Sumber Pengetahuan (filsafat)

SUMBER PENGETAHUAN,
KEBENARAN DAN KEPASTIANNYA

 

I. SUMBER PENGETAHUAN

Pada umumnya para filsuf barat membedakan dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diperoleh lewat daya indrawi dan pengetahuan yang diperoleh budi atau rasio. Pembagian ini tidak berarti keduanya berbeda secara seratus persen atau dapat dipisahkan secara total. Keduanya saling berhubungan, menunggal dan berjenjang. Selain itu para filsuf Timur memiliki tradisi pengetahuan sendiri yang perlu juga kita tambahkan di sini yakni pengetahuan lewat intuisi.

 

1. Pengetahuan Rasionalisme atau pengetahuan intelektif

Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya yakno pengetahuan yang tidak mungkin salah ( Keraf, 2001 : 43). Menurut pandangan ini bahwa sumber satu-satunya pengetahuan adalah akal budi. Mereka menolak pandangan yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh lewat pengalaman indrawi.

Pengetahuan Rasionlisme disebut juga pengetahuan intelektif (Watloly, 2001: 144). Istilah intelektif diambil dari kata intelektual, yang berasal dari bahasa Latin: intelektus berarti “dalam pikiran” atau dalam akal. Dalam konteks ini pengetahuan intelektif berarti pengetahuan yang diperoleh dalam proses pikiran atau akal yang mendalam. Pengetahuan yang dicapai lewat rasio, atau intelegensi yang merupakan khas kemampuan manusia dibandingkan dengan makluk hidup lainnya. Selain istilah di atas, ada juga istilah inteligensi yang diambil dari kata latin intellectus dan kata kerja intellegere. Kata intellegere terdiri dari kata intus artinya dalam pikiran atau akal, dan kata legere yang berarti membaca atau menangkap. Dengan demikian kata intellegere berarti membaca dalam pikiran atau akal segala hal dan menangkap artinya yang dalam. Menjadi intelegen berarti mampu menangkap apa yang esensial dari suatu gejala, melihat apa yang hakiki dari kegiatan ini atau itu. Berikut ini kita akan melihat beberapa pandangan mengenai aliran rasionalisme.

 

a. Plato

Plato adalah seorang filsuf dan pengarang Yunani terkenal.  Ia lahir pada tahun 427 S.M. dan meninggal pada tahun 347 S.M.  Ia mendapat pendidikan biasa sebagai seorang remaja Atena.  Ia berasal dari keluarga baik-baik dibidang musik, sastra dan olahraga senam.  Ketika kurang lebih berusia 20 tahun, ia menjadi murid Socrates dan tinggal pada gurunya sampai ia berusia 28 tahun.  Setelah kematian Sokrates, Plato meninggalkan Atena untuk belajar bersama-sama dengan Euclid, dan bepergian secara ekstensif ke Mesir, Italia, dan Sisilia.  Segera setelah ia pulang, ia mendirikan akademinya yang termasyur di kebunnya sendiri di Atena, dan mengajar di situ selama 40 tahun dengan metode diskusi, dan percakapan.  Beberapa orang muridnya menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan terkenal dengan caranya sendiri-sendiri, termasuk Aristoteles, Demosthenes dan Lycurgus.  Karya-karya plato yang diterbitkan diantaranya Dialogues, The Republic, Lows, Phaedris, Symposium, Gorgias, dan Phaedo.  

Plato dianggap sebagai rasionalis pertama, karena rasionalisme muncul pertama kali dalam pemikiran-pemikiran Plato. Plato mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan dan tak berubah adalah episteme yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Yang ditangkap dan diserap pancaindra hanyalah tiruan ide-ide abadi yang cacat, dan karena yang diserap pancaindra itu tiruan, tidak nyata dan tidak sempurna. Dunia fana merupakan bayangan dari ide yang abadi, dan bayangan itu banyak dan bermacam-macam. Bila manusia melihat bayangan itu, ia ingat akan ide abadi. Jadi, pengetahuan menurut Plato adalah hasil ingatan yang melekat erat pada manusia. Di sini Plato mendefinisikan pengetahuan sebagai pengenalan kembali akan hal-hal yang sudah diketahui dalam ide abadi, juga sebagai kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia. Jadi, untuk mengetahui sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu dan untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita cukup mengandalkan akal budi yang telah mengenal ide abadi. Selanjutnya plato ( Lavine, 1982: 36) mengatakan bahwa obyek dari pemahaman rasional atau intelek adalah adalah konsep-konsep kebenaran yang berlawanan dengan obyek kepercayaan. Ia juga membedakan antara obyek persepsi (pengindra) dan obyek pemahaman intelek yakni bahwa obyek pamahaman perseptif adalah hal-hal konkrit, particular, yang masih berubah, hal-hal yang selalu dalam proses menjadi. Sebaliknya obyek pemahaman intelek adalah hal-hal abstrak, konsep-konsep umum dan universal, hal-hal yang tak berubah, dan yang abadi.

 

b. Rene Descartes

Descartes adalah seorang ahli matematika, ahli ilmu faal, Filsuf berkebangsaan Perancis yang hidup dari tahun 1596 hingga 1650.   Descartes meneruskan sikap kaum skeptis dalam pandangannya mengenai pemahaman rasional. Ia setuju dan menganggap serius anggapan kaum skeptis bahwa kita perlu meragukan semua keyakinan kita, dan ia menganggap bahwa pandangan kaum skeptis adalah pandangan yang tepat. Sasaran utama pandangan Descartes adalah bagaimana supaya kita bisa sampai pada pengetahuan yang benar dan pasti. Menerut dia bahwa kita perlu meragukan segala sesuatu sebelum sampai pada ide yang jelas dan pasti. Kita perlu meragukan untuk sementara apa yang belum dilihat dengan terang akal budi sebagai sesuatu yang benar dan pasti. Kita perlu meragukan segala sesuatu sampai kita menemukan ide yang jelas dan tepat. Descartes menghendaki agar kita tetap meragukan untuk sementara waktu apa saja yang tidak bisa dilihat dengan terang akal budi sebagai yang pasti benar dan tidak diragukan lagi. Keraguan ini disebut sebagai keraguan metodis, yang berfungsi sebagai alat untuk menyingkirkan semua prasangka, tebakan dan dugaan yang menipu sehingga kita tidak sampai pada pengetahuan yang benar-benar punya dasar yang kuat. Selanjutnya Descartes mengatakan bahwa hanya akal budi yang membuktikan bahwa ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui. Descartes meragukan segala kebenaran yang diperoleh lewat pancaindra. Ia menganggap bahwa salah satu hal yang menipu dan mengahalangi kita untuk sampai pada pengetahuan sejati adalah pengalaman indrawi kita. Contoh: kita melihat botol yang berisi air putih sebagai botol kosong, benda-benda luar angkasa sebagai suatu benda kecil, bahkan jika kita sedang menulis buku pun diragukan, jangan-jangan itu sebagai mimpi belaka. Jangan-jangan ada setan jenius yang menipunya bahwa ada bumi, ada langit, ada obyek-obyek di luar dirinya, ada bentuk ada tempat dan seterusnya. Menurut Descartes semakin jelas suatu ide dalam akal budi, maka semakin ide tersebut sesuai dengan realitas. Bukan sebaliknya ide itu benar bila semakin sesuai dengan realitas. Descartes terkesan dengan metode deduksi akal budi dari matematika dan ilmu ukur yang mencapai kebenaran tak terbantahkan, dan tak bisa diragukan. Karena itu ia berpendapat bahwa untuk pada pengetahuan yang benar tak terbantahkan dan tak diragukan maka perlu mengandalkan kemampuan akal budi. Kita perlu meragukan pengetahaun yang diperoleh dengan pancaindra hanya hanya pengetahuan lewat akal budi yang bisa memberikan kita kepastian. Metode Descartes untuk mencapai kebenaran adalah meragukan segala pengetahuan lewat indra, sambil menyingkirkan yang diragukan kita terus mencari hingga menemukan pengetahuan yang benar dan tak bisa diragukan lagi. Keraguan itu penting supaya kita bisa sampai pada suatu pengetahuan yang benar, termasuk pengalaman kita masing-masing. Semua itu kita lakukan dengan akal budi, dengan berpikir. Diktum Descartes yang tekenal adalah Cogito Ergo sum, saya berpikir maka saya ada.  Berpikir merupakan kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan yang sekaligus menjadi landasan  pemikiran dan pengetahuan manusia. Di sini Descartes menegaskan bahwa berpikir, akal budi adalah unsur pokok dari manusia sekaligus bagi pengetahuannya. Karena berpikir, akal budi adalah hal yang paling pokok bagi manusia, maka apa yang lolos dari seleksi akal budi manusia pasti benar tak terbantahkan.

 

c. kesimpulan

Ada beberapa hal penting perlu kita tentang rasionalisme. Pertama, kaum rasionalis lebih mengandalkan geometri atau ilmu ukur dan matematika yang memiliki aksioma-aksioma umum lepas dari pengalaman pancaindra kita. Kita hanya dapat sampai pada pengetahuan yang benar tak terbantahkan dengan akal budi. Kedua, konsekuensinya kaum rasionalis mengabaikan sampai pada taraf meremehkan peran pengalaman dan pengamatan pancaindra bagi pengetahuan. Pengalaman Descartes bahwa indra bisa menipu kita seperti benda angkasa luar yang dianggap sebagai benda kecil, merupakan salah satu contoh di mana indra tak bisa diandalkan sebagai sumber pengetahuan yang benar. Ketiga, metode deduktif merupakan bentuk yang paling cocok bagi kaum rasionalis akibat dari mengandalkan ilmu ukur dan matematika sebagai dasar kebenaran semua pengetahuan. Akibat lebih lanjut bahwa pengetahuan manusia itu bersifat partikular dan umum

 

2. Pengetahuan Indrawi atau pengetahuan eksperimental

a. Hakekat pengetahuan Indrawi

Alexisi Carrel, menyetujui kebenaran bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh lewat kemampuan indranya, namun selalu bersifat rasional. Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makluk biotik, namun tidak semua makluk biotik karena pohon tidak memilikinya. Daya indra menghubungkan manusia dengan hal-hal konkrit-material. Pengetahuan indra tersebut bersifat parsial, karena adanya perbedaan antar indra yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan indrawi itu berbeda-beda menurut perbedaan indra dan keterbatasan organ-organ indra tersebut. Contoh. Orang yang telinganya terganggu, matanya minus, penciuman yang kurang tajam dll. Pengetahuan indrawi hanya terletak pada permukaan kenyataan karena terbatas pada hal-hal indrawi scara individual.

John Locke (1632-1704) adalah seorang filsuf Inggris yang sangat terkenal dalam filsafat politik. Yang ingin kita lihat di sini adalah pendapatnya tentang filsafat pengetahuan. Yang menarik untuk diketahui dalam filsafat pengetahuan John Locke (Magnis-Suseno, 1992: 73) yaitu anggapan bahwa seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman. Locke menolak kaum rasionalis yang mengatakan bahwa manusia lahir dengan ide-ide bawaan, dengan prinsip-prinsip pertama yang mutlak  dan umum. Menurut dia manusia dilahirkan ke bumi seperti sebuah kertas putih kosong, tanpa ada ide atau konsep apapun. Jiwa manusia seperti tabuka rasa. Locke mengatakan bahwa semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia dan pengelaman itu diperoleh dari pancaindra atau refleksi atas apa yang diberikan pancaindra. Ia menambahkan bahwa akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi dari pancaindra, akal budi kita mirip dengan kerta putih yang belum ditulis apa-apa. Selanjutnya Locke membedakan antara dua macam ide yaitu, ide-ide sederhana dan ide-ide kompleks. Ide sederhana adalah ide yang ditangkap melalui pancaindra ( penciuman, penglihatan, rabaan, dll). Pada waktu indra kita menangkap sesuatu obyek secara langsung dan spontan, muncullah ide-ide sederhana tentang obyek tersebut, seperti manis, pahit, besar, kecil, kasar, halus. Akal budi kita tidak menerima secara pasif ide-ide itu dari luar. Ia mulai mengolah ide-ide itu dengan memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang diberikan pancaindra, sehingga dengan demikian lahirlah suatu reflseksi. Refleksi-refleksi inilah yang memungkinkan adanya ide-ide kompleks. Locke juga membedakan antara sifat atau kualitas primer dan sifat atau kualitas sekunder dari obyek di sekitar kita. Kualitas primer itu menyangkut berat, gerak, luas dan jumlah. Sedangkan kualitas sekunder menyangkut rasa, warna, panas, dingin dan semacamnya. Kualitas sekunder ini hanya mereproduksi sifat luar dari obyek saja. Karena itu kualitas sekunder tidak bisa sampai pada pengetahuan yang pasti, sebaliknya kualitas primer yang ditangkap pancaindra dapat membawa kita pada pengetahuan yang pasti, tak bisa diragukan dan bersifat universal. Kualitas sekunder itu menghasilkan pendapat yang berbeda-beda, tetapi yang berhubungan dengan kualitas primer, semua orang akan memberikan pendapat yang sama. Locke menambahkan bahwa ide muncul karena akal budi melalui pencaindra menangkap suatu obyek, sebaliknya kualitas muncul karena obyek memproduksi dalam diri kita ide tertentu.

David Hume (1711-1776) juga salah satu tokoh empirisme yang mengatakan bahwa semua materi pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, namun ada sedikit perbedaan antara Hume dan Locke. Menurut Hume, pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal, masa depar, dan sebab, dan bahwa kepastian-kepastian ini merupakanb bagian dari nalauri alamaiah manusia, yang tidak dapat dihasilkan atau dicegah oleh akal budi manusia. Jadi melalui naluriah alamiah manusia, manusia dapat sampai pada kepastian-kepastian yang mememungkinkan pengetahuan manusia. Hume membedakan dua proses mental yaitu, pertama: kesan (impresi) yang adalah pencerapan pancaindra yang lebih hidup dan langsung sifatnya. Yang kedua adalah ide yang kurang hidup yang kurang langsung sifatnya. Dar impresi muncul ide-ide sederhana berkaitan dengan obyek yang kita tangkap secara langsung dengan pancaindra. Lalu dari ide sederhana itu akal budi manusia dapat melahirkan ide-ide majemuk tentang hal-hal yang tidak ditangkap pancaindra kita. Ide-ide majemuk diatas terlepas satu sama lain, tapi akan diolah lebih lanjut oleh akal budi manusia sehingga melahirkan keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan itu dicapai lewat suatu prinsip yang disebut Hume sebagai  hokum asosiasi. Hukum asosiasi ini terdiri dari tiga prinsip: (1) prinsip kemiripan: ide tentang suatu obyek cenderung melahirkan dalam akal budi kita obyek lainnya yang serupa atau mirip. Dengan prinsip ini kita mampu membuat klasifikasi: ide yang serupa atau murip dikelompokkan menjadi satu. (2) prinsip kontinuitas dalam tempat dan waktu: kecenderungan akal budi untuk mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa lainnya. Ingat PKI ingat Aidit, G 30 S, Soeharto. (3) Prinsip sebab-akibat: Ide yang satu memunculkan yang lain, ide yang satu menjadi sebab atau akibat dari ide lain. Di sini Hume mau mengatakan bahwa walaupun akal budi tidak memiliki ide bawaan tetapi ada kecenderungan bawaan untuk mengolah data-data yang diberikan pancaindra sesuai dengan ketiga prinsip di atas. Kecenderungan bawaan inilah yang memungkinkan kita untuk berpikir dan menalar, mengumpulkan ide-ide menjadi pemikiran atau proposisi. Hume juga menambahkan bahwa semua obyek akal budi manusia dibagi menjadi dua yaitu relasi ide-ide dan kenyataan. Yang termasuk dalam relasi ide-ide adalah ilmu ukur dan matematika atau ilmu pasti. Obyek-obyek ini diketahui secara intuitif dan demonstratif. Contoh: 3 x 5 = 15. Ini pasti cukup dengan akal budi, dan tidak perlu dibuat eksperimen atau melihat kenyataan. Kenyataan: adalah obyek kedua dari akal budi manusia, sulit dipastikan kebenarannya karena hal yang sebaliknya sangat mungkin terjadi.

 

b. Kebenaran dan ciri pandangan kaum empiris (Pengindra)

Stelah melihat ketiga pandangan di atas, maka kita dapat bertanya: apakah ada kebenaran dan kepastian di dalam pengetahuan indrawi? Apakah cirri pandangan kaum empiris? Ada beberapa catatan sekaligus kesimpulan tentang kebenaran dan cirri pandangan empiris: (1) persepsi atau proses pengindraan sampai pada tahap tertentu tidak dapat diragukan, bebas dari kemungkinan salah, karena kemungkinan salah tidak ada tempatnya pada apa yang disebut given, atau yang menurut Watloly (2001: 53) disebut kebenaran in itself atau kebenaran an sich: ada kesesuaian antara kesan-kesan dan kenyataan. Menurut Hume bahwa persepsi tak dapat diragukan. Yang keliru adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap pancaindra. Tidak ada keraguan tentang kebenaran lewat pancaindra, bahkan ekstrim bahwa satu-satunya kebenaran adalah lewat pengalaman. (2)  Pandangan Hume memperlihatkan bahwa empirisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu pengetahuan ttg dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia. Empirisme mengakui bahwa ada pengetahuan yang tidak diperoleh lewat pengalaman indrawi. (3) karena kaum empirisme lebih menekankan pengalaman, maka empirisme lebih menekankan metode induktif, yaitu cara kerja ilmu yang mendasarkan diri pada pengamatan, pada eksperimen untuk sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan. Oleh karena itu pengetahuan yang ditekankan adalah pengetahuan aposteriori.

 

3. Intuisi

Sumber pengetahuan lewat intuisi sangat kuat muncul dalam filsafat Timur baik filsafat Cina maupun dalam Budhisme India. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Menurut para filsuf Timur (Watloly, 2001: 45) pusat kepribadian manusia bukanlah inteleknya tetapi hatinya yang mempersatukan akal budi dan intuisi, inteligensi dan perasaan. Hati memiliki pertimbangan tersendiri, yang tak dapat diketahui akal budi karena berada di luar jangkauan rasional. Menurut mereka ada hal-hal yang perlu dibicarakan, tapi ada pula hal-hal yang hanya dapat dihargai dengan hati, karena makin banyak kata-kata (dibicarakan) makin jauhlah kita dari artinya dan kebenarannya. Pandangan Jainisme India (Watloly, 2001: 50)  mengatakan bahwa intuisi adalah tahap pengetahuan manusia yang paling sempurna, yang hanya bisa dirasakan dan dimiliki oleh orang yang jiwanya sudah mendapat kelepasan. Jenis pengetahuan langsung ini lebih luas dari pengetahuan indrawi, sebab ia dapat menembus segala seluk-beluk yang diketahuinya. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung tanpa bantuan dari luar, terjadi dalam suatu kejernian batin yang murni, dan dapat mengetahui hal yang belum terjadi atau hal yang telah terjadi di tempat yang jauh. Budhisme India mengemukakan juga bahwa untuk sampai pada pengetahuan intuitif langsung maka orang perlu menghindari unsur suka atau tidak suka, karena pengetahuan intuitif langsung yang tidak dirintangi unsur suka atau tidak suka akan melengkapi seseorang dengan pengertian yang mendalam tentang keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu. Pada tingkat yang biasa intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan (Jujun Suryasumantri, 2001: 52). Intuisi tidak bisa diandalkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, tapi boleh digunakan sebagai hipotesis dalam analasis selanjutnya untuk menentukan kebenarannya. Pengetahuan intuitif itu memang ada pada orang-orang given dan dapat di sandingkan dengan pengetahuan analitik untuk menemukan kebenaran. 

No comments:

Post a Comment

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...