Perpisahan
Untuk memahami terjadinya perpisahan, Hill, Rubin, dan Peplau (1976) mengadakan penelitian yang ekstensif selama dua tahun, yaitu dengan subjek sebanyak 231 pasangan di wilayah Boston, AS. Pada akhir penelitian (masa penelitian dua tahun), ternyata 103 pasangan (45%) telah berpisah; 65 pasangan masih berkencan; 9 pasangan telah bertunangan, 43 pasangan telah menikah, dan 11 pasangan tidak dapat dihubungi.
Hill dkk menemukan bahwa mereka yang melaporkan perasaan dekat dengan pasangannya pada tahun pertama penelitian (1972) tidak selalu berarti bahwa hubungan dengan pasangannya tetap langgeng dalam dua tahun kemudian. Hal ini sesuai dengan pembahasan hasil penemuan Rubin (1970) mengenai kecintaan dan kesukaan. Hasil penelitian Rubin tersebut menunjukkan bahwa skor dari skala cinta (love) lebih prediktif (lebih dapat digunakan untuk memprediksi/meramalkan) terhadap hubungan tersebut dari pada skor dari skala rasa suka (liking). Selanjutnya, terbukti juga bahwa skor skala cinta dari subjek perempuan lebih prediktif terhadap kelanggengan hubungan dari pada skor skala cinta dari subjek laki-laki. Artinya bahwa pada subjek perempuan, yang skor skala cinta-nya lebih tinggi, lebih langgeng pula hubungan subjek tersebut dengan pasangannya. Hal ini tentu saja seperti yang telah kita bahas di atas, karena perempuan cenderung memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola hubungan, maka perasaan perempuan dalam suatu hubungan merupakan indeks yang lebih sensitif untuk kesehatan hubungannya. Apakah pasangan tersebut telah melakukan sexual intercourse dan apakah telah hidup bersama, hal ini tidak menjamin keberhasilan hubungan di masa yang akan datang.
Pada subjek penelitian Hill dkk tersebut, kesamaan yang ada pada satu pasangan (yang merupakan faktor penting untuk Daya Tarik), juga penting bagi berhasilnya suatu hubungan.
Kesamaan dalam pendidikan, inteligensi, dan daya tarik, lebih banyak ditemukan pada pasangan yang hubungannya langgeng dari pada pasangan yang akhirnya berpisah.
Kesamaan dalam agama, sikap-sikap terhadap peran gender, dan kebutuhan/harapan akan ukuran keluarga (banyaknya anak), ternyata tidak dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan jangka panjang.
Prediktor penting yang lain yang dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan hubungan adalah kebutuhan untuk berkuasa (need for power) pada laki-laki (Stewart & Rubin, 1976). Kebutuhan berkuasa di sini didefinisikan sebagai suatu kecenderungan yang stabil untuk mempengaruhi orang lain melalui tindakan langsung ataupun yang lebih halus/licik/cerdik. Pada pasangan-pasangan di Boston (penelitian Hill dkk), laki-laki yang kebutuhan berkuasa-nya tinggi lebih, lebih banyak menunjukkan masalah di dalam hubungan dan lebih banyak menunjukkan ketidakpuasan terhadap hubungan dengan pasangannya.
Ketidakseimbangan (Inequity) dan Ketidakpermanenan (Impermanence)
Menurut equity theory (yaitu versi lain dari social exchange theory), di dalam suatu hubungan orang tidak hanya mempertimbangkan costs dan rewards yang ada padanya, namun juga costs dan rewards pada orang lain. Idealnya dua perbandingan tersebut seimbang. Orang yang merasa bahwa dalam hubungannya terjadi ketidakseimbangan, akan mengalami ketegangan dan mengusahakan adanya keseimbangan, baik secara nyata mengubah input dan outcomes ataupun secara psikologis mengubah persepsi tentang perolehan dan costs yang dialami oleh dua belah pihak. Menurut penemuan Davidson (1984) serta Traupmann, Peterson, Utne, & Hatfield (1981), pasangan yang masing-masing individunya merasakan keseimbangan, paling mungkin untuk sukses hubungannya. Sebaliknya, persepsi ketidakseimbangan merupakan sinyal adanya kesulitan dalam hubungan tersebut.
Perceraian (perpisahan setelah perkawinan)
Perkawinan bukanlah jaminan berlangsungnya hubungan yang langgeng. Di Amerika, tingkat perceraian semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Apakah yang menyebabkan retaknya perkawinan ? Beberapa faktor kepribadian dan demografis ditemukan berhubungan dengan kemungkinan perceraian (Newcomb & Bentler, 1981). Misalnya, orang yang menikah terlalu muda, lebih besar kemungkinannya untuk bercerai. Dari sisi kepribadian, misalnya, mereka yang tingkat ambisi dan kebutuhan berprestasinya terlalu tinggi, cenderung kurang stabil perkawinannya.
No comments:
Post a Comment