Showing posts with label psikologi sosial. Show all posts
Showing posts with label psikologi sosial. Show all posts

RELASI SOSIAL (SOCIAL RELATIONSHIP)

 RELASI SOSIAL (SOCIAL RELATIONSHIP)

Para ahli Psikologi Sosial telah mempelajari sejumlah faktor yang membantu dalam menetapkan pembentukan dan pengelolaan relasi interpersonal (hubungan antar pribadi). Mengapa orang saling tertarik satu sama lain ? Proses-proses apa yang terjadi di dalam pembentukan hubungan-hubungan yang berkembang secara alamiah ? Berikut ini jawabannya.

1. Daya Tarik Antar Pribadi (Interpersonal Attraction)

Dalam kehidupan sehari-hari ada beberapa orang yang kita sukai dan merupakan teman yang baik, dan ada juga beberap orang yang tidak kita sukai dan kita hindari. Pertanyaannya adalah mengapa kita menyukai beberapa orang lebih dari yang lain ? Berikut ini adalah faktor-faktor khusus yang mempengaruhi perasaan kita untuk tertarik satu sama lain:

- Kedekatan Fisik (Proximity).  Hal ini dari penelitian Festinger (1950) terhadap penghuni sebuah kompleks perumahan yang formasinya membentuk huruf U, dan penghuni yang paling ujung bersebelahan dengan lapangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (a) persahabatan lebih sering terjadi antara tetangga yang bersebelahan rumah; (b) jarak semakin jauh (lebih dari empat rumah), persahabatan semakin jarang; (c) penghuni yang tinggal di ujung, temannya sekompleks lebih sedikit.  

Penelitian Festinger terhadap penghuni apartemen hasilnya sbb.: penghuni yang tinggal di dekat pintu masuk, dekat lift, dan kotak surat, terbukti lebih populer. Dengan demikian berarti bahwa meningkatnya frekuensi kontak antar individu juga meningkatkan kemungkinan berkembangnya persahabatan.

- Kesamaan Sikap (Attitude Similarity). Berbagai penelitian mengenai hubungan antara kesamaan sikap dengan ketertarikan menunjukkan hasil yang meyakinkan. Namun demikian berbagai studi tersebut sulit membedakan kesamaan sikap yang berkembang sebelum perkawinan/persahabatan dengan kesamaan sikap yang berkembang sebelum perkawina/persahabatan. Dalam hal ini masih perlu eksperimen yang memastikan masing-masing: (a) pengaruh kesamaan sikap terhadap perkawinan/persahabatan; (b) pengaruh perkawinan/persahabatan terhadap kesamaan sikap. 

- Daya Tarik Fisik (Physical Attractiveness).  Peranan daya tarik fisik terhadap ketertarikan ditunjukkan dengan jelas dari hasil penelitian Walster dkk. (1966): Di sebuah Universitas yang besar di AS diselenggarakan computer dance. Pasangan dansa ditentukan secara random dengan menggunakan  komputer. Setelah berdansa, partisipan ditanyai mengenai sejauh mana dia menyukai kencannya tersebut dan keinginannya untuk melanjutkan dengan kencan lebih lanjut. Dari berbagai faktor yang ditanyakan oleh peneliti (antara lain kepribadian dan intelektualitas), ternyata bahwa daya tarik fisik merupakan faktor yang menentukan kesenangan dalam berkencan dan keinginan untuk melakukan kencan lebih lanjut. 

2. Perkembangan dan Pengelolaan Hubungan

Untuk memahami kelangsungan suatu hubungan, kiranya perlu diketahui adanya dua teori penting mengenai hal tersebut. Teori pertama, adalah Teori Pertukaran Sosial (Thibaut & Kelley, 1959, 1978) yang menggambarkan dinamika alamiah hubungan interpersonal; dan teori kedua adalah mengenai tahapan perkembangan suatu hubungan  yang dikemukakan oleh G. Levinger dan J.D. Snoek (1972).

A. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory). Thibaut & Kelley dalam teori ini menekankan adanya saling ketergantungan dalam relasi sosial. Mereka menyatakan bahwa kualitas outcomes (perolehan) yang diterima/dialami oleh dua orang yang berhubungan adalah tergantung dari perilaku masing-masing orang tersebut. Outcomes, yaitu fungsi gabungan antara pengalaman menyenangkan (reward) yang dihasilkan dari serangkaian perilaku dan biaya-biaya (cots) yang diperlukan untuk menghasilkan perilaku tersebut. 

- Reward, adalah berbagai peristiwa yang menghasilkan pengalaman yang me-nyenangkan, memuaskan, menggembirakan.

- Costs, meliputi faktor-faktor yang menghambat atau menyulitkan dalam membawakan suatu perilaku, seperti usaha, rasa malu, dan kecemasan. 

- Outcomes dari serangkaian perilaku adalah hasil dari reward yang diperoleh dikurangi dengan costs yang dikeluarkan.

B. Tahapan Perkembangan Hubungan. Levinger dan Snoek menyarankan suatu framework untuk menggambarkan perkembangan alamiah suatu hubungan, berdasarkan teori pertukaran sosial. Mereka menggambarkan tiga tahapan keterlibatan: 

+ Unilateral awareness, tahap yang paling dangkal (superficial ). Pada tahap ini individu memperhatikan keberadaan seseorang dan mengevaluasi karakteristik orang tersebut. Sebelum terjadi kontak, ciri-ciri yang nampak, yakni daya tarik fisik, merupakan faktor yang sangat penting. Langkah ini merupakan penjajagan apakah hubungan  dengan orang tersebut menguntungkan di kemudian hari.

+ Surface contact, terjadi bila dua orang individu memulai interaksi. Interaksi pada tahap ini diwarnai dengan norma-norma budaya yang umum dan etika sosial. Pada tahap ini penting peranan proses keterbukaan diri, yaitu proses seseorang membiarkan dirinya diketahui oleh pihak lain, dengan cara membuka pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya. Jika pada tahap ini berlangsung menyenangkan, hubungan dapat meningkat ke stase berikut nya.

+ Stase mutuality. Pada stase/tahap ini masing-masing individu mulai merasakan adanya tanggung jawab akan outcomes yang diterima oleh pihak lain (partner) dalam hubungan dengan dirinya. Masing-masing berperan memaksimalkan outcomes, baik untuk dirinya sendiri maupun partnernya. 

Hubungan dapat berjalan dengan keterlibatan yang semakin meningkat, namun demikian dapat juga berjalan mundur dan memburuk. Besarnya reward  yang dialami dalam interaksi mungkin berkurang karena minat yang berbeda atau karena situasi yang membatasi kemampuan partner untuk memberikan reward. Demikian juga, mungkin costs yang diperlukan untuk menghasilkan perilaku di dalam relasinya semakin meningkat.  Berkurangnya kepuasan dalam hubungan akan direfleksikan dengan berkurangnya keterbukaan yang intim, berkurangnya kepedulian terhadap kualitas outcomes yang diterima oleh partner, dan meningkatnya interaksi-interaksi yang bersifat formal seperti pada tahap keterlibatan awal (dangkal).

Catatan: Pada umumnya hubungan antar individu berlangsung menurut tahapan-tahapan tersebut di atas, namun untuk relasi bisnis, biasanya hubungan hanya berlangsung dalam tahap yang dangkal, hanya melayani kebutuhan untuk mencapai tujuan-tujuan eksternal.


3. Keadilan Dalam Relasi Sosial

Gerald Leventhal (1976) mengusulkan tiga peraturan keadilan yang sering digunakan sebagai standard/norma/patokan dalam menentukan keadilan dalam relasi sosial. Peraturan-peraturan tersebut meliputi contribution rule, needs rule, dan equality rule. Ketiganya diterapkan pada situasi yang berbeda-beda dan untuk bentuk-bentuk hubungan yang berbeda-beda.

a. The Contributions Rule and Equity (Aturan Kontribusi dan Keseimbangan).  Aturan kontribusi seringkali diidentifikasi sebagai konsep keseimbangan. Menurut prinsip ini, relasi dianggap adil bila individu-individu yang terlibat di dalam hubungan menerima outcomes yang proporsional dengan kontribusi yang mereka berikan (input). Yang paling besar kontribusinya, menerima outcomes paling besar. Di sini tidak ada peraturan bahwa input harus sama. Yang penting perbandingan antara outcomes dan input harus sama. Sebagai contoh, karena biaya dan lama studi seorang dokter lebih besar dari pada perawat, maka semua orang beranggapan bahwa adil jika gaji dokter lebih besar dari pada gaji perawat. 

Bila dirasa ada ketidakadilan, individu akan merasa tertekan, dan termotivasi untuk memperbaiki keseimbangan dengan cara:

- Memperbaiki keseimbangan aktual (actual equity), yaitu dengan mengubah outcomes atau input. Contohnya, seorang pekerja yang merasa gajinya terlalu kecil berusaha untuk mengurangi input-nya dengan bekerja sesedikit mungkin (bermalas-malasan) atau berusaha meningkatkan outcomes dengan cara mencuri milik perusahaan.

- Memperbaiki keseimbangan psikologis (psychological equity), yaitu dengan mengubah persepsinya terhadap situasi kerja. Sebagai contoh, karyawan mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa meskipun gajinya kecil, namun dia menikmati pekerjaan tersebut.

b. The Needs Rule and Social Responsibility (Aturan Kebutuhan dan Tanggung Jawab Sosial.  Aturan ini menyatakan bahwa outcomes harus didistribusikan seseuai dengan kebutuhan individu yang jumlahnya relatif. Keadilan ini diwujudkan di dalam norma tanggung jawab sosial, di mana kita didorong untuk menanggapi kebutuhan yang syah (legitimate) yang ada pada orang lain. Berbagai lembaga dana, organisasi-organisasi pelayanan, dan kementrian kesejahteraan rakyat, menunjukkan adanya penerimaan masyarakat terhadap aturan keadilan ini. Pada level individu, sejumlah studi telah menunjukkan bahwa para partisipan (subjek penelitian) berbuat memenuhi kebutuhan orang lain jika mereka mempertimbangkan orang lain tersebut tidak terlayani.

c. The Equality Rule (Aturan Persamaan). Aturan ini secara sederhana menyatakan bahwa outcomes harus didistribusikan secara sama rata di antara para partisipan yang terjalin dalam suatu hubungan, dengan mengabaikan kontribusi ataupun kebutuhan-kebutuhan individu. Aturan ini paling mudah untuk diterapkan karena partisipan tidak perlu melakukan penjajagan input ataupun kebutuhan-kebutuhan yang syah.



Pengaruh Sosial (Social Influence)

PENGARUH SOSIAL (SOCIAL INFLUENCE)

Pengaruh sosial dapat ditunjukkan dengan bermacam-macam peristiwa, misalnya seorang anak kecil menirukan kakaknya, juri meniru keputusan juri-juri yang lain, anggota gang mematuhi perintah pimpinan gang-nya, dll.. Peristiwa-peristiwa tersebut mengandung dua elemen penting, yaitu : (a) adanya intervensi (campur tangan) seseorang; 
(b) menginduksikan (menyebabkan) pada diri orang lain. Berikut ini kita bahas lima situasi pengaruh sosial yang paling sering dipelajari.

1. Social Facilitation

     Pada tahun 1890, Norman Triplett, seorang psikolog dan penggemar balap sepeda, mengamati bahwa para pembalap ketika sedang bertanding memacu sepedanya lebih kencang dari pada ketika sedang membalap sendirian. Berdasarkan pengamatan Triplett tersebut, selama bertahun-tahun terdapat anggapan bahwa kehadiran orang lain selalu akan meningkatkan kinerja (performance) seseorang, dan pengaruh kehadiran orang lain tersebut diberi label social fasilitation. 

Namun demikian dari eksperimen-eksperimen yang dilaksanakan kemudian, ternyata muncul kontradiksi-kontradiksi. Misalnya, Floyd Allport (1920-an) dan John F. Dashiell (1930-an) melaporkan bahwa jika subjek eksperimen melakukan respon dengan kecepatan (rate) yang tinggi ketika orang-orang lain hadir, maka kesalahan-kesalahannya juga meningkat. Hasil yang lain diperoleh dari eksperimen yang dilakukan oleh Zajonc (1965) menunjukkan bahwa jika respon yang dominan diperlukan pada saat kehadiran orang-orang lain, maka orang yang terlatih akan meningkat performance-nya pada saat kehadiran orang lain, sedangkan orang yang kurang terlatih akan merosot performance-nya. Contoh untuk teori Zajonc : orang yang sudah terlatih bermain piano, performance-nya lebih baik ketika orang lain hadir; sebaliknya seorang pemula akan lebih banyak membuat kesalahan ketika bermain dalam sebuah konser piano dari pada ketika berlatih di rumah.
Namun demikian disimpulkan bahwa social fasilitation paling sering terjadi jika orang-orang yang hadir terlibat atau  berperan memotivasi orang yang sedang unjuk performance. Sebagai contoh: pelari dalam lomba lari dapat berlari lebih kencang dalam lomba lari karena penonton memberikan dukungan dengan sorak-sorai dan adanya hadiah bagi yang menang.

2. Imitasi (Imitation)

Imitasi adalah menyangkut perubahan perilaku pada orang yang kita amati / FP (Focal Person) yang meniru perilaku orang/sumber yang mengintervensi (agent). Seperti pada social fasilitation, perubahan perilaku itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihak agent  untuk mempengaruhi FP.  Contoh Imitasi: anak-anak meniru gaya tokoh idolanya di TV.
Bila efek social fasilitation diukur dengan cara melihat perubahan dalam kecepatan dan kuatnya perilaku atau performance, efek imitasi dapat diukur dengan mengetahui tingkat kesamaan antara perilaku orang yang menjadi model (agent) dan perilaku FP yang kemudian terjadi.

3. Konformitas Sosial (Social Conformity)

Konformitas adalah istilah yang menunjuk pada situasi di mana individu merubah keyakinan-keyakinan atau perilakunya sedemikian rupa sehingga menjadi sama dengan anggota-anggota kelompok lainnya. Di dalam konformitas, terdapat lebih dari satu orang yang menjadi model perilaku, dan mensyaratkan FP untuk membuat respon di dalam situasi hadirnya agent. Dalam situasi ini, pihak agent  sedikit/banyak memiliki niat untuk mengubah perilaku FP.

a. Konformitas Terhadap Orang Lain.  

Konformitas terhadap orang lain, tidak hanya terjadi bila tokoh-tokoh yang menjadi model (yang ditiru) melakukan hal yang benar, melainkan juga terjadi sekalipun tokoh-tokoh modelnya melakukan hal yang salah.

Contoh: Eksperimen Solmon Asch (1951, 1956) 
Dalam eksperimen Asch ini subjek eksperimen diminta untuk menentukan garis pembanding yang mana yang sama panjangnya dengan garis standard di sebelah kiri. Eksperimen ini terdiri dari beberapa sesi yang masing-masing terdiri dari 7 s/d 9 orang. Sebagian adalah pembantu eksperimenter yang menyamar sebagai subjek dan membuat pilihan garis nomor 2.  Hasilnya, pada kelompok kontrol (kelompok yang diberi kesempatan menentukan pilihan tanpa ada manipulasi situasi -- dalam hal ini, tanpa kehadiran pembantu eksperimenter yang menyamar sebagai subjek), 99% subjek menunjuk garis yang tepat. Sedangkan pada kelompok eksperimen, 67% subjek menunjuk garis yang tepat dan 33% mengikuti pilihan pembantu eksperimenter yang menyamar sebagai subjek yang memilih garis yang salah (garis nomor 2).

Campbell (1961) memberikan analisis berikut ini mengenai konformitas: Konformitas dapat ditujukan terhadap model pribadi (personal modes) atau model sosial (social modes) . Konformitas terhadap personal modes berarti individu/FP mengikuti informasi seseorang, sedangkan konformitas terhadap social modes berarti individu/FP mengikuti informasi dari orang-orang lain (mayoritas).  Faktor-faktor pada FP yang lebih memilih social modes adalah: kelelahan, tidak adanya pengalaman, status yang lebih rendah, dan harapan adanya interaksi lebih lanjut dengan anggota-anggota kelompok. Sedangkan faktor-faktor pada FP yang lebih memilih personal modes adalah: kewaspadaan, keahlian, status yang lebih tinggi, dan sikap cuek terhadap anggota-anggota kelompok.  Selanjutnya, adanya faktor-faktor pada FP yang lebih memilih social modes akan meningkatkan kemungkinan perilaku konformitas, sedangkan adanya faktor-faktor pada FP yang lebih memilih personal modes akan mengurangi kemungkinan perilaku konformitas.

b. Konformitas Terhadap Norma dan Peraturan.  

Norma atau peraturan adalah standard perilaku yang disepakati oleh anggota kelompok dan berpengaruh besar terhadap perilaku sosial. Hal ini kita pertimbangkan sebagai agent , dan dalam hal ini tidak diperlukan kehadiran seseorang secara aktual untuk terjadinya pengaruh sosial dari norma dan peraturan.

Norma dan peraturan,  dapat berupa: 
(a) kesepakatan formal, misalnya undang-undang dan kontrak-kontrak; 
(b) kesepakatan informal, misalnya kesepakatan mengenai waktu untuk meeting.

Thibaut dan Kelley (1959) mengungkapkan manfaat utama norma dan peraturan sbb:
- Peraturan formal: mencegah terjadinya konflik antara kepentingan pribadi dan kelompok.
- Norma informal: membantu mengkoordinasikan perilaku anggota kelompok (memperlancar interaksi).

4. Kepatuhan (Obedience)

Obedience menunjuk pada situasi di mana agent  mempunyai legitimasi untuk mempengaruhi FP, dan FP mempunyai kewajiban untuk patuh.
Contoh : Eksperimen Milgram (1963, 1965)
Situasi eksperimennya berupa situasi belajar. Subjek eksperimen adalah orang yang dibayar untuk datang di laboratorium (tempat eksperimen) dan bertugas sebagai guru yang memberikan shock (kejutan) kepada seseorang yang belajar (diperankan oleh pembantu eksperimenter) bila orang yang belajar tersebut membuat kesalahan dalam mempelajari suatu daftar pasangan kata-kata. Shock yang diberikan adalah berupa kejutan listrik yang bertingkat-tingkat voltasenya (15 s/d 450 volt), diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan dalam belajar. Semakin banyak kesalahan, maka semakin tinggi voltase kejutan listrik yang diberikan.  Dalam eksperimen ini pembantu eksperimenter yang berperan sebagai murid seolah-olah benar-benar terkena kejutan listrik dan berpura-pura mengalami kesakitan ketika subjek menekan tombol listrik sebagai hukuman. Seolah-olah semakin lama semakin kesakitan, sesuai dengan besarnya voltase kejutan listrik yang diberikan oleh subjek yang makin lama semakin tinggi. Hasil dari eksperimen ini adalah: 26 dari 40 subjek (65%) melanjutkan pemberian kejutan listrik terhadap murid, meskipun mereka yakin bahwa telah menyakiti orang lain dan menunjukkan ketegangan (gemetar, gugup, dan berkeringat dingin). 

Dalam eksperimen lanjutan, Milgram membuktikan bahwa tingkat kepatuhan berkurang bila : 
(a) sang guru (subjek) secara fisik didekatkan dengan murid, 
(b) kehadiran eksperimenter (yang membayar subjek untuk bertugas sebagai guru) dibuat tidak menonjol. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa adanya konflik antara perintah dan nilai-nilai pribadi sering diatasi dengan menurunkan tingkat kepatuhan. Jadi ketaatan akan tinggi bila: 
(a) perintah bersesuaian dengan nilai-nilai pribadi, 
(b) kehadiran orang yang memerintah sangat menonjol.

Gilbert (1981) menyatakan bahwa peningkatan shock yang gradual (bertahap) dalam eksperimen Milgram juga mempengaruhi tingkat kepatuhan. Subjek mungkin lebih tidak taat bila harus memberikan shock dari tingkat tidak berbahaya langsung ke tingkat berbahaya.

Alasan-alasan untuk terjadinya perilaku konformitas dan kepatuhan. 
Menurut ahli-ahli Psikologi Sosial, sebab-sebabnya adalah:
- Social Comparison Idea (Festinger, 1954). Hal ini terjadi bila seseorang menghadapi situasi yang kabur: tidak jelas mana yang benar. Maka individu cenderung untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang dilakukan oleh orang-orang lain.
- Mencegah social disapproval (ketidaksepakatan kelompok). Bagaimanapun juga diharapkan tujuan kelompok dapat dicapai secara mulus
- Kebutuhan untuk disukai dan diterima. Biasanya terjadi pada usia atau menjelang belasan tahun (kebutuhan untuk mencari identitas diri).

5. Kerelaan (Compliance)

Compliance merupakan bentuk pengaruh sosial dimana seseorang mempengaruhi orang lain dengan cara mengajukan permintaan langsung. Dalam hal ini ada kesengajaan agent untuk mempengaruhi FP. 

Ada beberapa cara yang ditempuh seseorang agar permintaannya dipenuhi:
A. Ingratiation: mencakup usaha usaha dari seseorang untuk menambah ketertarikan orang lain terhadap dirinya, sehingga orang lain tersebut menjadi mudah memenuhi permintaan-permintaannya. Taktik yang dapat digunakan:
- Cara langsung: membuat FP menyukai Agent dengan cara:  
(a) bujukan; 
(b) memenuhi/menyetujui segala dikatakannya; dan 
(c) dengan isyarat non-verbal (senyum dan sikap yang menyenangkan).
- Meningkatkan daya tarik personal (agent membuat dirinya sesuai dengan yang diminati FP), yaitu dengan:
(a) menunjukkan karakteristik yang sesuai keinginan orang lain (self enhance)
(b) bersikap merendahkan diri (self depreciation)
(c) membuka diri tanpa diminta (self disclosure)

Namun demikian, Ramussen (1984) menemukan bahwa penggunaan ingratiation yang berlebihan akan memperoleh hasil yang sebaliknya dari yang diharapkan.

B. Multiple Request: Mempengaruhi Orang Lain Dengan Mengajukan Permintaan Ganda
- The Food In The Door: mengajukan permintaan ringan-ringan terlebih dahulu, kemudian permintaan yang lebih berat. Target utamanya adalah terpenuhinya permintaan yang lebih berat. Misalnya, permintaan sumbangan untuk amal, penandatanganan petisi,dll.
- The Door In The Face: mengajukan permintaan besar-besar (yang tidak mungkin dikabulkan) dan disusul dengan permintaan yang lebih kecil, dengan harapan permintaan kecil ini pasti dikabulkan. Jadi permintaan besar di sini merupakan pancingan untuk mendapatkan permintaan kecil yang diinginkan (yang mungkin jika diajukan langsung belum tentu dikabulkan).
- Thats Not All: mengajukan penawaran tertentu diikuti penawaran sesuatu yang lain sebagai ekstra (bonus). Misalnya, penjual kue menawarkan sebungkus kue dengan harga tertentu, dan disusul dengan menunjukkan bungkusan kue yang lain , dan mengatakan bahwa harga yang ditawarkan tadi adalah termasuk harga kue yang ditunjukkan belakangan.

C. Complain : Menyampaikan keluhan, agar keinginannya diperhatikan.

D. Persuasi: Mengajukan sesuatu dengan melibatkan emosi, berdasarkan nilai-nilai atau ide-ide tertentu, dengan memberikan alasan-alasan, menunjukkan fakta, dsb.  Contoh: Seorang pejabat meminta sesuatu kepada masyarakat dengan mengadakan pendekatan-pendekatan tertentu (dialog, agar emosi mereka terlibat, mau mengerti) dan akhirnya memenuhi harapan pejabat tersebut.

Stereotype

Stereotype
   
      Secara umum stereotip dapat diartikan sebagai generalisasi terhadap sifat-sifat seseorang berdasarkan sifat umum kelompoknya. 
Jika seseorang mengartikan stereotip sebagai prasangka yang terbentuk akibat menempatkan orang lain pada golongan tertentu, maka sudah barang tentu stereotip sangat tidak diinginkan oleh masyarakat. Kita mungkin menjadi tidak enak dengan adanya kerangka kerja kognitif (cognitif framework)  dan teori kepribadian implisit karena sepertinya sama saja dengan mengelompokkan orang dalam stereotip tertentu. Namun jika stereotip diartikan sebagai praduga yang terbentuk akibat menempatkan orang lain dalam kategori-kategori kognitif, di sini stereotip berarti sama dengan pembentukan kesan (bersifat netral dan tidak membahayakan interaksi sosial). Dengan demikian kita harus waspada apabila stereotip  muncul dalam benak kita, khususnya jangan sampai terjadi stereotip yang tidak diharapkan oleh masyarakat.
Stereotip sosial yang membahayakan interaksi sosial biasanya berkaitan dengan kategori-kategori yang terdapat dalam dimensi etnis (seperti: ras, kebangsaan, agama) ataupun dalam dimensi demografis (seperti: gender, wilayah dalam suatu negara).  Kategori-kategori  ini biasanya menunjuk pada kelompok minoritas dan hampir selalu membuat anggapan tentang perilaku yang tidak diharapkan. Misalnya, anggapan bahwa orang Irlandia itu tukang ribut dan pemabuk, orang Yahudi itu cerdik dan ambisius, orang kulit hitam itu suka iseng dan bodoh, dsb.

Persepsi Sosial

PERSEPSI SOSIAL

Bagaimana caranya kita memahami orang lain? Persepsi sosial kita tentang orang lain pada awalnya didasarkan pada informasi yang kita peroleh mengenai mereka (pembentukan kesan), dan pada beberapa contoh didasarkan pada atribusi (kesimpulan) yang kita buat tentang sebab-sebab perilaku mereka. Secara Persepsi kita tentang perasaan dan kepribadian yang menjadi penyebab perilaku orang lain akan menuntun kita dalam memutuskan bagaimana kita akan merespon mereka dan hubungan seperti apa yang akan kita jalin dengan mereka.

1. Pembentukan Kesan

Pembentukan kesan tentang orang lain merupakan sesuatu yang sangat alami seperti halnya bernafas, sehingga kita hanya memikirkan prosesnya apabila terjadi suatu kesalahan. Pemebentukan kesan adalah proses di mana informasi tentang orang lain diubah ke dalam kognisi atau pikiran tentang mereka yang relatif menetap.  

Bila kita bertemu dengan seseorang, kita mempertimbangkan informasi-informasi : bagaimana penampilannya, apa yang ia lakukaan, apa yang ia katakan, dsb. Informasi-informasi tersebut tidak membanjiri kognisi kita secara berlimpah-limpah, melainkan kita kelompokkan ke dalam kategori-kategori yang memprediksikan/meramalkan hal-hal yang kita anggap penting.

Kategori-kategori tersebut serta hubungan-hubungan-nya yang dapat dirasakan, membentuk dasar cognitive framework (kerangka kerja kognitif) yang berguna untuk memahami orang lain. Kategori-kategori kognitif tersebut dapat meliputi karakteristik-karakteristik seperti jenis kelamin  (pria, wanita), peran pekerjaan (sopir, guru, dsb), peran sosial (sahabat, tetangga, dsb), ciri-ciri kepribadian (dominan, cerewet, dsb), atau ciri-ciri fisik (tinggi, gemuk, dsb.)

Hubungan antar kategori-kategori tersebut akan menentukan prediksi yang kita buat tentang seseorang ketika kita hanya memiliki informasi yang terbatas. Misalnya, anda berpikir bahwa orang yang mengenakan kacamata itu cerdas, kemudian kapanpun anda bertemu dengan orang yang memakai kacamata  anda anggap orang tersebut cerdas.

Ada tiga model kerangka kerja kognitif yang kita gunakan untuk memahami orang lain, yaitu Implicit Personality Theori (Teori Kepribadian Implisit), Combining Information (Penggabungan Informasi), dan Stereotype (Stereotip).

a. Impicit Personality Theory. 
     Untuk memahami orang lain, kategori yang sering digunakan adalah trait (ciri-ciri sifat). Trait merupakan skema klasifikasi yang digunakan untuk menggambarkan perilaku individu. Misalnya, asertif (tegas), bersahabat, tepat waktu, banyak bicara, dsb.
Trait  dapat kita rasakan saling berhubungan, dan terdapat pengelompokan-pengelompokan trait. Misalnya, Anda mengasumsikan (beranggapan) bahwa orang yang asertif sekaligus juga ambisius; atau orang yang  cerdas sekaligus juga tekun. Hubungan antara sifat-sifat tersebut (trait) disebut Imlicyt Personality Theory, yang menegaskan bagaimana kerangka kerja kognitif kita menghasilkan ramalan-ramalan tentang orang lain di luar informasi yang kita terima.
Asumsi-asumsi yang kita buat mengenai orang lain dapat berupa asumsi yang unik yang dilandasi pengalaman khusus kita sendiri, atau berupa asumsi-asumsi yang dilandasi faktor budaya. Asumsi-asumsi yang dilandasi faktor budaya akan memiliki kesamaan dengan asumsi-asumsi yang dibuat oleh orang-orang lain yang berada dalam budaya yang sama dengan kita.
Teori Kepribadian Implisit membantu kita untuk menyederhanakan informasi yang kita terima dalam interaksi sosial, memperkaya cara kita mengartikan suatu peristiwa,  dan memandu kita dalam merespon orang-orang lain.

b. Combining Information.
    Saat kita bertemu dengan seseorang dan telah menentukan kira-kira bagaimana karakter orang itu, bagaimana cara kita memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan dengan orang itu atau tidak ? Untuk memutuskannya, kita harus membuat perkiraan global tentang perasaan kita terhadap orang itu. Salah satu prosedur yang  dapat kita ikuti adalah dengan mengumpulkan karakter yang kita sukai dari orang itu. Jika ini kita lakukan, kita akan menemukan kesan yang lebih positif. Misalnya, jika kita menganggap orang itu baik dan jujur, akan kita temukan kesan yang lebih positif daripada jika kita menganggap dia hanya baik. Prosedur yang lain adalah kita merata-ratakan informasi tentang karakter yang ada. 
Dalam pembentukan kesan sering terjadi hal yang disebut primacy effect , yakni efek kesan pertama. Bahwa kesan pertama sangat menentukan pandangan terhadap seseorang. Hal ini terbukti dari hasil-hasil penelitian. Dengan demikian nampaknya masuk akal apabila banyak orang yang berusaha tampil secara khusus pada pertemuan pertama.
Dalam hal ini perlu dicatat juga bahwa kita sering lebih mementingkan informasi tentang sifat-sifat yang negatif dari pada yang positif.

c. Stereotype. Bisa klik disini

2. Atribusi. bisa klik disini

Perbedaan Antara Sosiologi dan Psikologi

 Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??

Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya. Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan kemasyarakatan. 

Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental, perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu. Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . 

Dengan demikian para psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal - persepsi, kognisi, emosi, dan sejenisnya - sedangkan para sosiolog akan lebih menekankan pada bagaimana budaya dan struktur sosial mempengaruhi perilaku dan interaksi para individu dalam konteks sosial, dan lalu bagaimana pola perilaku dan interaksi tadi mengubah budaya dan struktur sosial. 

Jadi psikologi akan cenderung memusatkan pada atribut dinamis dari seseorang; sedangkan sosiologi akan mengkonsentrasikan pada atribut dan dinamika seseorang, perilaku, interaksi, struktur sosial, dan budaya, sebagai faktor-faktor yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Psikologi Sosial

Psikologi Sosial

 Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya memahami, menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya"

      Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan  

(1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan 

(2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture".  

Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif).

       Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan "nurture explanation". Tokoh lain yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain.

      Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai  perspektif dalam psikologi sosial - seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu

  1. perilaku (behavioral perspectives) , 
  2. kognitif (cognitive perspectives)
  3. stuktural (structural perspectives), dan 
  4. interaksionis (interactionist perspectives).

Perspektif perilaku dan kognitif  lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan  jawaban yang berbeda atas sebuah pertanyaan : "Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?". Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang.

       Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang.

     Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : " Sejauh mana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang ayah". Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di postingan yang lain akan diuraikan satu persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial. 

PERSEPSI TENTANG DIRI SESEORANG (Psikologi Sosial)

 PEMBENTUKAN KESAN

Ciri Khas

§ Evaluasi senang atau tidak senang: merupakan dimensi dasar terpenting dalam persepsi seseorang terhadap orang lain (Rosenberg, Nelson, dan Vivekanantahan, dalam Sears dkk 1994)

§ Proses pembentukan sering bersifat mekanis, cenderung hanya mencerminkan sifat orang lain yang diamati. 

Model Pembentukan Kesan Menyeluruh

§ MODEL MERATA-RATAKAN: kumpulan informasi mengenai sisi positif dan negatif  digabungkan dan dirata-ratakan. (merupakan cara evaluasi yang terbaik)

§ MODEL MENAMBAHKAN: pengamat menilai orang lain dengan kaca mata positif, sehingga penilaian cenderung tinggi.

Konsistensi Kesan

Orang cenderung membentuk kesan atas karakteristik orang lain  secara konsisten, kendati dengan sedikit informasi.

Prinsip ini mengandung bias dalam penilaian:

IMPLICIT PERSONALITY THEORY  

Contoh: Jika seseorang ramah, berarti sekaligus murah hati, rendah hati, toleran, dsb.

HALLO EFFECT

 Contoh: Orang yang buruk selamanya dianggap buruk


PENDEKATAN KOGNITIF

Ini merupakan alternatif dari pendekatan mekanis tsb di atas dalam pembentukan kesan.

Dalam pendekatan ini pengamat tidak hanya mempertimbangkan penggalan-penggalan informasi secara terpisah, melainkan berupaya menyimpulkan kesan tentang seseorang secara keseluruhan. Hal ini memiliki implikasi tertentu:

KONTEKS

Setiap karakteristik akan diberi makna berbeda jika konteksnya berbeda.

CENTRAL TRAIT

Beberapa ciri yang melekat pada seseorang diasumsikan lebih berarti daripada ciri lainnya.

Misalnya, seseorang yang digambarkan memiliki ciri-cir: rajin, tekun, teliti, dingin, bertanggungjawab.  Orang tsb cenderung dinilai negatif karena adanya ciri “dingin” (dianggap penting!) meski memiliki ciri-ciri lain yang positif.

 KEAKURATAN PENILAIAN

§ Penilaian terhadap ciri-ciri lahiriah dapat lebih akurat

§ Konteks yang melatarbelakangi lebih mempermudah penilaian agar lebih akurat

§ Penilaian terhadap keadaan internal (perasaan, emosi, kepribadian, motivasi, dsb) lebih sulit, cenderung kurang akurat.

KOMUNIKASI NON-VERBAL

Manusia mengkomunikasikan diri sendiri melalui dua saluran: komunikasi verbal (dengan pembicaraan) dan komunikasi non verbal.

Komunikasi non-verbal adalah aktivitas menyampaikan informasi tanpa mempergunakan bahasa. Terdapat dua saluran komunikasi non-verbal:

§ Yang kelihatan: JARAK FISIK, ISYARAT, KONTAK MATA

§ Parabahasa : Parabahasa merupakan keragaman berbicara yang berbeda dari kata-kata actual atau tata-kalimat, yang memuat banyak arti, mencakup: NADA SUARA, KERAS LEMBUT SUARA, IRAMA NAIK TURUNNYA SUARA, SIKAP RAGU MENYAMPAI-KAN INFORMASI. 

MASALAH PENIPUAN

§ Untuk mengetahui apakah seseorang berbohong, petunjuk yang dapat digunakan adalah petunjuk verbal dan non-verbal.

§ Apabila seseorang berbohong secara verbal (dengan kata-katanya) maka dapat digunakan petunjuk non-verbal. Hal ini karena saluran non-verbal lebih sulit untuk dikendalikan sehingga mudah “bocor”.

§ Mereka yang menipu biasanya menunjukkan ekspresi cemas, tegang, dan gugup melalui saluran parabahasa. Misalnya, rata-rata nada suaranya lebih tinggi bila dibanding ketika tidak berbohong (Ekman et al, 1976; Krauss et al, 1976).

____________________________________________

Sumber:

Sears, David, O., Freedman, J.L., Peplau, L.A. 1994. Psikologi Sosial.Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

 

KOGNISI SOSIAL (Psikologi Sosial)

KOGNISI SOSIAL

Pendekatan utama dalam Psikologi Sosial justru menekankan pentingnya proses kognitif. Dalam konteks persepsi manusia, hal ini dinamakan KOGNISI SOSIAL. Yang menjadi inti pendekatan ini adalah:

  • Bahwa persepsi manusia merupakan proses kognitif, yaitu: Orang merupakan pengamat yang mengorganisasi secara aktif, yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk mengembangkan kesan yang terpadu dan berarti, bukan sekedar rasa suka dan benci.
  • Kemampuan pemrosesan kita terbatas sehingga menggunakan serangkaian jalan pintas kognitif.

 Berikut adalah empat gagasan umum yang sudah dikembangkan dalam riset-riset kognisi social, dimulai dari yang paling sederhana:

  1. Memproses informasi tentang orang, termasuk pengamatan atas beberapa arti yang melekat pada objek.
  2. Para pengamat cenderung memberikan perhatian khusus teradap bagian yang paling menonjol.
  3. Kita menyusun bidang perceptual dengan mengkategorikan stimulus
  4. Kita melihat stimulus sebagai bagian dari struktur. Masing-masing stimulus cenderung mempunyai hubungan dengan stimulus lainnya menurut waktu, ruang, dan arus sebab-akibat. 


KEMENONJOLAN

Apa yang menentukan penonjolan sebuah petunjuk dibandingkan petunjuk yang lain?

· KECERAHAN (brightness)

· KEBISINGAN (noise)

· GERAKAN (movement)

· SESUATU YANG BARU (novelty)

Bagaimana penonjolan mempengaruhi persepsi?

· Memberikan tanggapan kepada stimuli paling menonjol tanpa memproses semua informasi.

· Orang yang lebih meninjol dipandang lebih berpengaruh atas konteks sosialnya.

· Evaluasi terhadap seseorang yang menonjol biasanya lebih ekstrim daripada evaluasi terhadap orang yang kurang menonjol.

· Kemenonjolan meningkatkan keterpaduan kesan.

KATEGORISASI

Dalam mengkategorikan orang:

· Mengkategorikan berdasarkan persamaan alamiah dalam penampilannya ( jenis kelamin: pria-wanita, rambut: panjang-pendek, jenis pakaian: murah-mahal, dsb)

· Melakukan pengelompokan social (berdasarkan ras, dsb)

· Mengkategorikan berdasarkan Prototipe, yaitu  berdasarkan persamaan seseorang dengan contoh ideal. Misal, orang yang berpakaian bagus dianggap sebagai orang kaya.

Diskriminasi antar kelompok

Berbagai telaah menunjukkan bawa tindakan mengkategorisasikan dapat mengasilkan diskriminasi jika tindakan itu melibatkan pengkategorian orang menjadi KAMI (IN-GROUP) dan MEREKA (OUT-GROUP). In-group adalah kelompok dimana “saya” menjadi anggota , dan out-group adalah kelompok dimana “saya” tidak menjadi anggota.

Kategorisasi semacam ini menjurus pada favoritisme (penilaian positif) terhadap in-group dan diskriminasi (penilaian negatif) terhadap out-group.

Konsekuensi kategorisasi:

· Mempercepat waktu pemrosesan informasi

· Menyederhanakan dan mempermudah pemrosesan

· Dapat mengarah pada kesalahan persepsi

SKEMA

Definisi:

Serangkaian pemahaman yang teratur dan berstruktur, mencakup pengetahuan mengenai objek dan hubungan antar berbagai informasi (Taylor & Crocker dalam Sears et.al.1994)

Isi skema

TEORI TENTANG TIPE KEPRIBADIAN, SIKAP, STEREOTIP TTG KELOMPOK, PERSEPSI JENIS KEJADIAN.

Fungsi skema:

· Membantu dalam memproses informasi yang rumit dengan menyederhanakan dan menyusunnya

· Membantu dalam mengingat dan menyusun detil

· Mempercepat waktu pemrosesan

· Mengisi kesenjangan pengetahuan

· Membantu menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi baru

Jenis-jenis skema

· Skema tentang pribadi seseorang (®teori kepribadian implisit). Misal, Abraham Lincoln memiliki kepribadian sangat teliti, jujur, serius dalam menjalankan tugas, dan peduli terhadap orang yang lemah. Sifat-sifat tersebut dinilai saling berubungan.

· Skema tentang diri pribadi. Misal, menggambarkan diri sebagai orang yang mandiri, tegas, dst.

· Skema untuk kelompok (®stereotip). Stereotip adalah pemberian label ciri-ciri khusus terhadap kelompok tertentu (kelompok ras/etnis, agama, jenis kelamin, dsb). Misal, menganggap orang kulit hitam sebagai orang yang bodoh, pemabuk, dsb.

· Skema peran. Misal, peran guru adalah menyampaikan materi pelajaran, memberi latihan, menguji kemampuan siswa, dsb.

· Skema tentang kejadian (serangkaian standar kejadian). Misalnya, jajan (makan) di restoran fast-foot, meliputi antri, memilih menu, memesan, membayar, lalu menyantap makanan pesanan.

Perbedaan individual

· Ada orang yang berpikir skematik, ada yang tidak

· Ada beberapa skema yang dianut secara luas:

Teori kepribadian implicit

Stereotip ras dan etnik

· Ada skema yang bersifat individual (tidak dianut bersama)

· Ada skema kelompok: berbagai kelompok yang berbeda memiliki skema yang berlainan tentang urutan perilaku

PEMROSESAN SKEMATIK

Keuntungan yang diperoleh:  (lihat fungsi skema!)

Kendala-kendala:

· Kecenderungan menerima informasi baru hanya jika informasi tersebut sesuai untuk mengisi kesenjangan pikiran dengan menambahkan unsure-unsur yang sesuai dengan skema.

· Penyusunan cenderung kita buta terhadap ketidakkonsistenan

· Penyederhanaan yang berlebih-lebian

· Abstraksi menjauhkan kita dari realitas kongkrit

· Stereotip dapat berbahaya

· Teori kepribadian implicit dapat menjurus ke kesalahan

· Dapat menjerumuskan ke interpretasi yang keliru, prediksi yang tidak akurat, dan cara respon yang kaku.

 _____________________________________________________________

Sumber:

Sears, David, O., Freedman, J.L., Peplau, L.A. 1994. Psikologi Sosial.Edisi bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Atribusi ( Kesimpulan Tentang Orang lain)

ATRIBUSI

Untuk menilai orang lain berdasarkan sifat-sifat, tujuan, atau kemampuan tertentu, mengharuskan kita untuk membuat atribusi atau kesimpulan tentang mereka. Karena kita tidak memiliki akses tentang pikiran-pikiran pribadi, motif, ataupun perasaan orang lain, kita membuat kesimpulan tentang sifat-sifat mereka berdasarkan perilaku yang dapat kita amati. Dengan membuat atribusi semacam itu kita dapat meningkatkan kemampuan kita dalam meramalkan apa yang diperbuat oleh orang tersebut di kemudian hari.
Secara sederhana Atribusi sering diartikan sebagai kesimpulan tentang sebab-sebab perilaku seseorang.
Terdapat beberapa pendekatan berlainan yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses atribusi. Tiap-tiap pendekatan memiliki prinsip dasar untuk menyimpulkan sebab-sebab perilaku.

1.  Psikologi Naif dari Heider
Minat Psikologi Sosial terhadap proses atribusi diawali dengan teori Fritz Heider (l958), yang peduli tentang usaha kita untuk memahami arti perilaku orang lain, khususnya bagaimana kita mengidentifikasi sebab-sebab tindakannya. 
Secara umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces), seperti kemampuan atau usaha, atau oleh daya-daya lingkungan (environmental forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu tindakan diatribusi sebagai  daya personal, akibatnya akan berbeda dengan tindakan yang diatribusi sebagai daya lingkungan.  Misalnya, andaikan kita sedang antre utuk membeli tiket di Gedung Bioskop, tiba-tiba seorang laki-laki tinggi-besar menabrak kita. Kita mungkin mengatribusinya sebagai daya pribadi (kita simpulkan sebagai kesengajaan dari laki-laki itu untuk menyakiti kita). Jika demikian, kita akan marah atau sakit hati. Namun jika kita mengatribusi peristiwa tersebut disebabkan daya lingkungan (misalnya kita simpulkan sebagai kecelakaan karena laki-laki tersebut tersandung karpet yang tidak rata), maka kita akan memaafkan laki-laki tersebut atau bersikap ramah terhadapnya. 
Kita menyimpulkan (mengatribusi) suatu tindakan disebabkan daya personal hanya jika orang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan, dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian atribusi kita, kita beranggapan bahwa hal tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakannya di masa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita mengatribusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalakan tindakan-tindakannya di masa yang akan datang.

2. Teori Atribusi dari Kelley
Teori atribusi dari Harold Kelley (1967, 1973) ini merupakan perkembangan dari teori Heider. Seperti Heider, fokus teori ini adalah bagaimana caranya menentukan, apakah tindakan tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal. Kelley berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang terjadi karena adanya sebab, Oleh sebab itu Kelly mengajukan suatu cara untuk mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada  penyebab tindakan, apakah daya internal atau daya eksternal. 
Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang kita gunakan untuk memutuskan hal tersebut:  (a) Konsistensi (consistency) respon dalam berbagai waktu dan situasi, yaitu sejauh mana respon tertentu selalu terjadi pada saat hadirnya stimulus atau keadaan tertentu; (b) Informasi konsensus (consensus information), yaitu sejauh mana orang-orang lain merespon stimulus yang sama dengan cara yang sama dengan orang yang kita atribusi; (c) Kekhususan (distinctiveness), yaitu sejauh mana orang yang kita atribusi tersebut memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai stimulus yang kategorinya sama. 
Kombinasi antara konsistensi yang tinggi, konsensus yang tinggi, dan kekhususan yang tinggi, menghasilkan atribusi eksternal; sedangkan konsistensi yang tinggi dikombinasi dengan konsensus yang rendah dan kekhususan yang rendah, menghasilkan atribusi internal.

Contoh:
Umpamakan anda mencari restoran yang baik, dan seorang teman anda mengusulkan sebuah restoran Perancis. Bagaimana cara anda mengetahui, apakah usul teman anda itu karena faktor eksternal (atribusi eksternal) yaitu karena restoran itu sendiri memang baik; ataukah karena faktor personal (atribusi internal) yaitu karena sifat-sifat pribadi teman anda-lah yang menentukan pilihannya tersebut.  Jika anda menanyakan perihal restoran Perancis yang disarankan teman anda tersebut kepada beberapa orang yang lain dan ternyata mereka juga berpendapat bahwa restoran tersebut memang baik (konsensusnya tinggi); dan jika anda ketahui bahwa teman anda tersebut tidak begitu suka terhadap restoran-restoran yang lain, termasuk restoran-restoran Perancis yang lain (kekhususannya tinggi); dan jika teman anda tersebut telah berkunjung lebih dari satu kali ke restoran yang disarankannya dan selalu suka terhadap restoran tersebut (konsistensinya tinggi), maka anda akan membuat atribusi eksternal terhadap usulan teman anda tersebut. Artinya anda akan beranggapan bahwa restoran tersebut memang benar-benar baik, sehingga anda memilih untuk berkunjung ke sana. Di sisi lain, jika ternyata beberapa teman anda tidak menyukainya (konsensusnya rendah); dan anda tahu bahwa teman anda tersebut jarang mengatakan bahwa restoran yang lain tidak baik (kekhususannya rendah); maka anda akan membuat atribusi internal, yaitu anda beranggapan bahwa teman anda menyukai restoran tersebut hanya karena ia suka makan di restoran-restoran dan bahwa dia tidak dapat membedakan mana restoran yang baik dan mana yang sedang-sedang.
Jika konsistensinya tidak tinggi, hal ini tidak dapat mengarahkan pada atribusi internal maupun eksternal. Mungkin terdapat faktor penentu yang lain yang mempengaruhi perilaku. Misalnya, jika teman anda tersebut hanya beberapa waktu menyukai restoran tersebut, anda dapat berpikir bahwa manajemen atau kepala restoran tersebut telah berganti.

3. Teori tentang Atribusi Personal (Jones dan Davis)
E.E. Jones dan Keith Davis (1965) memfokuskan perhatiannya terhadap bagaimana cara kita menyimpulkan, apakah perilaku seseorang mencerminkan watak pribadinya atau tidak. Seperti Heider, mereka beranggapan bahwa berbagai tindakan yang dilakukan seseorang merupakan hasil dari suatu urut-urutan yang diawali oleh sifat-sifat pribadi yang menghasilkan niat dan dimodifikasi oleh kemampuan, yang akhirnya menghasilkan tindakan-tindakan.  Namun mereka memperluas teori Heider tersebut dengan menyatakan bahwa dalam bertindak, seorang selalu mempunyai pilihan-pilihan, dan mendapatkan berbagai efek dari tindakannya. Untuk menyimpulkan watak seseorang, pengamat (perceiver) harus bekerja secara terbalik, yaitu dengan mengamati pilihan-pilihan tindakan beserta efek-efeknya. Dalam hal ini, pengamat tidak hanya melihat apa yang nyata-nyata dilakukan seseorang, namun juga memperhatikan sebenarnya apa saja yang dapat dilakukan. Apa yang dilakukan (tindakan yang dipilih) seseorang mempunyai berbagai efek. Di sisi lain, tindakan-tindakan yang sebenarnya mampu untuk dilakukan namun tidak dipilih, jika dipilih (benar-benar dilakukan) sebenarnya juga mempunyai efek. Efek-efek yang berbeda dari tindakan yang dipilih dan yang tidak dipilih itulah yang memberikan petunjuk mengenai niat yang ada pada seseorang, yang sekaligus dapat mencerminkan wataknya.
Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam atribusi personal: apakah efek-efek tindakan yang dipilih itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, diharapkan atau tidak diharapkan, positif atau negatif. Jika efek-efek tindakannya mempunyai nilai  negatif atau kurang diharapkan atau tidak menyenangkan atau tidak baik, hal ini lebih dapat mencerminkan watak atau sifat-sifat tertentu yang dimiliki orang yang bersangkutan. Misalkan, memilih bermain tenis pada waktu cuaca dingin dan hujan (dipandang sebagai tidak menyenangkan) lebih dapat menunjukkan motif atau niat seseorang dari pada jika orang tersebut bermain tenis pada waktu cuaca cerah (sudah sewajarnya bermain tenis pada saat cuaca cerah).

4.  Atribusi diri
Menurut Bem (1967,1972), dalam mengatribusi diri sendiri kita kebanyakan menggunakan proses yang sama seperti mengatribusi orang lain. Biasanya kita terlebih dahulu melihat apakah ada penyebab perilaku kita yang berasal dari lingkungan melalui daya-daya eksternal. Jika tidak ada, selanjutnya kita berasumsi (beranggapan) bahwa perilaku kita terjadi karena motif-motif internal atau sifat-sifat pribadi kita sendiri. Pada akhirnya kita akan mengenali karakter kita sendiri melalui perilaku-perilaku kita. 
Tokoh lain, Jones dan Nisbet (1972) membuat hipotesis yang lain, yaitu meskipun prosesnya mungkin sama, namun proses mengatribusi diri sendiri dan mengatribusi orang lain  tidaklah sama. Kita cenderung melihat perilaku kita lebih banyak dikendalikan oleh situasi, sementara kita melihat  perilaku orang lain lebih disebabkan oleh daya-daya internal. Perbedaan ini disebabkan karena kita melihat diri kita sendiri sebagai pribadi yang stabil yang berinteraksi dengan lingkungan yang berubah-ubah. Karena lingkungan yang berubah-ubah, maka kita menyimpulkan bahwa perubahan perilaku kita disebabkan karena perubahan situasi. Lain halnya jika kita mengamati perilaku orang lain, bagaimanapun juga kita melihat bahwa lingkungan merupakan faktor yang stabil dan orang (yang kita amati) berubah-ubah. Contoh yang mendukung hipotesis ini adalah hasil eksperimen Nisbet dkk. Yang menemukan bahwa ketika para mahasiswa menjelaskan alasannya memilih bidang studi tertentu, mereka cenderung menyebutkan baik kualitas jurusan yang dipilihnya maupun kualitas prbadinya sebagai dua faktor yang menentukan pilihannya. Namun demikian, ketika menjelaskan pilihan yang dilakukan oleh temannya, mereka lebih cenderung menekankan karakter pribadi teman tersebut dari pada kualitas jurusan pilihan temannya. 

Kenali Kepribadianmu Dengan Big Five

✨ “Kenali Kepribadianmu dengan Big Five!” ✨ 🔹 1. Neurotisisme – Cemas & mudah gugup (Kebaikan) ↔ Tenang & percaya diri 🔹 2. Ekstra...