ASAL USUL INTELIGENSI

 ASAL USUL INTELIGENSI

Tidak mudah untuk mendefinisikan inteligensi. Dapat dikatakan bahwa setiap ahli memiliki pengertian yang berbeda. Namun demikian, dari pemahaman-pemahaman yang berkembang terdapat dua kelompok  teoris yang berbeda sudut pandang. Salah satu kelompok, terdiri dari teoris-teoris yang telah mempelajari susunan/organisasi kemampuan mental, minat utamanya adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang menyusun inteligensi. Kelompok yang lain, ialah teoris yang memusatkan pandangannya pada proses-proses dalam aktivitas intelektual (proses-proses yang terlibat dalam pemecahan masalah, perencanaan, mengingat sesuatu).  Berikut ini kita bahas dua kelompok teori tersebut.

Teori-teori Faktor

Apakah intelligensi merupakan karakteristik tunggal atau merupakan kumpulan karakteristik ? Ini merupakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Perkembangan teori inteligensi dapat digambarkan seperti seorang pelaut yang memperhatikan monster laut “Loch Ness”.

(a) berbagai bentuk yang nampak di atas permukaan, selanjutnya mungkin disimpulkan bahwa yang terlihat adalah bagian-bagian dari satu kesatuan , yakni sebentuk naga 

(b); hal ini analog dengan pandangan bahwa inteligensi adalah kemampuan umum tunggal. Selanjutnya mungkin dismpulkan bahwa  di balik permukaan terdapat beberapa naga 

(c); hal ini analog dengan pandangan bahwa inteligensi terdiri dari beberapa kemampuan yang terpisah. Atau dapat juga mereka menyimpulkan bahwa setiap bagian yang terlihat adalah bagian dari makhluk yang berbeda 

(d); yang analog dengan pandangan bahwa setiap tugas intelektual melibatkan kemampuan yang berbeda.   

Untuk memastikan apakah intelligensi merupakan karakteristik tunggal atau merupakan kumpulan karakteristik, banyak ahli yang menggunakan teknik statistik yang disebut analisis faktor (factor analysis). Teknik ini merupakan cara untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok kemampuan atau perilaku atau sifat-sifat yang saling berhubungan satu dengan yang lain.

 Meskipun mungkin semua teoris menggunakan analisis faktor untuk mempelajari inteligensi, namun hasil mereka berbeda satu sama lain. Berikut adalah beberapa teori yang sama-sama diperoleh dari analisis faktor:

a. Teori Faktor-G. Charles Spearman (1927), psikolog Inggris yang merintis teori faktor, yang mengusulkan bahwa inteligensi terdiri dari satu faktor kemampuan umum (general-G). Spearman mencatat bahwa sejumlah pengukuran tugas-tugas kognitif dan intelektual cenderung saling berkorelasi antara yang satu dengan yang lain; artinya orang yang skornya tinggi pada satu tugas cenderung tinggi pula skornya pada tugas yang lain.  Dengan menggunakan analisis faktor versi awal, Spearman menemukan bahwa faktor umum  (G) yang ia yakini terbagi menjadi beberapa macam tes. Untuk itu Spearman memberi alasan bahwa tiap-tiap tugas intelektual individu terdiri atas inteligensi umum (general-G), dan beberapa kemampuan khusus yang lain (specific-S). Misalnya, tes aritmatika dapat terdiri dari G dan kemampuan matematika khusus. Pandangan Spearman ini tercermin dalam tes inteligensi yang menghasilkan skor tunggal, yakni IQ.

b. Teori-teori Multifaktor (multifactor theories). Berbeda dengan Spearman, beberapa teoris menyimpulkan bahwa inteligensi terdiri dari beberap komponen. Dalam satu hal mereka sependapat dengan Spearman, bahwa skor dalam tugas-tugas kognitif dan intelektual cenderung saling berkorelasi antara yang satu dengan yang lain, namun lebih dari itu mereka melihat bahwa kelompok tes tertentu berkorelasi lebih tinggi satu sama lain dan berkorelasi lebih rendah dengan kelompok tes yang lain. Misalnya, kelompok tes memori cenderung lebih tinggi korelasinya satu sama lain dan lebih rendah korelasinya dengan kelompok tes yang lain; dan kelompok tes yang  melibatkan penghitungan angka-angka lebih tinggi korelasinya satu sama lain dan lebih rendah korelasinya dengan kelompok tes yang bukan numerik. Hal ini oleh para teoris yang tidak setuju dengan Spearman diartikan bahwa inteligensi meliputi faktor memori, faktor kemampuan numerik, dan mungkin faktor lainnya.

Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dengan teori multifaktor ialah L.L. Thurstone (1938). Tes inteligensi yang dibuatnya diberi nama Primary Mental Ability (PMA); terdiri dari 56 tes, dan pola-pola korelasinya berhasil mengidentifikasi adanya faktor-faktor verbal comprehension, word fluency, perceptual speed, memory, numerical ability, spatial ability, dan reasoning.

Teori multifaktor yang lebih kompleks, diusulkan oleh J.P.Guilford (1967). Teorinya adalah teori tiga dimensi dan digambarkan dengan kubus. Model ini memberikan 120 faktor inteligensi. Tiap faktor direpresentasikan oleh sebuah sel pada kubus. Kombinas dari tiga dimensi tersebut adalah sbb: 

(a) lima jenis operasi, 
(b) enam jenis produk, 
(c) empat jenis isi (5 X 6 X 4 = 120). Jadi, tiap-tiap sel kubus merepresentasikan satu kemampuan primer yang merupakan kombinasi dari operasi, produk, dan isi.

Konsep inteligensi dari Guilford ini melibatkan apa yang disebutnya “berpikir divergen (divergent thinking) yang erat hubungannya dengan pemecahan masalah yang kreatif, original, sebagai kebalikan dari “berpikir konvergen (convergent thinking)”.

c. Teori Hirarki (hierarchical theory). Teori ini merupakan gabungan antara teori faktor-G dengan teori multifaktor (Vernon, 1950). Menurut teori ini inteligensi digambarkan sebagai piramida. Puncak piramid, terdapat G (inteligensi umum) yang ditunjukkan benar-benar dengan segala macam aktivitas intelektual; di bawahnya adalah beberapa faktor kemampuan khusus (moderately specific ability) seperti PMA dari Thurstone; dan pada lapisan piramid paling bawah adalah sejumlah besar kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik (highly specific abilities).

Teori-teori Inteligensi Yang Berorientasi Pada Proses 

Teori-teori ini fokusnya adalah proses-proses intelektual, yakni pola-pola berpikir yang digunakan orang ketika mereka melakukan penalaran dan memecahkan masalah. Teoris-teoris inteligensi yang berorientasi pada proses, lebih sering menggunakan istilah “kognisi” atau “proses kognitif” daripada istilah “inteligensi”. Para teoris ini juga cenderung memfokuskan perhatiannya pada proses perkembangan intelektual (proses-proses perubahan kemampuan intelektual setelah individu semakin dewasa).

a. Teori Piaget (1970). Pandangan Piaget: (a) Inteligensi merupakan suatu proses adaptif yang melibatkan interaksi antara kematangan biologis dengan lingkungan; (b) Perkembangan intelektual merupakan evolusi proses kognitif, seperti pemahaman terhadap hukum-hukum alam, prinsip-prinsip gramer, dan dalil-dalil matematika.

b. Teori Bruner (1973). Bruner berpandangan bahwa perkembangan intelektual sebagian merupakan pertumbuhan keyakinan (reliance) terhadap representasi internal. Misalnya: (a) Bayi mempunyai bentuk inteligensi yang berorientasi pada aksi, mengenal objek hanya berdasarkan sejauhmana mereka melakukan aksi terhadap objek tersebut; (b) Anak kecil mengenal sesuatu dengan merasakannya, dan sangat dipengaruhi oleh persepsi yang gamblang tentang karakteristik objek atau peristiwa; (c) Anak yang lebih besar dan orang dewasa mengenal sesuatu secara internal dan simbolik, yaitu dapat membedakan simbol-simbol internal atau representasi-representasi (perwujudan) internal dari objek-objek dan tindakan-tindakan. Bruner mencatat bahwa perkembangan kemampuan ini dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya oleh rewards dan punishment.

c. Teori-teori Pemrosesan Informasi. Teori-teori ini membedakan inteligensi ke dalam berbagai ketrampilan dasar yang digunakan orang untuk memasukkan informasi, memproses, dan kemudian menggunakannya untuk bernalar dan memecahkan masalah. Tokoh-tokohnya ialah: Robert Sternberg (1984), Huan Pascal Leong (1983), Siegler (1983), Fischer (1980).

 




Sumber :

Morgan, C.T., King, R.A., Weisz, J.R., & Schopler, J. (1986). Introduction to Psychology. Singapore : McGraw-Hill, Inc.

No comments:

Post a Comment

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...