A ? C
Choices under uncertainty are determined by expected utility
- Expected utility is a probability-weighted combination of the utilities of all n possible outcomes O,
ΣU(O)P(O)


Example:
Application of Utility Theory
• Options:
- Gamble (50% chance to win $100; else $0) 
- Sure Thing (100% chance to win $50)
• Expected values are the same:
- EV(Gamble) (.5) ($100) + (.5) ($0) = $50 
- EV(Sure Thing) (1) ($50) = $50
• But their expected utilities may still differ 
- EU (Gamble) = .5U ($100) + .5U ($0) 
- EU (Sure Thing) = U($50)

Expected utility theory says that utilities are...
  • Not directly observable (internal to an individual)
  • Not comparable across individuals 
  • Constrained by revealed preferences (i.e. choices between gambles)
• Note: Anderson gets the relationship between utility and value wrong

Do people's choices obey the theory of expected utility (i.e., formal rationality)?

Expected Utility Theory - Crucial Features
• Utility ("degree of liking") is defined by
(revealed) preferences
- i.e. U(A) > U(B) iff A is preferred to (chosen over) B

Utility versus Preference (Lichtenstein and Slovic, 1971; 1973)
• Ps given two options:
    - P bet: 29/36 probability to win $2
    - $ bet: 7/36 probability to win $9 
• Two conditions:
    - Choose one: Most prefer P bet
    - Value the bets: Most value $ bet higher
• Shows utility (based on cash value) is not consistent with revealed preference

Expected Utility Theory - Crucial Features
• Utility ("degree of liking") is defined by
(revealed) preferences
- i.e. U(A) > U(B) iff A is preferred to (chosen over) B
- Contradicted by preference reversal

Expected Utility Theory - Crucial Features
• Utility ("degree of liking") is defined by
(revealed) preferences
- i.e. U(A)> U(B) iff A is preferred to (chosen over) B
- Contradicted by preference reversal
• Preferences are well ordered
- i.e. transitive: If A ? B and B ? C, then A ? C



Expected Utility Theory - Crucial Features
• Utility ("degree of liking") is defined by (revealed) preferences
- i.e. U(A)> U(B) iff A is preferred to (chosen over) B
- Contradicted by preference reversal
• Preferences are well ordered
- i.e. transitive: If A ? B and B ? C, then A ? C 
- Contradicted by three-option intransitivities (and preference reversals)

Expected Utility Theory - Crucial Features
• Utility ("degree of liking") is defined by (revealed) preferences
    - i.e. U(A) > U(B) iff A is preferred to (chosen over) B
    - Contradicted by preference reversals
• Preferences are well ordered
    - i.e. transitive: If A ? B and B ? C, then A ? C
    - Contradicted by three-option intransitivities (and preference reversals) 
• Choices under uncertainty are determined by expected utility 
    - Expected utility is a probability-weighted combination of the utilities of all in possible                  outcomes 0,


Testing Expected Utility (Tversky and Kahneman, 1981)
• Choose between
- A. Sure win of $30
- B. 80% chance to win $45

Testing Expected Utility (Tversky and Kahneman, 1981)
• Choose between:
- A. Sure win of $30
- B. 80% chance to win $45 • Choose between:
- C. 25% chance to win $30
- D. 20% chance to win $45

Testing Expected Utility (Tversky and Kahneman, 1981)
• Choose between:
- A. Sure win of $30 [78 percent] 
- B. 80% chance to win $45 [22 percent] 
• Choose between:
- C. 25% chance to win $30 [42 percent] 
- D. 20% chance to win $45 [58 percent]

Testing Expected Utility (Tversky and Kahneman, 1981)
• Choose between:
- A. Sure win of $30 [78 percent]
- B. 80% chance to win $45 [22 percent] • Choose between:
- C. 25% chance to win $30 [42 percent] - D. 20% chance to win $45 [58 percent]
But this pattern is inconsistent with EUT: 
- EU(A)>EU (B) => u($30)>.8u($45)
- EU(D)>EU(C) => .25u($30) <.2u($45)
- Multiply both sides of bottom inequality by 4: contradicts top inequality

Testing Expected Utility (Tversky and Kahneman, 1981)
• Choose between:
- A. Sure win of $30 [78 percent]
- B. 80% chance to win $45 [22 percent] 
Choose between:
- C. 25% chance to win $30 [42 percent]
- D. 20% chance to win $45 [58 percent]
But this pattern is inconsistent with EUT:
- EU(A)>EU (B) => u($30)>.8u($45)
- EU(D)>EU(C) => .25u($30) <.2u($45)
- Multiply both sides of bottom inequality by 4: contradicts top inequality 
• This is called a "certainty effect": certain gains have extra psychological value

Expected Utility Theory - Crucial Features
• Utility ("degree of liking") is defined by (revealed) preferences
- i.e. U(A) > U(B) iff A is preferred to (chosen over) B
- Contradicted by preference reversals
• Preferences are well ordered
- i.e. transitive: If A ? B and B ? C, then A ? C
- Contradicted by three-option intransitivities (and preference reversals) 
• Choices under uncertainty are determined by expected utility 
- Expected utility is a probability-weighted combination of the utilities of all 'n possible outcomes O,
- Contradicted by certainty effect

So, people's choices do not obey formal rationality.
Are their preferences nonetheless stable?

Neoclassical Assumptions About Preferences
• The chosen option in a decision problem should remain the same even if the surface description of the problem changes (descriptive invariance)

A Test of Descriptive Invariance (Tversky and Kahneman, 1981)
•  Consider a two-stage game. In the first stage, there is a 75% chance to end the game without winning anything, and a 25% chance to move into the second stage. If you reach the second stage, you have a choice between
- Sure win of $30 (74%)
- 80% chance to win $45 (26%)
• Your choice must be made before the game starts, i.e. before the outcome of the first stage is known

A Test of Descriptive Invariance (continued)
• But this gamble is formally identical to a problem we saw earlier, namely:
- Choose between:
 • C. 25% chance to win $30 [42 percent]
 • D. 20% chance to win $45 [58 percent]

• But this gamble is formally identical to a problem we saw earlier, namely:
- Choose between:
• C. 25% chance to win $30 [42 percent]
• D. 20% chance to win $45 [58 percent]
Compare:
- Consider a two-stage game. In the first stage, there is a 75% chance to end the game without winning anything, and a 25% chance to move into the second stage. If you reach the second stage, you have a choice between
• Sure win of $30 [74 percent]
• 80% chance to win $45 [26 percent]

• But this gamble is formally identical to a problem we saw earlier, namely:
- Choose between:
  C. 25% chance to win $30 [42 percent]
  D. 20% chance to win $45 [58 percent]
• Compare:
Consider a two-stage game. In the first stage, there is a 75% chance to end the game without winning anything, and a 25% chance to move into the second stage. If you reach the second stage, you have a choice between
- Sure win of $30 [74 percent]
- 80% chance to win $45 [26 percent]
• A violation of descriptive invariance
• This is known as a "pseudo-certainty" effect: When a stage of the problem is presented as involving a certain gain, it carries extra weight even if getting to that stage is itself uncertain.

Framing Effects (Tversky and Kahneman, 1981)

• Problem 1: Imagine that the U.S. is preparing for the outbreak of an unusual Asian disease, which is expected to kill 600 people. Two
alternative programs to combat the disease have been proposed. Assume that the exact scientific estimate of the consequences of the programs are as follows:
- If Program A is adopted, 200 people will be saved [72 percent]
- If Program B is adopted, there is 1/3 probability that 600 people will be saved, and 2/3 probability that no people will be saved. [28 percent]
• Problem 2:
- If Program C is adopted 400 people will die [22 percent]
- If Program D is adopted there is 1/3 probability that nobody will die, and 273 probability that 600 people will die. [78 percent]
• But the programs are identical! This example also violates descriptive invariance.
• Shows reflection effect: Risk aversion in the domain of gains; risk seeking in the domain of losses

Neoclassical Assumptions About Preferences

• The chosen option in a decision problem should remain the same even if the surface description of the problem changes (descriptive invariance)
- Contradicted by pseudo-certainty and framing effects
• The chosen option in a decision problem should remain the same even if the surface Description of the problem changes (descriptive invariance)
- Contradicted by pseudo-certainty and framing effects
• The chosen option should depend only on the outcomes that will obtain after the decision is made, not on differences between those outcomes and 
- the status quo
- what one expects
- the overall magnitude of the decision

Status Quo Bias (Kahnemen, Knetsch, and Thaler, 1990)

• "Sellers" each given coffee mug, asked how much they would sell if for
"Buyers" not given mug, asked how much they would pay for one
• Median values:
- Sellers: $7.12
- Buyers: $2.87
• "Sellers" each given coffee mug, asked how much they would sell if for
"Buyers" not given mug, asked how much they would pay for one
• Median values:
- Sellers: $7.12
- Buyers: $2.87
• "Choosers" asked to choose between mug and cash- preferred mug if cash amount was $3.12 or lower, on average
• Shows "endowment effect" - we value what we have; and "loss aversion" - we don't want to lose it


HUKUM DAN TEORI ILMIAH (filsafat)

 HUKUM DAN TEORI ILMIAH


1, Hukum sebab-akibat.

Ilmu pengetahun pada dasarnya bertujuan untuk mengkasj hubungan khusus antara peristiwa tertentu dengan peristiwa lainnya. Ilmu pengetahuan ilmiah bertujuan untuk menjelaskan berbagai peristiwa atau fenomena alam. Yang mau dijelaskan adalah (a) apakah ada kaitan antara peristiwa yang satu denga peristiwa yang lain? Mungkin nampak peristiwa-peristiwa berdiri sendiri-sendiri, namun sebenarnya punya kaitannya. (b) Di sini dijelaskan: apa hubungan atau kaitan tersebut? Contoh: buku jatu dan bunyi hentakan yang mengagetkan, besi berkarat dan udara lembab, air mendidi dan lilin yang mencair. Setelah ditelit dengan saksama, maka ada kaitan erat antara keduanya. Kalau peristiwa yang satu terjadi pasti peristiwa lain pun terjadi. Atau kalau peristiwa itu terjadi, maka peristiwa yang lain pasti sudah lebih dulu terjadi. Hubungan antar peristiwa satu yang menyebabkan peristiwa lain di sebut hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan sebenarnya meneliti hubungan sebab akibat yang terjadi dalam alam semesta ini atau dalam diri manusia. Hubungan ini punya sifat pasti karena kalau peristiwa tertentu itu terjadi pasti yang lain akan menyusul. Dan dalam ilmu pengetahuan hubungan ini disebut sebagai hukum. Jadi, mengkaji hubungan sebab akibat antara berbagai peristiwa disebut juga mengkaji hukum ilmiah.

 

2. Sifat Hukum Ilmiah

Hukmu ilmiah mempunyai sifat-sifat pasti, lebih berlaku umum dan universal, daya terangnya lebih kuat.

 

a. Lebih Pasti

Perlu ditegaskan bahwa hukum ilmiah adalah perkembangan dari hipotesis yang telah mendapat status yang lebih pasti sifatnya, karena telah terbukti benar dengan didukung oleh fakta dan data yang tidak terbantahkan. Karenanya dapat kita katakan bahwa, semakin pasti sebuah hipotesis, hipotesis itu akan berubah menjadi sebuah hukum ilmiah. Contoh: ada hubungan sebab akibat antara A dan B. Dalam hukum hubungan itu terbukti benar. Maka, kalua A terjadi, maka B juga pasti terjadi. Dikatakan bahwa status hukum ilmiah lebih pasti karena telah terbukti benar dan didukung oleh fakta dan data yang tak terbantahkan. Tapi perlu diperhatikan bahwa kepastian di sini masih mengandung hipotesis, sehingga walau pasti namun kebenarannya masih bersifat sementara.

 

b. Berlaku Umum dan Universal

Setiap hukum yang pasti sifatnya dengan sendirinya akan lebih umum dan universal. Hukum itu bersifat universal karena pertama, hukum mengungkapkan hubungan yang universal antara dua peristiwa. Hubungan ini sejauh merupakan hukum ilmiah dapat berlaku untuk peristiwa khusus lainnya, kapan saja dan di mana saja. Kedua, sejauh merupakan hukum ilmiah, siapapun akan sepakat dan menyetujui bahwa memang benar ada hubungan sebab akibat antar dua peristiwa sejenis.

 

c. Punya daya terang yang lebih luas

Kedua sifat di atas belum cukup untuk menentukan dengan jelas di mana letak batas antara hipotesis dan hukum. Hal yang membedakan hukum dari hipotesis adalah bahwa hukum mempunyai daya terang yang lebih jelas. Dengan hukum ilmiah, seorang ilmuah ingin mendapatkan penjelasan ilmiah yang memperlihatkan secara gamblang hubungan antar satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, antara satu unsur dan unsur lainnya. Dengan hukum yang memberi penjelasan mengenai hubungan antar peristiwa yang dikaji,

peristiwa-peristiwa tersebut menjadi bisa dimengerti dan masuk akal.

peristiwa-peristiwa dalam alam semesta ini, yang sebelumnya terlihat seakan berdiri sendiri-sendiri, menjadi jelas bahwa ada hubungan satu dengan yang lainnya.

Alam semesta dan segala peristiwa yang ada di dalam alam ini, bukannya merupakan peristiwa yang acak, yang kacau balau, melainkan adalah peristiwa yang sangat teratur karena dibalik yang kacau balau dan tidak teratur itu ada suatu hukum menyatukan dan mengaitkannya satu sama lain.

Manusia dapat meramalkan berbagai peristiwa tertentu yang belum terjadi dan dengan demikian dapat merencanakan hidupnya secara lebih pasti dan teratur.

 

3. Evolusi dan Kontinuitas Pengetahuan

Evolusi dalam alam sudah terjadi dan diakui dalam teori-teori ilmiah. Banyak ahli yang tidak meragukan adanya evolusi juga dalam ilmu pengetahuan. Dikatakan bahwa pikiran selalu mengalami perkembangan. Perkembangan itu terjadi baik dalam pikiran ilmuan maupun dalam komunitas ilmuwan. Setiap ilmuwan selalu berkembang karena penelitiannya pun berkembanga dari waktu ke waktu. Ia juga mewariskan ilmunya kepada generasi-generasi berikutnya. Demikian juga mereka mewariskan hasil penelitiannya dan didiskusikan dan diteruskan kepada generasi berikutnya. Selain pikiran pribadi dari para ilmuan, metode ilmu pengetahuan juga mengalami perkembangan yang sama. Metode yang kita gunakan sekarang adalah warisan dari para pendahulu kita. Metode mereka juga mengalami perkembangan lewat kritik dan perbaikan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Karena itu dapat kita katakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebuah proses, suatu penelitian tanpa henti. Ilmuwan yang benar adalah ilmuwan yang selalu berusaha untuk terus mengembangkan penelitiannya dan terus menyempurnakan metodenya.

 

4. Dari Hukum Menuju Teori

Ada kaitan erat antara hukum dan teori. Fungsi teori adalah untuk menjelaskan hukum ilmiah. Memang ada kaitan tetapi juga ada perbedaan yang besar antar keduanya. Hukum lebih bersifat empiris dan harus diperiksa dan ditolak berdasarkan data empiris. Sebaliknya teori, lebih merupakan pandangan umum yang sulit diperiksa langsung secara empiris. Teori itu himpunan pengetahuan yang meliputi banyak kenyataan dan hukum yang sudah diketahui dan diperiksa berdasarkan kenyataan empiris. 

Metode Ilmu (filsafat)

 METODE ILMU

Hidup manusia dipenuhi dengan berbagai macam pengetahuan, mulai dari pengetahuan paling sederhana hingga pada pengetahuan yang paling rumit; dari pengetahuan harian biasa hingga pada pengetahuan yang paling ilmiah.  Tapi perlu disadari bahwa tidak semua pengetahuan manusia itu disebut ilmu, karena pengetahuan yang disebut ilmu adalah pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat sebuah ilmu pengetahuan. Syarat-syarat itu ada di dalam apa yang disebut metode. Metode didefinisikan dalam bermacam-macam cara. Peter R. Senn mendefinisikannya sebagai suatu prosedur sistematis (Senn, 1971: hal. 4). Sedangkan kamus bahasa Indonesia menyatakan metode dalam ilmu pengetahuan adalah cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai tujuan ( Hal. 652). Lalu Oxford Dictionary mendefinisikan Metode sebagai: a special form of procedure atau the orderly arrangement of ideas (Allen, 1990: hal. 746). Jadi metode merupakan suatu prosedur sistematis yang khusus untuk mengkaji setiap pengetahuan manusia. Istilah yang dekat adalah metodologi yang didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang metode (Kamus Umum, 1997: hal. 653;  Allen, 1990: hal. 746). Dengan demikian metode ilmu pengetahuan adalah suatu bentuk prosedur yang harus di penuhi suatu pengetahuan.

Disini kita akan bicarakan metode, hukum dan teori ilmiah yang biasa digunakan suatu ilmu pengetahuan. Metode-metode yang akan kita bicarakan antara lain: abduksi, deduksi dan Induksi.

1. Metode Abduksi

Prosedur suatu ilmu pengetahuan mulai dengan pengumpulan data, lalu diikuti dengan analisis data atau mencari penjelasan mengenai data-data itu. Seorang ilmuan tidak boleh puas dengan hanya menerima data begitu saja, data memerlukan pemikiran untuk menjelaskan temuan data-data tersebut. Dengan demikian ilmu pengetahuan merupakan suatu proses hidup yang dijalani ilmuan dalam menemukan hipotesis untuk menjelaskan fenomena atau data. Proses di atas yang terjadi dalam pikiran ilmuan oleh C. S. Pierce disebut Abduksi (Keraf dan Dua, 2001: 92).

Pikiran Pierce mengenai abduksi mengalami perkembangan yang cukup panjang. Pada mulanya ia melihat abduksi sebagai suatu bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu proposisi hukum (rule), proposisi kasus (case), dan proposisi kesimpulan (result). Di dalam abduksi sendiri, hukum, kasus, dan kesimpulan dibentuk dalam satu silogisme hipotetis yang terdiri dari premis mayor, minor, dan kesimpulan. Pikiran Pierce berubah pada tahun 1893. Ia sadar bahwa abduksi lebih dari sekedar suatu bentuk logis. Abduksi itu hadir sebagai tahap awal dari suatu penelitian ilmiah, ketika orang mulai heran terhadap peristiwa atau fakta tertentu. Jadi, abduksi sebenarnya merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari fakta, di mana dari fakta itu kita merumuskan hipotesis itu untuk menjelaskan kasus atau fakta tersebut. Hipotesis itu mengandung makna universal. Abduksi pertama-tama berfungsi untuk menawarkan suatu hipotesis yang bisa memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta itu. Ada fakta, lalu fakta itu harus dijelaskan dengan sebuah hipotesis. Karena itu silogisme abduksi selalu mulai dari fakta dan dari fakta itu dirumuskan sebuah hipotesis untuk menjelaskan fakta tersebut. Pierce mengemukakan dua ciri abduksi antara lain: (1) abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan eksplanasi yang probable. Istilah probable ini digunakan untuk menyatakan bahwa hipotesis pada prinsipnya merupakan satu kemungkinan penjelasan. Hipotesis berfungsi sebagai suatu dugaan atau konjektur. Ilmuan sadar bahwa jika penjelasannya benar maka fakta-fakta-fakta yang diobserfasi akan dijelaskan dengan benar pula. Kebenaran hipotesis itu harus dibuktikan lagi dengan verifikasi. (2) Hipotesis itu dapat memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsung. Di sini Pierce berlawanan dengan aliran positivisme A. Comte yang mengatakan bahwa hipotesis itu harus dapat secara langsung menjelaskan fakta. Selanjutnya Pierce mengatakan bahwa semua hipotesis memang harus diverivikasi tetapi tidak perlu dibuktikan dengan observasi langsung. Cukup hipotesis itu dapat menjelaskan fakta yang diobservasi dan ada kemungkinan untuk diverivikasi melalui pengalaman di masa depan. Menurut Pierce, suatu teori tidak hanya bisa menjelaskan fakta yang bisa diamati, tetapi juga fakta yang tidak dapat diamati, sekarang dan di sini. Sebagai contoh, teori Kopernikus tentang heliosentrisme. Teori ini memberikan dampak yang sangat besar dan luas dan janji masa depan yang besar. Atas dasar teori ini, muncullah teori pengukuran matematis yang dikemukakan oleh Galileo, Kepler dan Newton. Contoh lain, teori genetika Mendel yang membuka usaha penelitian lebih lanjut dalam bidang genetika modern dewasa ini. Abduksi hanya menghasilkan hipotesis sebagai penjelasan sementara. Abduksi juga hanya memberikan konjektur atau dugaan yang masuk akal, sebagai salah satu cara untuk memahami fakta. Hipotesis abduksi harus dibuktikan melalui indiksi dan deduksi.

Sekarang kita lihat syarat pemilihan hipotesis abduksi. Abduksi memang merupakan proses yang sahih untuk merumuskan hipotesis, namun persoalannya adalah alasan logis mana sehingga hipotesis A lebih preferable, lebih pantas diuji dibandingkan dengan hipotesis B. Syarat manakah yang perlu diperhatikan sehingga suatu hipotesis lebih pantas diperhatikan dibandingkan dengan hipotesis lainnya. Syarat utamanya adalah bahwa (1) hipotesis itu harus dapat diverivikasi secara eksperimental, namun sebelumnya pemilihan hipotesis perlu mendapat pertimbangan ekonomi. Perlu ada pertimbangan terhadap kemampuan dan keterbatasan ilmuan itu sendiri. Keterbatasan ekonomis dan waktu. Seorang ilmuan perlu realistis terhadap pertimbangan-pertimbangan di atas pada permulaan mengevaluasi hipotesis-hipotesis yang ada, dan (2) hanya memilih hipotesis yang membuka jalan lebih besar bagi pengetahuan. Bahkan setelah ada pertimbangan ekonomi, waktu, uang dan tenaga, maka mempertimbangkan memilih (3) hipotesis yang paling cepat dan mudah ditolak dari pada memilih hipotesis yang memakan waktu banyak waktu dan tenaga untuk diverivikasi lebih lanjut. Menurut Pierce, hipotesis yang baik adalah hipotesis yang bisa diuji dan sangat membantu bagi perkembangan ilmu itu. Hipotesis yang idealistik, yaitu bukun hanya bisa diuji, tetapi harus bisa dibuktikan benar dengan pelbagai macam alat pembuktian, sehingga mendorong perkembangan ilmu itu sendiri secara dinamis.

 

2. Metode Deduksi

Pengujian hipotesis dapat dimulai dengan memeriksa implikasi eksperiensial dari hipotesis. Setelah seorang ilmuan memilih hipotesis, langkah berikutnya adalah menyimpulkan prediksi-prediksi eksperiensial dari hipotesis itu, mencatat dan menyeleksi prediksi serta akhirnya mengamati apakah prediksi itu terjadi atau tidak. Proses menarik prediksi-prediksi dari suatu hipotesis kita sebut proses deduksi (Keraf dan Dua, 2001: 97). Dalam ilmu logika dikatakan bahwa penalaran deduktif adalah penalaran yang konklusinya tidak lebih luas dari premis atau dua proposisi sebelumnya Soekadijo 1985: 6).

Contoh: Semua benda yang dipanasi memuai,

ban mobil dalam perjalanan selalu panas,

Jadi: ban mobil sedang memuai.  

Proposisi sebelumnya harus lebih luas dari proposisi berikut dan semakin menyempit pada kesimpulan. Demikian juga dalam kajian ilmiah lainnya. Hipotesis general dibahas hingga menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih sempit, dan terfokus pada suatu hal yang lebih sempit dan tajam. Jadi metode deduksi adalah usaha untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi eksperiensial dari hipotesis eksplanatoris. Tugasnya adalah mengeksplikasikan hipotesis dengan cara menarik konsekuensi eksperiensial dari suatu hipotesis. Bagaimana menarik konsekuensi eksplanatoris dari suatu hipotesis? Jawabannya adalah bahwa setiap hipotesis eksplanatoris selalu mengandung prediksi generalitas. Artinya, predikat hipotesis mengklasifikasikan suatu peristiwa dalam suatu kelas yang lebih umum. Dalam proses memikirkan prediksi dari hipotesis, seorang ilmuan berkonsentrasi hanya pada makna generalitas dari hipotesis. Membahas mulai dari yang lebih umum dan makin lama makin sempit, atau makin lama makin jelas dan mudah dipahami. Dalam deduksi real, hipotesis itu sendiri berfungsi sebagai premis minor.

Contoh: Semua anggota kelas A memiliki ciri x, y, z.

Teguh adalah anggota kelas A

Jadi Teguh memiliki ciri x, y, z.

Di sini kepastian sebuah konklusi sangat ditentukan oleh kepastian dalam premis minor. Premis minor di sini merupakan hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Konklusi yang dirumuskan dalam silogisme ini diterima hanya karena bersifat logis, karena itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Proses deduktif dalam penelitian ilmiah harus berhenti pada prediksi dalam bentuk: jika – maka. Ini berarti juga hasil dari pengujian belum diketahui. Seorang ilmuan harus terus bertanya: apakah Teguh (dalam contoh di atas) memiliki ciri x, y, z?. Dalam ketidak tahuannya ia harus menanti jawaban dari alam, atau dari pengalamannya tentang alam. Jika hipotesis benar, prediksi dapat terjadi. Sebelum ada pemeriksaan yang serius mengenai hasil-hasil eksperimen, ia tetap harus mempertanyakan kebenaran dari hipotesisnya. Hasil-hasil eksperimen ini disebut prediksi. Jadi, fase deduktif berakhir dengan perumusan prediksi yang ditarik secara logis dari hipotesis eksplanatoris.

 

3. Metode Induksi

  Induksi adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau partikular tertentu untuk menarik kesimpulan umum tertentu. Dengan kata lain, dari sejumlah fenomena, fakta, atau data tertentu yang dirumuskan dalam proposisi-proposisi tunggal tertentu, ditarik kesimpulan yang dianggap sebagai benar dan berlaku umum. Cara kerjanya dimulai dengan penelitian untuk mengamati berbagai fenomena dan mengumpulkan berbagai macam fakta dan data yang kemudian dievaluasi untuk bisa melahirkan suatu kesimpulan umum tertentu. Kesimpulan ini umumnya merupakan generalisasi dari fakta dan data atau generalisasi dari proposisi tunggal yang ada yang memperlihatkan kesamaan, keterkaitan dan regularitas diantara fakta yang ada. Mari kita lihat contoh sederhana in:

Logam I dipanasi dan memuai

Logam 2 dipanasi dan memuai

Logam 3 dipanasi dan memuai

Logam 4 dipanasi dan memuai

Logam 5 dipanasi dan memuai

Kesimpulan umum: semua logam memuai kalau dipanasi

Perlu diketahui di sini bahwa walau kita dapat menarik suatu kesimpulan yang benar dan berlaku secara umum, entah itu suatu teori atau hukum, namun kebenaran itu harus diterima sebagai kebenaran sementara. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa walau kita memiliki fakta-fakta yang benar, lalu menarik suatu kesimpulan yang benar, namun ini tidak dengan sendirinya menjamin bahwa kesimpulan itu sungguh benar, atau benar secara mutlak. Mengapa? Karena ciri dasar dari induksi itu selalu tidak lengkap. Dalam kegiatan ilmiah kita hanya bekerja dengan pengamatan dan data yang sangat terbatas sifatnya, kita tidak pernah mencakup semua data yang relavan karena jumlahnya yang tak terbatas.

 

1. Induksi Gaya Bacon

Orang yang paling berjasa dalam dalam mengembangkan metode induksi adalah Francis Bacon (1561-1626). Inti dari induksi gaya Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bermula dari dan dikendalikan oleh pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandaian apapun. Ilmuwan harus mendekati alam atau obyek penelitiannya dengan menggunakan mata yang polos dan lugu, dan tidak dikuasai oleh anggapan dan praduga-praduga apap pun. Ada tiga pokok yang mau dikatakan Bacon di sini, (1) ketika mengadakan penelitian ilmiah, seorang ilmuan harus bebas dari segala pengandaian, spekulasi, teori, anggapan, dan dugaan yang mempengaruhi dia dalam mengamati obyek penelitian. Semua hal di atas harus disingkirkan sehingga memungkinkan kita menangkap obyek sebagaimana adanya. Tujuannya adalah untuk mencegah bias ilmuah, yakni hanya memperhatikan data dan fakta yang sekedar mendukung pemikiran atau teori yang ada. Kalau kita menangkap obyek apa adanya, maka kita akan menarik kesimpulan yang benar dan sampai pada kebenaran obyektif, yaitu kebenaran yang didukung oleh fakta dan data sebagaimana adanya. (2) Perlu juga memperhatikan fakta dan data yang saling bertentangan satu sama lain, karena data dan fakta yang menyimpang kadang memunculkan sesuatu yang baru. (3)Setelah pengumpulan fakta dan data, langkah berikutnya data dan fakta itu evaluasi, diklasifikasi, dirumuskan dan disimpulkan sesuai dengan kemampuan ayang dimiliki ilmuan tersebut. Menurut Bacon, baru pada tingkat inilah ilmuan dapat menggunakan berbagai macam teori dan konsep yang telah diketahuinya untuk mengolah data yang ada. Pada tingkat inilah akal budi dan pengamatan indrawi saling menunjang untuk memperoleh kesimpulan yang dapat diandalkan. Ada dua manfaat dari induksi gaya Bacon: (1) dengan metode ini ilmuan melihat kenyataan secara obyektif dan bukan kenyataan sesuai kaca mata ilmuan. Artinya kenyataan tidak dipaksakan untuk cocok sesuai apa yang dipikirkan ilmuan. Jadi ilmuan dapat sampai pada kenyataan obyektif lewat metode ini. (2) Lewat metode ini kegiatan ilmiah tidah jatuh nilainya menjadi idelogi. Pola dan cara kerja ideologi cenderung membenarkan ideologi yang ada, lewat rumusan-rumusan baku. Ilmuan justru sebaliknya harus membongkar rumusan-rumusan baku tersebut. Kegiatan ilmiah di sini bukan mencari data dan fakta untuk membenarkan diri, melainkan berusaha mengungkapkan obyek sebagaimana adanya. Ada dua keberatan menyangkut induksi gaya Bacon, pertama: bahwa kita tidak pernah mengamati, mendekati, meneliti, dan membaca alam dengan mata telanjang yang kosong sama sekali. Sekurangnya ada ide tertentu atau kita dipengaruhi oleh ide tertentu sebelum mengamati sesuatu. Kita sudah punya konsep tertentu bahwa yang kita amati adalah batu. Kita juga perlu asmusi teoritis dalam meneliti sesuatu, namun perlu diingat juga bahwa asumsi teoritis itu harus tetap terbuka untuk diubah berdasarkan fakta dan data. Asumsi teoritis di sini berfungsi sebagai alat bantu dan bukan tujuan. Bisa terjadi bahwa asumsi teoritis berubah sama sekali di tengah penelitian, bahkan apa yang kita anggap sebagai hukum atau teoti ilmiah bisa muncul tiba-tiba dan mendadak tanpa kita duga sebelumnya. Kedua, Fakta, data, fenomena tidak pernah menampilkan dirinya kepada kita sebagai fakta, data atau fenomena yang telanjang begitu saja. Fakta yang ada perlu ditafsirkan. Oleh karena itu, Bacon keliru kalau dia menyingkarkan begitu saja spekulasi ilmiah. Karena ketika kita menafsirkan data perlu ada spekulasi, imaginasi aktif dari ilmuan. Data dan fakta yang ada tidak memiliki nilai ilmiah sama sekali. Fakta itu harus ditangkap dan punya makna dan arti tertentu bagi ilmuan.

 

2. Langkah metode Induksi

Metode induksi mengenal dua macam atau model induksi, yakni metode induksi murni dan metode induksi yang sudah dimodifikasi.

 

a. Langkah Metode Induksi Murni

Ada empat langkah penting yang perlu diketahui dalam metode induksi murni antara lain, (1) Identifikasi masalah: pada tahap ini ada situasi yang disebut sabagai situasi masalah. Di sini ada berbagai macam gejala yang memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang “aneh” atau yang menarik. Ada kejadian atau peristiwa tertentu yang belum bisa dijelaskan secara masuk akal. Peristiwa atau gejala tersebut tidak diketahui sebabnya. Prinsipnya: dalam tahap pertama ini kita menetapkan dan merumuskan masalah yang ingin dipecahkan. (2) langkah kedua yang perlu diperhatikan adalah pengamatan dan pengumpulan data. Tujuannya adalah untuk membuat pengamatan secara lebih saksama atas gejalah-gejalah yang menimbulkan masalah diatas. Berdasarkan pengamatan tersebut lalu dikumpulkan berbagai fakta dan dara yang diduga dapat menjelaskan masalah tersebut di atas. Fakta dan data tersebut lalu diklasifikasi, dikaji, dan dianalisis untuk mendapatkan suatu gembaran yangjelas yang dapat memberi penjelasan tentatif tentang sebab dari masalah di atas. (3) Tahap ketiga adalah perumusan hipotesis. Berdasarkan fakta dan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tadi, diajukanlah sebuah hipotesis yang berfungsi untuk menjelaskan sebab dari masalah tersebut di atas. Sebab tersebut hanya merupakan jawaban sementara berdasarkan fakta dan data yang telah dikumpulkan. Hipotesis ini didasarkan pada dugaan mengenai hubungan yang terjalin antara antara berbagai fenomena, antara berbagai fakta dan data, khususnya menyangkut masalah dan gejala yang menjadi masalah tersebut. (4) langkah keempat adalah tahap pengujian hipotesis lebih lanjut untuk membuktikan apakah sebab yang menjadi dugaan dalam hipotesis tadi memang benar. Caranya adalah dengan membuat prediksi yang memperlihatkan adanya kaitan yang tak terbantahkan dan terbukti benar antara sebab yang diduga dalam hipotesis dan gejala yang menjadi masalah tersebut di atas. Prediksi itu mulai diujicobakan. Kalau mendukung hipotesis, dalam arti prediksi tadi terjadi, maka hipotesis tadi diterima sebagai banar. Dan bila dibuktikan terus menerus sebagai benar maka akan diterima sebagai hukum ilmiah. Kalau tidak lulu dalam pengujian selanjutnya maka akan gugur dengan sendirinya. Jika demikian maka perlu diuji hipotesis baru, entah bisa dengan mengumpulkan data dan fakta baru, atau dengan data yang ada tapi menafsirnya secara berbeda.

 

b. Metode Induksi yang telah dimodifikasi.

Ada empat langkah yang perlu diperhatikan dalam medote induksi modifikasi ini. Keempat langkah tersebut merupakan jalan keluar atas keberatan induksi gaya Bacon. (1) tahap pertama sama dengan induksi murni, yaitu adanya situasi masalah. Ada masalah yang sulit dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang ada. Karena itu ada dorongan untuk melakukan penelitian guna menjawab dan menjelaskannya. (2) tahap kedua adalah pengajuan hipotesis. Ada perbedaan dalam tahap ini antara induksi murni dan induksi modifikasi. Dalam induksi murni hipotesis dibentuk berdasarkan fakta dan data yang diperoleh melalui penelitian, dalam metode modifikasi hipotesis dibentuk hanya berdasarkan akal sehat, dugaan murni, spekulasi, imajinasi, dan asumsi tertentu berdasarkan pengetahuan tertentu yang telah dimilki. Dengan kata lain, dalam induksi murni, masalah yang ingin dipecahkan dijawab dengan  berpaling pada fakta dan data yang diperoleh dari lapangan. Sedang dalam induksi modifikasi, masalah dijawab dengan berpaling pada hipotese tertentu yang langsung diajukan berdasarkan pengetahuan tentatif tertentu. Dalam penelitian modern sekarang langkah ini mencakup studi kepustakaan. Tujuannya adalah sebagai pengetahuan awal yang bersifat umum sekitar masalah yang dihadapi. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh mana masalah di atas telah dijawab  oleh ilmuan tertentu, dan membantu kita untuk merumurskan masalah tersebut secara lebih akurat dan jelas. (3) tahap ketiga adalah penelitian lapangan. Di sini kita mengamati dan mengumpulkan fakta dan data sebanyak mungkin dengan dibimbing oleh hipotesis tadi. Langkah ini sedikit berbeda dengan langkah induksi murni, di mana hipotesis baru dibentuk setelah ada penelitian lapangan. Dalam induksi modifikasi penelitian lapangan dalam tahap ini lebih dimaksudkan untuk menjawab masalah tadi berdasarkan hipotesis yang telah diajukan. Ada bahaya besar seperti kritik Bacon dan Popper bahwa penelitian lapangan hanya sekedar untuk meneguhkan hipotesis atau teori yang sudah ada. Untuk mengatasi kelemahan itu maka hipotesis awal haruls diperlakukan sekadar  alat bantu, atau titik pangkal untuk mengarahkan penelitian dan eksplorasi lapangan. Sebagai alat bantu kita harus bersedia untuk mengubah atau menggantu dengan hipotesis baru sama sekali sesuai dengan fakta dan data yang ditemukan dalam lapangan. (4) langkah keempat adalah pengujian Hipotesis. Di sini hipotesis awal atau yang telah diganti diuji berdasarkan fakta dan data yang kita temukan dan kumpulkan. Kalau hipotesis itu didukung oleh fakta dan data yang ada maka akan diterima sebagai yang benar. Kalau tidak, maka dianggap gugur dan perlu diajukan hipotesis baru sama sekali. Contoh hipotesis berikut: Kenakalan remaja yang ada sekarang disebabkan oleh peran ganda ibu. Hipotesis ini benar kalau fakta dan data yang dikumpulkan secara akurat itu menunjukkan bahwa sebagian besar anak nakal berasal dari keluarga yang memiliki ibu peran ganda (sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah atau wanita karier). Latar belakang hipotesis ini bahwa orang tua yang keduanya bekerja akan kurang memperhatikan remajanya yang sedang berkembang dan membutuhkan pendampingan. 

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...