Metode Ilmu (filsafat)

 METODE ILMU

Hidup manusia dipenuhi dengan berbagai macam pengetahuan, mulai dari pengetahuan paling sederhana hingga pada pengetahuan yang paling rumit; dari pengetahuan harian biasa hingga pada pengetahuan yang paling ilmiah.  Tapi perlu disadari bahwa tidak semua pengetahuan manusia itu disebut ilmu, karena pengetahuan yang disebut ilmu adalah pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat sebuah ilmu pengetahuan. Syarat-syarat itu ada di dalam apa yang disebut metode. Metode didefinisikan dalam bermacam-macam cara. Peter R. Senn mendefinisikannya sebagai suatu prosedur sistematis (Senn, 1971: hal. 4). Sedangkan kamus bahasa Indonesia menyatakan metode dalam ilmu pengetahuan adalah cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai tujuan ( Hal. 652). Lalu Oxford Dictionary mendefinisikan Metode sebagai: a special form of procedure atau the orderly arrangement of ideas (Allen, 1990: hal. 746). Jadi metode merupakan suatu prosedur sistematis yang khusus untuk mengkaji setiap pengetahuan manusia. Istilah yang dekat adalah metodologi yang didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang metode (Kamus Umum, 1997: hal. 653;  Allen, 1990: hal. 746). Dengan demikian metode ilmu pengetahuan adalah suatu bentuk prosedur yang harus di penuhi suatu pengetahuan.

Disini kita akan bicarakan metode, hukum dan teori ilmiah yang biasa digunakan suatu ilmu pengetahuan. Metode-metode yang akan kita bicarakan antara lain: abduksi, deduksi dan Induksi.

1. Metode Abduksi

Prosedur suatu ilmu pengetahuan mulai dengan pengumpulan data, lalu diikuti dengan analisis data atau mencari penjelasan mengenai data-data itu. Seorang ilmuan tidak boleh puas dengan hanya menerima data begitu saja, data memerlukan pemikiran untuk menjelaskan temuan data-data tersebut. Dengan demikian ilmu pengetahuan merupakan suatu proses hidup yang dijalani ilmuan dalam menemukan hipotesis untuk menjelaskan fenomena atau data. Proses di atas yang terjadi dalam pikiran ilmuan oleh C. S. Pierce disebut Abduksi (Keraf dan Dua, 2001: 92).

Pikiran Pierce mengenai abduksi mengalami perkembangan yang cukup panjang. Pada mulanya ia melihat abduksi sebagai suatu bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu proposisi hukum (rule), proposisi kasus (case), dan proposisi kesimpulan (result). Di dalam abduksi sendiri, hukum, kasus, dan kesimpulan dibentuk dalam satu silogisme hipotetis yang terdiri dari premis mayor, minor, dan kesimpulan. Pikiran Pierce berubah pada tahun 1893. Ia sadar bahwa abduksi lebih dari sekedar suatu bentuk logis. Abduksi itu hadir sebagai tahap awal dari suatu penelitian ilmiah, ketika orang mulai heran terhadap peristiwa atau fakta tertentu. Jadi, abduksi sebenarnya merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari fakta, di mana dari fakta itu kita merumuskan hipotesis itu untuk menjelaskan kasus atau fakta tersebut. Hipotesis itu mengandung makna universal. Abduksi pertama-tama berfungsi untuk menawarkan suatu hipotesis yang bisa memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta itu. Ada fakta, lalu fakta itu harus dijelaskan dengan sebuah hipotesis. Karena itu silogisme abduksi selalu mulai dari fakta dan dari fakta itu dirumuskan sebuah hipotesis untuk menjelaskan fakta tersebut. Pierce mengemukakan dua ciri abduksi antara lain: (1) abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan eksplanasi yang probable. Istilah probable ini digunakan untuk menyatakan bahwa hipotesis pada prinsipnya merupakan satu kemungkinan penjelasan. Hipotesis berfungsi sebagai suatu dugaan atau konjektur. Ilmuan sadar bahwa jika penjelasannya benar maka fakta-fakta-fakta yang diobserfasi akan dijelaskan dengan benar pula. Kebenaran hipotesis itu harus dibuktikan lagi dengan verifikasi. (2) Hipotesis itu dapat memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsung. Di sini Pierce berlawanan dengan aliran positivisme A. Comte yang mengatakan bahwa hipotesis itu harus dapat secara langsung menjelaskan fakta. Selanjutnya Pierce mengatakan bahwa semua hipotesis memang harus diverivikasi tetapi tidak perlu dibuktikan dengan observasi langsung. Cukup hipotesis itu dapat menjelaskan fakta yang diobservasi dan ada kemungkinan untuk diverivikasi melalui pengalaman di masa depan. Menurut Pierce, suatu teori tidak hanya bisa menjelaskan fakta yang bisa diamati, tetapi juga fakta yang tidak dapat diamati, sekarang dan di sini. Sebagai contoh, teori Kopernikus tentang heliosentrisme. Teori ini memberikan dampak yang sangat besar dan luas dan janji masa depan yang besar. Atas dasar teori ini, muncullah teori pengukuran matematis yang dikemukakan oleh Galileo, Kepler dan Newton. Contoh lain, teori genetika Mendel yang membuka usaha penelitian lebih lanjut dalam bidang genetika modern dewasa ini. Abduksi hanya menghasilkan hipotesis sebagai penjelasan sementara. Abduksi juga hanya memberikan konjektur atau dugaan yang masuk akal, sebagai salah satu cara untuk memahami fakta. Hipotesis abduksi harus dibuktikan melalui indiksi dan deduksi.

Sekarang kita lihat syarat pemilihan hipotesis abduksi. Abduksi memang merupakan proses yang sahih untuk merumuskan hipotesis, namun persoalannya adalah alasan logis mana sehingga hipotesis A lebih preferable, lebih pantas diuji dibandingkan dengan hipotesis B. Syarat manakah yang perlu diperhatikan sehingga suatu hipotesis lebih pantas diperhatikan dibandingkan dengan hipotesis lainnya. Syarat utamanya adalah bahwa (1) hipotesis itu harus dapat diverivikasi secara eksperimental, namun sebelumnya pemilihan hipotesis perlu mendapat pertimbangan ekonomi. Perlu ada pertimbangan terhadap kemampuan dan keterbatasan ilmuan itu sendiri. Keterbatasan ekonomis dan waktu. Seorang ilmuan perlu realistis terhadap pertimbangan-pertimbangan di atas pada permulaan mengevaluasi hipotesis-hipotesis yang ada, dan (2) hanya memilih hipotesis yang membuka jalan lebih besar bagi pengetahuan. Bahkan setelah ada pertimbangan ekonomi, waktu, uang dan tenaga, maka mempertimbangkan memilih (3) hipotesis yang paling cepat dan mudah ditolak dari pada memilih hipotesis yang memakan waktu banyak waktu dan tenaga untuk diverivikasi lebih lanjut. Menurut Pierce, hipotesis yang baik adalah hipotesis yang bisa diuji dan sangat membantu bagi perkembangan ilmu itu. Hipotesis yang idealistik, yaitu bukun hanya bisa diuji, tetapi harus bisa dibuktikan benar dengan pelbagai macam alat pembuktian, sehingga mendorong perkembangan ilmu itu sendiri secara dinamis.

 

2. Metode Deduksi

Pengujian hipotesis dapat dimulai dengan memeriksa implikasi eksperiensial dari hipotesis. Setelah seorang ilmuan memilih hipotesis, langkah berikutnya adalah menyimpulkan prediksi-prediksi eksperiensial dari hipotesis itu, mencatat dan menyeleksi prediksi serta akhirnya mengamati apakah prediksi itu terjadi atau tidak. Proses menarik prediksi-prediksi dari suatu hipotesis kita sebut proses deduksi (Keraf dan Dua, 2001: 97). Dalam ilmu logika dikatakan bahwa penalaran deduktif adalah penalaran yang konklusinya tidak lebih luas dari premis atau dua proposisi sebelumnya Soekadijo 1985: 6).

Contoh: Semua benda yang dipanasi memuai,

ban mobil dalam perjalanan selalu panas,

Jadi: ban mobil sedang memuai.  

Proposisi sebelumnya harus lebih luas dari proposisi berikut dan semakin menyempit pada kesimpulan. Demikian juga dalam kajian ilmiah lainnya. Hipotesis general dibahas hingga menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih sempit, dan terfokus pada suatu hal yang lebih sempit dan tajam. Jadi metode deduksi adalah usaha untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi eksperiensial dari hipotesis eksplanatoris. Tugasnya adalah mengeksplikasikan hipotesis dengan cara menarik konsekuensi eksperiensial dari suatu hipotesis. Bagaimana menarik konsekuensi eksplanatoris dari suatu hipotesis? Jawabannya adalah bahwa setiap hipotesis eksplanatoris selalu mengandung prediksi generalitas. Artinya, predikat hipotesis mengklasifikasikan suatu peristiwa dalam suatu kelas yang lebih umum. Dalam proses memikirkan prediksi dari hipotesis, seorang ilmuan berkonsentrasi hanya pada makna generalitas dari hipotesis. Membahas mulai dari yang lebih umum dan makin lama makin sempit, atau makin lama makin jelas dan mudah dipahami. Dalam deduksi real, hipotesis itu sendiri berfungsi sebagai premis minor.

Contoh: Semua anggota kelas A memiliki ciri x, y, z.

Teguh adalah anggota kelas A

Jadi Teguh memiliki ciri x, y, z.

Di sini kepastian sebuah konklusi sangat ditentukan oleh kepastian dalam premis minor. Premis minor di sini merupakan hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Konklusi yang dirumuskan dalam silogisme ini diterima hanya karena bersifat logis, karena itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Proses deduktif dalam penelitian ilmiah harus berhenti pada prediksi dalam bentuk: jika – maka. Ini berarti juga hasil dari pengujian belum diketahui. Seorang ilmuan harus terus bertanya: apakah Teguh (dalam contoh di atas) memiliki ciri x, y, z?. Dalam ketidak tahuannya ia harus menanti jawaban dari alam, atau dari pengalamannya tentang alam. Jika hipotesis benar, prediksi dapat terjadi. Sebelum ada pemeriksaan yang serius mengenai hasil-hasil eksperimen, ia tetap harus mempertanyakan kebenaran dari hipotesisnya. Hasil-hasil eksperimen ini disebut prediksi. Jadi, fase deduktif berakhir dengan perumusan prediksi yang ditarik secara logis dari hipotesis eksplanatoris.

 

3. Metode Induksi

  Induksi adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau partikular tertentu untuk menarik kesimpulan umum tertentu. Dengan kata lain, dari sejumlah fenomena, fakta, atau data tertentu yang dirumuskan dalam proposisi-proposisi tunggal tertentu, ditarik kesimpulan yang dianggap sebagai benar dan berlaku umum. Cara kerjanya dimulai dengan penelitian untuk mengamati berbagai fenomena dan mengumpulkan berbagai macam fakta dan data yang kemudian dievaluasi untuk bisa melahirkan suatu kesimpulan umum tertentu. Kesimpulan ini umumnya merupakan generalisasi dari fakta dan data atau generalisasi dari proposisi tunggal yang ada yang memperlihatkan kesamaan, keterkaitan dan regularitas diantara fakta yang ada. Mari kita lihat contoh sederhana in:

Logam I dipanasi dan memuai

Logam 2 dipanasi dan memuai

Logam 3 dipanasi dan memuai

Logam 4 dipanasi dan memuai

Logam 5 dipanasi dan memuai

Kesimpulan umum: semua logam memuai kalau dipanasi

Perlu diketahui di sini bahwa walau kita dapat menarik suatu kesimpulan yang benar dan berlaku secara umum, entah itu suatu teori atau hukum, namun kebenaran itu harus diterima sebagai kebenaran sementara. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa walau kita memiliki fakta-fakta yang benar, lalu menarik suatu kesimpulan yang benar, namun ini tidak dengan sendirinya menjamin bahwa kesimpulan itu sungguh benar, atau benar secara mutlak. Mengapa? Karena ciri dasar dari induksi itu selalu tidak lengkap. Dalam kegiatan ilmiah kita hanya bekerja dengan pengamatan dan data yang sangat terbatas sifatnya, kita tidak pernah mencakup semua data yang relavan karena jumlahnya yang tak terbatas.

 

1. Induksi Gaya Bacon

Orang yang paling berjasa dalam dalam mengembangkan metode induksi adalah Francis Bacon (1561-1626). Inti dari induksi gaya Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bermula dari dan dikendalikan oleh pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandaian apapun. Ilmuwan harus mendekati alam atau obyek penelitiannya dengan menggunakan mata yang polos dan lugu, dan tidak dikuasai oleh anggapan dan praduga-praduga apap pun. Ada tiga pokok yang mau dikatakan Bacon di sini, (1) ketika mengadakan penelitian ilmiah, seorang ilmuan harus bebas dari segala pengandaian, spekulasi, teori, anggapan, dan dugaan yang mempengaruhi dia dalam mengamati obyek penelitian. Semua hal di atas harus disingkirkan sehingga memungkinkan kita menangkap obyek sebagaimana adanya. Tujuannya adalah untuk mencegah bias ilmuah, yakni hanya memperhatikan data dan fakta yang sekedar mendukung pemikiran atau teori yang ada. Kalau kita menangkap obyek apa adanya, maka kita akan menarik kesimpulan yang benar dan sampai pada kebenaran obyektif, yaitu kebenaran yang didukung oleh fakta dan data sebagaimana adanya. (2) Perlu juga memperhatikan fakta dan data yang saling bertentangan satu sama lain, karena data dan fakta yang menyimpang kadang memunculkan sesuatu yang baru. (3)Setelah pengumpulan fakta dan data, langkah berikutnya data dan fakta itu evaluasi, diklasifikasi, dirumuskan dan disimpulkan sesuai dengan kemampuan ayang dimiliki ilmuan tersebut. Menurut Bacon, baru pada tingkat inilah ilmuan dapat menggunakan berbagai macam teori dan konsep yang telah diketahuinya untuk mengolah data yang ada. Pada tingkat inilah akal budi dan pengamatan indrawi saling menunjang untuk memperoleh kesimpulan yang dapat diandalkan. Ada dua manfaat dari induksi gaya Bacon: (1) dengan metode ini ilmuan melihat kenyataan secara obyektif dan bukan kenyataan sesuai kaca mata ilmuan. Artinya kenyataan tidak dipaksakan untuk cocok sesuai apa yang dipikirkan ilmuan. Jadi ilmuan dapat sampai pada kenyataan obyektif lewat metode ini. (2) Lewat metode ini kegiatan ilmiah tidah jatuh nilainya menjadi idelogi. Pola dan cara kerja ideologi cenderung membenarkan ideologi yang ada, lewat rumusan-rumusan baku. Ilmuan justru sebaliknya harus membongkar rumusan-rumusan baku tersebut. Kegiatan ilmiah di sini bukan mencari data dan fakta untuk membenarkan diri, melainkan berusaha mengungkapkan obyek sebagaimana adanya. Ada dua keberatan menyangkut induksi gaya Bacon, pertama: bahwa kita tidak pernah mengamati, mendekati, meneliti, dan membaca alam dengan mata telanjang yang kosong sama sekali. Sekurangnya ada ide tertentu atau kita dipengaruhi oleh ide tertentu sebelum mengamati sesuatu. Kita sudah punya konsep tertentu bahwa yang kita amati adalah batu. Kita juga perlu asmusi teoritis dalam meneliti sesuatu, namun perlu diingat juga bahwa asumsi teoritis itu harus tetap terbuka untuk diubah berdasarkan fakta dan data. Asumsi teoritis di sini berfungsi sebagai alat bantu dan bukan tujuan. Bisa terjadi bahwa asumsi teoritis berubah sama sekali di tengah penelitian, bahkan apa yang kita anggap sebagai hukum atau teoti ilmiah bisa muncul tiba-tiba dan mendadak tanpa kita duga sebelumnya. Kedua, Fakta, data, fenomena tidak pernah menampilkan dirinya kepada kita sebagai fakta, data atau fenomena yang telanjang begitu saja. Fakta yang ada perlu ditafsirkan. Oleh karena itu, Bacon keliru kalau dia menyingkarkan begitu saja spekulasi ilmiah. Karena ketika kita menafsirkan data perlu ada spekulasi, imaginasi aktif dari ilmuan. Data dan fakta yang ada tidak memiliki nilai ilmiah sama sekali. Fakta itu harus ditangkap dan punya makna dan arti tertentu bagi ilmuan.

 

2. Langkah metode Induksi

Metode induksi mengenal dua macam atau model induksi, yakni metode induksi murni dan metode induksi yang sudah dimodifikasi.

 

a. Langkah Metode Induksi Murni

Ada empat langkah penting yang perlu diketahui dalam metode induksi murni antara lain, (1) Identifikasi masalah: pada tahap ini ada situasi yang disebut sabagai situasi masalah. Di sini ada berbagai macam gejala yang memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang “aneh” atau yang menarik. Ada kejadian atau peristiwa tertentu yang belum bisa dijelaskan secara masuk akal. Peristiwa atau gejala tersebut tidak diketahui sebabnya. Prinsipnya: dalam tahap pertama ini kita menetapkan dan merumuskan masalah yang ingin dipecahkan. (2) langkah kedua yang perlu diperhatikan adalah pengamatan dan pengumpulan data. Tujuannya adalah untuk membuat pengamatan secara lebih saksama atas gejalah-gejalah yang menimbulkan masalah diatas. Berdasarkan pengamatan tersebut lalu dikumpulkan berbagai fakta dan dara yang diduga dapat menjelaskan masalah tersebut di atas. Fakta dan data tersebut lalu diklasifikasi, dikaji, dan dianalisis untuk mendapatkan suatu gembaran yangjelas yang dapat memberi penjelasan tentatif tentang sebab dari masalah di atas. (3) Tahap ketiga adalah perumusan hipotesis. Berdasarkan fakta dan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tadi, diajukanlah sebuah hipotesis yang berfungsi untuk menjelaskan sebab dari masalah tersebut di atas. Sebab tersebut hanya merupakan jawaban sementara berdasarkan fakta dan data yang telah dikumpulkan. Hipotesis ini didasarkan pada dugaan mengenai hubungan yang terjalin antara antara berbagai fenomena, antara berbagai fakta dan data, khususnya menyangkut masalah dan gejala yang menjadi masalah tersebut. (4) langkah keempat adalah tahap pengujian hipotesis lebih lanjut untuk membuktikan apakah sebab yang menjadi dugaan dalam hipotesis tadi memang benar. Caranya adalah dengan membuat prediksi yang memperlihatkan adanya kaitan yang tak terbantahkan dan terbukti benar antara sebab yang diduga dalam hipotesis dan gejala yang menjadi masalah tersebut di atas. Prediksi itu mulai diujicobakan. Kalau mendukung hipotesis, dalam arti prediksi tadi terjadi, maka hipotesis tadi diterima sebagai banar. Dan bila dibuktikan terus menerus sebagai benar maka akan diterima sebagai hukum ilmiah. Kalau tidak lulu dalam pengujian selanjutnya maka akan gugur dengan sendirinya. Jika demikian maka perlu diuji hipotesis baru, entah bisa dengan mengumpulkan data dan fakta baru, atau dengan data yang ada tapi menafsirnya secara berbeda.

 

b. Metode Induksi yang telah dimodifikasi.

Ada empat langkah yang perlu diperhatikan dalam medote induksi modifikasi ini. Keempat langkah tersebut merupakan jalan keluar atas keberatan induksi gaya Bacon. (1) tahap pertama sama dengan induksi murni, yaitu adanya situasi masalah. Ada masalah yang sulit dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang ada. Karena itu ada dorongan untuk melakukan penelitian guna menjawab dan menjelaskannya. (2) tahap kedua adalah pengajuan hipotesis. Ada perbedaan dalam tahap ini antara induksi murni dan induksi modifikasi. Dalam induksi murni hipotesis dibentuk berdasarkan fakta dan data yang diperoleh melalui penelitian, dalam metode modifikasi hipotesis dibentuk hanya berdasarkan akal sehat, dugaan murni, spekulasi, imajinasi, dan asumsi tertentu berdasarkan pengetahuan tertentu yang telah dimilki. Dengan kata lain, dalam induksi murni, masalah yang ingin dipecahkan dijawab dengan  berpaling pada fakta dan data yang diperoleh dari lapangan. Sedang dalam induksi modifikasi, masalah dijawab dengan berpaling pada hipotese tertentu yang langsung diajukan berdasarkan pengetahuan tentatif tertentu. Dalam penelitian modern sekarang langkah ini mencakup studi kepustakaan. Tujuannya adalah sebagai pengetahuan awal yang bersifat umum sekitar masalah yang dihadapi. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh mana masalah di atas telah dijawab  oleh ilmuan tertentu, dan membantu kita untuk merumurskan masalah tersebut secara lebih akurat dan jelas. (3) tahap ketiga adalah penelitian lapangan. Di sini kita mengamati dan mengumpulkan fakta dan data sebanyak mungkin dengan dibimbing oleh hipotesis tadi. Langkah ini sedikit berbeda dengan langkah induksi murni, di mana hipotesis baru dibentuk setelah ada penelitian lapangan. Dalam induksi modifikasi penelitian lapangan dalam tahap ini lebih dimaksudkan untuk menjawab masalah tadi berdasarkan hipotesis yang telah diajukan. Ada bahaya besar seperti kritik Bacon dan Popper bahwa penelitian lapangan hanya sekedar untuk meneguhkan hipotesis atau teori yang sudah ada. Untuk mengatasi kelemahan itu maka hipotesis awal haruls diperlakukan sekadar  alat bantu, atau titik pangkal untuk mengarahkan penelitian dan eksplorasi lapangan. Sebagai alat bantu kita harus bersedia untuk mengubah atau menggantu dengan hipotesis baru sama sekali sesuai dengan fakta dan data yang ditemukan dalam lapangan. (4) langkah keempat adalah pengujian Hipotesis. Di sini hipotesis awal atau yang telah diganti diuji berdasarkan fakta dan data yang kita temukan dan kumpulkan. Kalau hipotesis itu didukung oleh fakta dan data yang ada maka akan diterima sebagai yang benar. Kalau tidak, maka dianggap gugur dan perlu diajukan hipotesis baru sama sekali. Contoh hipotesis berikut: Kenakalan remaja yang ada sekarang disebabkan oleh peran ganda ibu. Hipotesis ini benar kalau fakta dan data yang dikumpulkan secara akurat itu menunjukkan bahwa sebagian besar anak nakal berasal dari keluarga yang memiliki ibu peran ganda (sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah atau wanita karier). Latar belakang hipotesis ini bahwa orang tua yang keduanya bekerja akan kurang memperhatikan remajanya yang sedang berkembang dan membutuhkan pendampingan. 

No comments:

Post a Comment

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...