Kebenaran (Filsafat)

KEBENARAN

Dalam bagian kedua ini kita akan berbicara mengenai kebenaran. Salah satu syarat penting dari suatu pengetahuan adalah kebenaran yang dikandungnya.

1. Teori kebenaran

Banyak orang mempertanyakan hakekat kebenaran dari setiap pengetahuan, apa itu kebenaran sesungguhnya. Ada berbagai macam teori tentang kebenaran. Dalam sejarah filsafat paling kurang ada empat teori besar yang berbicara mengenai kebenaran (Keraf cs. 2001: 65). Keempat teori itu antara lain: teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth), (b) teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth), (c) teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth), (d)teori permormatif tentang kebenaran (the performative theory of truth).

a. Teori kebenaran sebagai persesuaian

Teori ini muncul sudah sejak masa purba dalam pandangan Herakleitos, diteruskan oleh Aristoteles dan muncul dalam bentuk yang agak sedang dalam pandangan Thomas Aquinas, yang selanjutnya didukung oleh para ilmuan dan filsuf Inggris hingga masa pencerahan budi. Aristoteles melawan pemikiran Plato yang menganggap hal yang ada sebagai yang tidak ada dan hal yang tidak ada sebagai yang ada. Sebaliknya mengatakan yang benar adalah hal yang ada sebagai yang ada dan yang tidak ada sebagai yang tidak ada. Dengan pernyataan ini sebenarnya Aristoteles telah meletakkan dasar bagi teori kebenaran persesuaian yang mengatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu dapat dibuktikan dalam kenyataan, atau kalau pernyataan itu ada dalam realitas hidup harian manusia atau ada dalam dunia nyata. Keberana adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar atau salah ditentukan oleh kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau juga bisa kita katakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara subyek dan obyek, keseseuaian antara apa yang dikatakan subyek dan realitas yang ada pada obyek. Model kebenaran di atas dapat juga disebut kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, preposisi dan teori ditentukan oleh fakta.  Contoh:  “Api itu panas” adalah pernyataan yang benar karena kenyataan membuktikan bahwa api itu panas. Demonstrasi mahasiswa yang berlangsung terus akhir-akhir ini didalangi pihak ketiga. Pernyataan ini benar kalau kenyataannya memang demikian. Jadi, apa yang diketahui subyek sebagai yang benar harus sesuai dan cocok dengan obyek. Inti teori ini bahwa suatu konsep, ide atau pun teori yang benar, harus mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Dengan demikian, mengungkapkan realitas adalah pokok bagi kegiatan ilmiah. Teori ini mengungkapkan beberapa hal yang perlu kita angkat (Sony Keraf Cs. 2001: 67), (1) teori ini nampak sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Karena itu pula sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris guna mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Konsekuensinya bahwa teori  ini juga lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori yaitu pengetahuan yang hanya terungkap lewat pengalaman dan percobaan empiris. (2) teori ini juga cenderung menegaskan dualisme antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak dualistis ini teori ini lalu menekankan pentingnya obyek bagi kebenaran pengetahuan manusia. Ekstrimnya teori ini berpendapat, yang paling berperan dalam menentukan kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek, sedang subyek dalam hal ini akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan obyek. (3) teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Dan bukti ini bukanlah apriori, konstruksi, dan hasil imajinasi akal budi, tapi diberikan dari obyek yang ditangkap lewat pancaindra manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya kalau apa yang dinyatakan dalam proposisi sesuai atau ditunjang oleh kenyataan.

Persoalan yang muncul bahwa semua pernyataan atau proposisi yang tidak terbukti dengan fakta atau atayu yang tidak ditangkap dengan pancaindra tidak diterima sebagai kebenaran. Contohnya, adanya Tuhan, tidak dianggap sebagai suatu kebenaran, karena tidak ada bukti. Karena tidak ada bukti maka tidak dianggap sebagai suatu pengetahuan. Contoh lain, Indonesia adalah negara demokrasi, tidak dianggap sebagai kebenaran karena antara proposisi ini tidak diterima sebagai kebenaran karena tidak adanya fakta dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dua contoh di atas hanya merupakan suatu keyakinan atau idiologi, karena suatu keyakinan tidak selamanya harus dibuktikan dalam kenyataan.  

b. Teori Kebenaran sebagai Keteguhan

Pandangan mengenai teori ini telah ada sejak zaman Yunani kuno, dalam pemikiran Pythagoras dan Parmenides, lalu   dirumuskan oleh kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Hegel dan kelompok rasionalis lainnya. Menurut mereka, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi, pernyataan atau hipotese dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Jadi suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi dan hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi dan hipotesis lainnya, khususnya apabilah hipotesis itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Kaum rasionali menganggap bahwa tidak mungkin pengetahuan itu keluar dari pikiran manusia untuk berhadapan langsung dengan kenyatan untuk mengetahui apakah benar ataua tidak pengetahuan itu. Matematika dan ilmu pasti lainnya sangat menekankan teori kebenaran sebagai suatu keteguhan. Jadi, inti dari kebenaran menurut kaum rasionalis adalah bahwa proposisi yang satu berkaitan dan meneguhkan proposisi yang lain atau tidak. Contoh: Semua manusia pasti mati (proposisi I), Sokrates manusia (proposisi II), kalau demikian maka Sokrates pasti mati (Proposisi III). Kebenaran terletak pada proposisi III, dan merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu proposisi I: semua manusia pasti mati, dan proposisi II: Sokrates manusia. Di sini sesungguhnya kebenaran  sesungguh sudah terkandung dalam kebenaran I, karena itu kebenaran III tidak ditentukan oleh kenyataan Sokrates mati atau tidak. Contoh lain, “Lilin akan mencair kalau dimasukan ke dalam air yang mendidih”.  Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana anda tahu? Kaum empiris akan menjawab: coba saja, dan buktikan apakah benar atau tidak. Kaum rasionalis akan menjawab, mudah saja, tidak perlu pembuktian empiris. Mari kita uraikan. Semua bahan parafin mencair pada suhu enam puluh derajat celsius (I), Lilin itu bahan Parafin (II), lilin pasti mencair kalau dimasukan dalam air yang mendidi (III).

Dari uraian di atas jelas bahwa (1) teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan cara kerja duduktif. Dalam hal ini pengetahuan yang benar hanya dideksi atau diturunkan sebagai konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Jadi kebenaran suatu pengetahuan sudah diandaikan secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada. Dengan demikian maka (2) teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti validasinya bahwa apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara sahih dari preposisi lain yang telah diterima sebagai benar.

Ada kesulitan  dan keberatan terhadap teori ini. Karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada pernyataan lain, maka timbul pertanyaan: bagaimana dengan pernyataan lain itu? Atau bagaimana kebenaran proposisi I dn proposisi II?. Kebenarannya memang ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan itu sesuai dengan pernyataan lainnya? Memang tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan teori ini perlu digabung dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita memang tidak perlu mencek kebenaran pernyataan sesuai realitas sebaliknya mengandalkan kebenaran apriori, tapi dalam situasi lainnya kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.

Mari kita lihat perbedaan kebenaran empiris dengan kebenaran logis di bawah ini:

 

Kebenaran Empiris

Kebenaran Logis

Mementingkan obyek

Menghargai cara kerja induktif dan aposteriori

Lebih mengutamakan pengamatan indra

 

Mementingkan subyek

Menghargai cara kerja deduktif dan apriori

Lebih mengutamakan penalaran logis dari akal budi

c. Teori Pragmatisme tentang Kebenaran

Teori ini dikemukakan oleh para filsuf pragmatis Amerika seperti Charles Peirce dan William James. Menurut mereka kebenaran tidak dapat dilepaskan dari kegunaan. Benar sama dengan berguna. Suatu Ide atau konsep dikatakan benar kalau ide, konsep, pernyataan atau hipotesis itu berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan sesorang melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Di sini berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak. Contoh, kemacetan lalu lintas di jakarta disebabkan karena banyaknya kenderaan. Sebagai jalan keluar dilarang untuk mengendrai mobil sendirian di jalan-jalan terntentu. Hipotesis ini perlu diuji kebenarananya bahwa apakah berguna bagi masyarakat atau tidak larangan macam ini. Ternyata kemacetan tak dapat diatasi dengan cara itu, berarti tidak benar dan berguna hipostesis di atas. Peirce berpendapat bahwa ide yang jelas dan benar mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Artinya kalau ide itu benar maka bila diterapkan akan berguna dan berhasil memecahkan suatu persoalan dan menentukan perilaku manusia. Sedangkan William James mengemukakan bahwa ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan kebutuhan manusia. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak berguna atau tidak bisa berfungsi membantu manusia memenuhi kebutuhannya. Jadi menurut William James Ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna, ide yang berhasil membantu manusia untuk bertindak. Di sini kebenaran sama dengan berguna. Kebenaran yang ditekankan kaum pragmatis ini adalah kebenaran yang menyangkut “know how” (pengetahuan bagaimana). Suatu ide yang benar adalah suatu ide yang memungkinkan saya memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Menurut John Dewey, bila kita ingin melihat kebenaran suatu ide, atau teori maka kita perlu melihat bagaimana ide atau teori itu berlaku atau berfungsi dalam penggunaannya. Bagaimana ide atau teori tersebut membantu kita memecahkan berbagai persoalan hidup kita. Yang penting di sini bukan benar tidaknya suatu ide secara abstrak, melainkan bagaimana kita dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis yang muncul dalam kehidupan kita dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Dewey dan kaum pragmatis lainnya menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmuah. Dewey sendiri mengalami bahwa penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Bahkan ia menggambarkannya dengan contoh seorang yang tersesat di sebuah hutan, kemudian menemukan sebuah jalan kecil, untuk keluar dari hutan itu dan menemukan pemukiman manusia. Kebenaran pragmatis mencakup pula kebenaran empiris, hanya saja kebenaran pragmatis bersifat lebih radikal, bukan sekedar sesuai realitas tetapi realitas dan kenyataan yang benar dan berguna bagi kepentingan manusia. Selanjutnya kebenaran empiris juga menyangkut suatu sifat yang baik. Suatu ide atau teori itu benar kalau baik memiliki nilai moral yang baik. Kebenaran merupakan sebuah nilai moral karena dengan kebenaran manusia sampai pada sesuatu. William James menolak kebenaran rasionalis yang hanya memberikan definisi-fefinisi yang abstrak tanpa punya relavansi praktis bagi kehidupan manusia.

 d. Teori kebenaran Performatif

Tokoh dan penganut aliran kebenaran ini adalah Frank Ramsy, John Austin, dan Peter Strawson. Para filsuf ini mau menantang teori klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Anggap bahwa proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang benar dan sebaliknya, yang mau dilawan oleh para filsuf ini. Menurut mereka suatu teori dianggap benar kalau ia menciptakan realitas. Jadi, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang menjelaskan realitas tetapi pernyataan yang menciptakan realitas, sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam pernyataan atau ide itu. Contoh, dengan ini saya mengangkat kamu menjadi kepala desa. Pernyataan ini menciptakan suatu realitas baru, realitas menjadi kepala desa. Teori ini bisa dipakai secara positip maupun negatip. Positipnya bahwa dengan pernyataan tertentu orang berusaha  untuk mewujudkan apa yang dinyatakannya. Contoh: seorang suami: saya bersumpah akan menjadi seorang suami yang baik; saya ingin menjadi mahasiswa yang baik; dan seterusnya. Negatipnya, orang terlena dengan pernyataan dan ungkapan lalu lupa bertindak. Contoh: saya berdoa agar kamu berhasil; saya bersumpah akan setia. Ada banyak sumpah yang dilakukan banyak pejabat, tetapi kenyataan tidak sesuai dengan sumpah tersebut.

2. Sifat dasar kebenaran Ilmiah

Telah dikatakan sebelumnya bahwa kita membutuhkan baik kebenaran logis maupun kebenaran empiris dan bahkan kebenaran logis dan empiris yang dapat diterapkan dan berguna bagi kehidupan manusia. Sehingga dengan demikian dapat kita katakan bahwa kebenaran ilmiah paling kurang memiliki tiga sifat dasar yaitu, struktur rasional-ligis, isi empiris, dan dapat diterapkan atau pragmatis (Sony Keraf Cs. 2001: 75). (1) Struktur kebenaran yang rasional-logis yaitu, kebenaran ilmiah yang selalu dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi dan premis-premis yang benar pula. Proposisi yang menjadi kesimpulan dapat diperoleh melalu jalan deduksi atau induksi. Kesimpulan benar dalam deduksi berarti proposisi khusus atau lebih sempit tak terbantahkan yang diperoleh dari proposisi umum yang benar pula. Kesimpulan benar dalam induksi berarti suatu proses generalisasi yang mengungkapkan hubungan tertentu diantara berbagai fakta. Kesimpulan merupakan proposisi umum yang diperoleh dari premis-premis khusus dalam fakta. Kebenaran ilmiah bersifat rasional dapat dipahami oleh semua orang yang menggunakan akal budinya secara baik. Dan kebenaran ilmiah akhirnya diakui sebagai kebenaran yang universal. (2) Kebenaran ilmiah empiris adalah kebenaran ilmiah yang diuji dengan kenyataan yang ada. Para penganut aliran ini berpendapat bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dalam kenyataan. Karena kebenaran berarti kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Di sini ada spekulasi dalam ilmu pengetahuan, tatapi tetap diuji dan dicek dalam kenyataan. (3) kebenaran pragmatis menggabungkan kedua kebenaran di atas. Dalam arti ini bahwa kalau suatu pernyataan dianggap benar secara rasional dan empiris, pernyataan tersebut juga harus berguna bagi kehidupan masyarakat, yaitu berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi manusia. 

No comments:

Post a Comment

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...