Showing posts with label belajar. Show all posts
Showing posts with label belajar. Show all posts

Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif) (Aplikasi Aliran Humanistik)

Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)

Prinsip metode ini adalah mahasiswa belajar dari dan dengan 
teman-temannya untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan 
secara penuh bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai (afiatin, 2007) 
Disini dosen membagi otoritas dengan mahasiswa. Secara detail prosedur yang dilakukan dalam metode 
ini adalah :
- Dosen menjelaskan topik yang akan dipelajari
- Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok 
terdiri dari 5 – 7 orang
- Dosen membagi sub-sub topik kepada masing-masing kelompok, disertai dengan pertanyaan atau tugas-tugas yang berkaitan dengan masing-masing sub topik
- Dosen meminta masing-masing kelompok mendiskusikan, menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas pada masing-masing sub topik
- Dosen meminta masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi atau pekerjaannya dalam kelompok
- Dosen memfasilitasi pembahasan topik secara menyeluruh dalam

Independent Learning (Pembelajaran Mandiri). (Aplikasi Aliran Humanistik)

Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang 
menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang, mengatur 
dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung 
jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek maupun metode 
instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid), 
mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, 
siapa yang harus mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber 
apa saja yang akan digunakan, dan bagaimana cara mengukur 
keberhasilan upaya belajar yang telah dilaksanakan (Lowry, dalam 
Harsono, 2007).
Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di 
tingkat atau level perguruan tinggi, karena menuntut kemandirian 
yang tinggi dari peserta didik. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi 
fasilitator proses belajar, bukan sebagai penentu proses belajar. 
Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya 
dan bahkan diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang 
dipelajari peserta.
Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan 
pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran 
secara keseluruhan (Harsono, 2007). Perancangan pembelajaran inipembelajaran merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif untuk membantu peserta didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan membuat mereka lebih berkomitmen terhadap proses pembelajaran.

Harsono, 2007. Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya 
Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 
4 April 2007).

Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif). (Aplikasi Aliran Humanistik dalam Pendidikan)

Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi mahasiswa saling berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Kompetisi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Kompetisi individual berarti mahasiswa berkompetisi dengan dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebelumnya. 
Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun kerjasama kelompok untuk mendapat prestasi tertinggi (Afiatin, 2007). 
Prosedur proses pembelajaran kompetitif adalah sebagai berikut :
- Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran
- Dosen membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dengan 
jumlah anggota 5 – 7 orang
- Dosen menjelaskan prosedur tugas yang akan dikompetisikan 
dan standar penilaiannya
- Dosen memfasilitasi kelompok untuk dapat mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya
- Masing-masing kelompok menunjukkan kinerjanya
- Dosen memberikan penilaian terhadap kinerja kelompok berdasar standar kinerja yang telah disepakati. 


Afiatin, T. 2007. Strategi Pembelajaran dengan Paradigma Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).

Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif). (Aplikasi Aliran Humanistik)

Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif)
Prinsip dari Pembelajaran Kolaboratif adalah bahwa pembelajaran merupakan proses yang aktif. Mahasiswa mengasimilasi informasi dan menghubungkannya dengan pengetahuan baru melalui kerangka acuan pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang akan membuka wawasan para mahasiswa untuk secara aktif berinteraksi dengan temannya. Di sini mahasiswa akan mendapatkan keuntungan lebih jika mereka saling berbagi pandangan yang berbeda dengan temannya (afiatin, 2007) 
Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang memungkinkan terjadinya komunikasi dan saling bertukar informasi, yang akan memudahkan mahasiswa menciptakan kerangka 
pemikiran dan pemaknaan terhadap hal yang dipelajari. Mahasiswa ditantang baik secara sosial maupun emosional ketika menghadapi perbedaan perspektif dan memerlukan suatu kemampuan untuk dapat mempertahankan ide-idenya. Dengan demikian melalui proses 
ini mahasiswa belajar menciptakan keunikan kerangka konseptual masing-masing dan secara aktif terlibat dalam proses membentuk pengetahuan.
Adapun prosedur pembelajaran kolaboratif adalah sebagai berikut :
- Dosen menjelaskan topik yang akan dipelajari
- Dosen membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang 
terdiri dari 5 orang
- Dosen membagi lembar kasus yang terkait dengan topik yang dipelajari
- Mahasiswa diminta membaca kasus dan mengerjakan tugas yang terkait dengan persepsi dan solusi terhadap kasus
- Mahasiswa diminta mendiskusikan hasil pekerjaannya dalam kelompok kecil masing-masing dan mendiskusikan kesepakatan kelompok
- Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dalam kelas dan meminta kelompok lain untuk memberikan tanggapan. 

Afiatin, T. 2007. Strategi Pembelajaran dengan Paradigma Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 4 April 2007).

Psikologi Humanistik (David Mills dan Stanley Scher)

David Mills dan Stanley Scher

Ilmu Pengetahuan Alam selama bertahun-tahun hanya dibahas dan dipelajari secara kognitif semata, yakni sebagai akumulasi dari fakta-fakta dan teori-teori. Padahal, bagaimanapun, praktek dari ilmu pengetahuan selalu melibatkan elemen-elemen afektif 
yang meliputi adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan imajinasi dalam usaha-usaha kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, David Mills dan Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan konsep 
pendidikan terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan 
afeksi atau perasaan murid dalam belajar.
Metode afektif yang melibatkan perasaan telah bisa diterapkan 
pada murid-murid untuk pelajaran IPS, Bahasa dan Seni. Sebetulnya ahli yang memulai merintis usaha ini adalah George Brown, namun kedua ahli ini kemudia mencoba melakukan riset yang bertujuan menemukan aplikasi yang lebih real dalam usaha tersebut. 
Penggunaan pendekatan terpadu ini dilakukan dalam pembelajaran IPA, pendidikan bisnis dan bahkan otomotif.
Pendekatan terpadu atau Confluent Approach merupakan sintesa dari Psikologi Humanistik –khususnya Terapi Gestalt- dan pendidikan, yang melibatkan integrasi elemen-elemen afektif dan kognitif dalam proses belajar. Elemen kognitif menunjuk pada 
berpikir, kemampuan verbal, logika, analisa, rasio dan cara-cara intelektual, sedangkan elemen afektif menunjuk pada perasaan, cara-cara memahami yang melibatkan gambaran visual-spasial, fantasi, persepsi keseluruhan, metaphor, intuisi, dan lain-lain.
Tujuan umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia 
sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan 
kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, 
menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab 
bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam pendekatan terpadu adalah untuk lebih membebaskan murid dari ketergantungan kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan responsibilitas murid untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan memberikan pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka, 
dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan untuk hal-
hal yang bisa ditangani oleh murid sendiri.
 Lebih jauh, David Mills dan Stanley Scher memaparkan tujuan 
pendidikan terpadu ini secara detail sebagai berikut :

a. Membantu murid untuk mengalami proses ilmu pengetahuan, termasuk penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual maupun afektif.
b. Membantu murid dalam mencapai kemampuan untuk menggali dan mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang ilmiah.
c. Meningkatkan pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep dan ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
d. Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi dari aplikasi yang mungkin dari ilmu pengetahuan.
e. Memungkinkan murid untuk menerapkan baik proses maupun pengetahuan ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan kesadaran murid terhadap dunia mereka dan setiap pilihan yang mereka ambil.
Penerapan metode gabungan antara kognitif dan afektif ini menunjukkan hasil yang lebih efektif dibanding pengajaran yang hanya menekankan aspek kognitif. Para siswa merasa lebih cepat menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role playing dan 
game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid berperan 
sebagai astronot.

Psikologi Humanistik (Arthur Combs)

Arthur Combs
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus 
melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa 
tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang 
lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh 
murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-
aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).
Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut. Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana 
bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil.
Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya 
terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.

Psikologi Humanistik (Carl R. Rogers)

Carl R. Rogers
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan 
pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan 
ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.

b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai 
arti baginya.

c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman 
yang bisaanya menyinggung perasaan.

d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
 Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ). 
Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu 
penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, 
menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar.
 Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, 
tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan 
pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.
 Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkansemua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai 
Whole - Person Learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki 
(feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah 
untuk terus belajar.

e. Belajar dan Perubahan
 Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. 
Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. 
Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup 
dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating. 
Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

Kenali Kepribadianmu Dengan Big Five

✨ “Kenali Kepribadianmu dengan Big Five!” ✨ 🔹 1. Neurotisisme – Cemas & mudah gugup (Kebaikan) ↔ Tenang & percaya diri 🔹 2. Ekstra...