Atribusi ( Kesimpulan Tentang Orang lain)

ATRIBUSI

Untuk menilai orang lain berdasarkan sifat-sifat, tujuan, atau kemampuan tertentu, mengharuskan kita untuk membuat atribusi atau kesimpulan tentang mereka. Karena kita tidak memiliki akses tentang pikiran-pikiran pribadi, motif, ataupun perasaan orang lain, kita membuat kesimpulan tentang sifat-sifat mereka berdasarkan perilaku yang dapat kita amati. Dengan membuat atribusi semacam itu kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam meramalkan apa yang diperbuat oleh orang tersebut di kemudian hari.
Secara sederhana Atribusi sering diartikan sebagai kesimpulan tentang sebab-sebab perilaku seseorang.
Terdapat beberapa pendekatan berlainan yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses atribusi. Tiap-tiap pendekatan memiliki prinsip dasar untuk menyimpulkan sebab-sebab perilaku.

1.  Psikologi Naif dari Heider
Minat Psikologi Sosial terhadap proses atribusi diawali dengan teori Fritz Heider (l958), yang peduli tentang usaha kita untuk memahami arti perilaku orang lain, khususnya bagaimana kita mengidentifikasi sebab-sebab tindakannya. 
Secara umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces), seperti kemampuan atau usaha, atau oleh daya-daya lingkungan (environmental forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu tindakan diatribusi sebagai  daya personal, akibatnya akan berbeda dengan tindakan yang diatribusi sebagai daya lingkungan.  Misalnya, andaikan kita sedang antre utuk membeli tiket di Gedung Bioskop, tiba-tiba seorang laki-laki tinggi-besar menabrak kita. Kita mungkin mengatribusinya sebagai daya pribadi (kita simpulkan sebagai kesengajaan dari laki-laki itu untuk menyakiti kita). Jika demikian, kita akan marah atau sakit hati. Namun jika kita mengatribusi peristiwa tersebut disebabkan daya lingkungan (misalnya kita simpulkan sebagai kecelakaan karena laki-laki tersebut tersandung karpet yang tidak rata), maka kita akan memaafkan laki-laki tersebut atau bersikap ramah terhadapnya. 
Kita menyimpulkan (mengatribusi) suatu tindakan disebabkan daya personal hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan, dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian atribusi kita, kita beranggapan bahwa hal tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakannya di masa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita mengatribusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalakan tindakan-tindakannya di masa yang akan datang.

2. Teori Atribusi dari Kelley
Teori atribusi dari Harold Kelley (1967, 1973) ini merupakan perkembangan dari teori Heider. Seperti Heider, fokus teori ini adalah bagaimana caranya menentukan, apakah tindakan tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi karena adanya sebab, Oleh sebab itu Kelly mengajukan suatu cara untuk mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada  penyebab tindakan, apakah daya internal atau daya eksternal. 
Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang kita gunakan untuk memutuskan hal tersebut:  (a) Konsistensi (consistency) respon dalam berbagai waktu dan situasi, yaitu sejauh mana respon tertentu selalu terjadi pada saat hadirnya stimulus atau keadaan tertentu; (b) Informasi konsensus (consensus information), yaitu sejauh mana orang-orang lain merespon stimulus yang sama dengan cara yang sama dengan orang yang kita atribusi; (c) Kekhususan (distinctiveness), yaitu sejauh mana orang yang kita atribusi tersebut memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai stimulus yang kategorinya sama. 
Kombinasi antara konsistensi yang tinggi, konsensus yang tinggi, dan kekhususan yang tinggi, menghasilkan atribusi eksternal; sedangkan konsistensi yang tinggi dikombinasi dengan konsensus yang rendah dan kekhususan yang rendah, menghasilkan atribusi internal.

Contoh:
Umpamakan anda mencari restoran yang baik, dan seorang teman anda mengusulkan sebuah restoran Perancis. Bagaimana cara anda mengetahui, apakah usul teman anda itu karena faktor eksternal (atribusi eksternal) yaitu karena restoran itu sendiri memang baik; ataukah karena faktor personal (atribusi internal) yaitu karena sifat-sifat pribadi teman anda-lah yang menentukan pilihannya tersebut.  Jika anda menanyakan perihal restoran Perancis yang disarankan teman anda tersebut kepada beberapa orang yang lain dan ternyata mereka juga berpendapat bahwa restoran tersebut memang baik (konsensusnya tinggi); dan jika anda ketahui bahwa teman anda tersebut tidak begitu suka terhadap restoran-restoran yang lain, termasuk restoran-restoran Perancis yang lain (kekhususannya tinggi); dan jika teman anda tersebut telah berkunjung lebih dari satu kali ke restoran yang disarankannya dan selalu suka terhadap restoran tersebut (konsistensinya tinggi), maka anda akan membuat atribusi eksternal terhadap usulan teman anda tersebut. Artinya anda akan beranggapan bahwa restoran tersebut memang benar-benar baik, sehingga anda memilih untuk berkunjung ke sana. Di sisi lain, jika ternyata beberapa teman anda tidak menyukainya (konsensusnya rendah); dan anda tahu bahwa teman anda tersebut jarang mengatakan bahwa restoran yang lain tidak baik (kekhususannya rendah); maka anda akan membuat atribusi internal, yaitu anda beranggapan bahwa teman anda menyukai restoran tersebut hanya karena ia suka makan di restoran-restoran dan bahwa dia tidak dapat membedakan mana restoran yang baik dan mana yang sedang-sedang.
Jika konsistensinya tidak tinggi, hal ini tidak dapat mengarahkan pada atribusi internal maupun eksternal. Mungkin terdapat faktor penentu yang lain yang mempengaruhi perilaku. Misalnya, jika teman anda tersebut hanya beberapa waktu menyukai restoran tersebut, anda dapat berpikir bahwa manajemen atau kepala restoran tersebut telah berganti.

3. Teori tentang Atribusi Personal (Jones dan Davis)
E.E. Jones dan Keith Davis (1965) memfokuskan perhatiannya terhadap bagaimana cara kita menyimpulkan, apakah perilaku seseorang mencerminkan watak pribadinya atau tidak. Seperti Heider, mereka beranggapan bahwa berbagai tindakan yang dilakukan seseorang merupakan hasil dari suatu urut-urutan yang diawali oleh sifat-sifat pribadi yang menghasilkan niat dan dimodifikasi oleh kemampuan, yang akhirnya menghasilkan tindakan-tindakan.  Namun mereka memperluas teori Heider tersebut dengan menyatakan bahwa dalam bertindak, seorang selalu mempunyai pilihan-pilihan, dan mendapatkan berbagai efek dari tindakannya. Untuk menyimpulkan watak seseorang, pengamat (perceiver) harus bekerja secara terbalik, yaitu dengan mengamati pilihan-pilihan tindakan beserta efek-efeknya. Dalam hal ini, pengamat tidak hanya melihat apa yang nyata-nyata dilakukan seseorang, namun juga memperhatikan sebenarnya apa saja yang dapat dilakukan. Apa yang dilakukan (tindakan yang dipilih) seseorang mempunyai berbagai efek. Di sisi lain, tindakan-tindakan yang sebenarnya mampu untuk dilakukan namun tidak dipilih, jika dipilih (benar-benar dilakukan) sebenarnya juga mempunyai efek. Efek-efek yang berbeda dari tindakan yang dipilih dan yang tidak dipilih itulah yang memberikan petunjuk mengenai niat yang ada pada seseorang, yang sekaligus dapat mencerminkan wataknya.
Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam atribusi personal: apakah efek-efek tindakan yang dipilih itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, diharapkan atau tidak diharapkan, positif atau negatif. Jika efek-efek tindakannya mempunyai nilai  negatif atau kurang diharapkan atau tidak menyenangkan atau tidak baik, hal ini lebih dapat mencerminkan watak atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki orang yang bersangkutan. Misalkan, memilih bermain tenis pada waktu cuaca dingin dan hujan (dipandang sebagai tidak menyenangkan) lebih dapat menunjukkan motif atau niat seseorang dari pada jika orang tersebut bermain tenis pada waktu cuaca cerah (sudah sewajarnya bermain tenis pada saat cuaca cerah).

4.  Atribusi diri
Menurut Bem (1967,1972), dalam mengatribusi diri sendiri kita kebanyakan menggunakan proses yang sama seperti mengatribusi orang lain. Biasanya kita terlebih dahulu melihat apakah ada penyebab perilaku kita yang berasal dari lingkungan melalui daya-daya eksternal. Jika tidak ada, selanjutnya kita berasumsi (beranggapan) bahwa perilaku kita terjadi karena motif-motif internal atau sifat-sifat pribadi kita sendiri. Pada akhirnya kita akan mengenali karakter kita sendiri melalui perilaku-perilaku kita. 
Tokoh lain, Jones dan Nisbet (1972) membuat hipotesis yang lain, yaitu meskipun prosesnya mungkin sama, namun proses mengatribusi diri sendiri dan mengatribusi orang lain  tidaklah sama. Kita cenderung melihat perilaku kita lebih banyak dikendalikan oleh situasi, sementara kita melihat  perilaku orang lain lebih disebabkan oleh daya-daya internal. Perbedaan ini disebabkan karena kita melihat diri kita sendiri sebagai pribadi yang stabil yang berinteraksi dengan lingkungan yang berubah-ubah. Karena lingkungan yang berubah-ubah, maka kita menyimpulkan bahwa perubahan perilaku kita disebabkan karena perubahan situasi. Lain halnya jika kita mengamati perilaku orang lain, bagaimanapun juga kita melihat bahwa lingkungan merupakan faktor yang stabil dan orang (yang kita amati) berubah-ubah. Contoh yang mendukung hipotesis ini adalah hasil eksperimen Nisbet dkk. Yang menemukan bahwa ketika para mahasiswa menjelaskan alasannya memilih bidang studi tertentu, mereka cenderung menyebutkan baik kualitas jurusan yang dipilihnya maupun kualitas prbadinya sebagai dua faktor yang menentukan pilihannya. Namun demikian, ketika menjelaskan pilihan yang dilakukan oleh temannya, mereka lebih cenderung menekankan karakter pribadi teman tersebut dari pada kualitas jurusan pilihan temannya. 

No comments:

Post a Comment

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...