Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Keterasingan Dalam Pekerjaan (filsafat)

Pekerjaan dapat juga menjadi kebalikan dari
pernyataan manusia, yaitu proses pengasingan
diri.

Fenomen Keterasingan
Menurut Marx, pekerjaan itu sesuatu yang lahiriah bagi buruh, tidak termasuk hakekatnya, ia tidak membenarkan diri didalam pekerjaan melainkan menyangkal diri, tidak kerasan didalamnya melainkan menderita, pekerjaannya tidak mengembangkan tenaga fisik dan mentalnya melainkan mematiragakan fisiknya dan merusak mentalnya. 

Pekerjaan Upahan
Pekerjaan upahan itu merupakan pekerjaan dimana kita tidak pertama- tama bekerja karena saya tertarik pada pekerjaan itu dan ingin menjalankannya, melainkan karena kita memerlukan upah.
Menurut Marx, pekerjaan itu m,engasingkan manusia karena bersifat upahan.

Keterpaksaan itu memiliki dua segi :
Pertama : Apa yang dikerjakan tidak dapat dipilih sendiri. Dimana kita bekerja terkadang tidak sesuai dengan kemahlian kita.
Kedua : Bahwa pekerjaan upahan mengasingkan kebebasan manusia. Dimana pekerjaan ditentukan oleh majikan.

Segi- Segi Keterasingan Manusia
Keterasingan dalam pekerjaan pada pokoknya mempunyai dua segi : keterasingan manusia dari pekerjaannya, dan keterasingan dari orang lain.
 
Marx memperlihatkan bahwa keterasingan buruh dari pekerjaannya akhirnya berarti bahwa buruh mengasingkan dirinya sendiri. Dalam arti, kalau setiap orang mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kepribadiannya, hanya karena terpaksa oleh keadaan, bagaimana orang tersebut dapat mengembangkan kepribadiannya?

Segi kedua adalah keterasingan terhadap manusia lain, ialah bahwa hubungan antara manusia pada pokoknya bersifat saingan/ persaingan antara buruh dan majikan, antara buruh sendiri, dan juga diantara para majikan : Homo Homini Lupus ( Hobbers )

Menghapus Keterasingan
Untuk meniadakan keterasingan antarmanusia itu, Marx hanya melihat satu jalan saja, yaitu penghapusan system kerja upahan, dan itu berarti, penghapusan hak milik pribadi atas alat- alat produksi.


Pekerjaan Dan Ciri - Ciri Khas Kemanusiaan (filsafat)

Secara khusus filsafat Marx tergantung dari filsafat pekerjaan Hegel.

Berikut penegasan Marx mengenai ciri pekerjaan yang penting, yang pada Hegel hanya termuat secara implisit.

Pekerjaan dan Kebutuhan Manusia

Secara Empiris, manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Manusia hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup dari alam, menunjukkan bahwa ia termasuk alam.
Bagi Marx, pekerjaan adalah tanda kekhasan manusia sebagai mahluk yang bebas dan universal. Bebas karena manusia dapat merencanakan tindakannya, karena ia – meskipun lapar – dapat menunda makanannya untuk mengerjakan sesuatu yang lebih penting dahulu. Dikatakan universal karena manusia tidak terikat pada lingkungan alam yang terbatas.

Manusia Mahluk Sosial
Pekerjaan merupakan tanda bahwa manusia itu adalah mahluk social atau bermasyarakat.
Orang tidak pernah hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Hasil pekerjaannya memperlihatkankecakapannya dan cita- citanya kepada orang lain, membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka.


Pekerjaan dan Sejarah
Pekerjaan bersifat social bukan hanya dalam dimensi ruang, artinya pekerjaan tidak hanya menghubungkan manusia – manusia yang hidup pada saat yang sama, melainkan juga mengcakup dimensi waktu. Pekerjaan itu tindakan manusia selama seluruh sejarahnya.
Pekerjaaan merupakan jembatan antara umat manusia, bukan hanya antara yang hidup sekarang, melainkan juga antara yang sekarang dengan yang terdahulu.



Segi - segi Pokok Pernyataan Diri Manusia (filsafat)

Setiap tindakan terjadi dalam situasi tertentu
dan tidak dapat ditiadakan lagi.

Tindakan Sebagai Penampakan Diri

“ Individu tidak dapat mengerti apa yang ada didalamnya sebelum ia menyatakannya dalam tindakannya.”
Semakin lama manusia bekerja,semakin juga ia menunujukkan diri kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain.

Derita Penentuan Diri

Hanya apa yang tentu itu nyata.
Contoh : Jika saya ingin membuat sebuah rumah mewah dengan dana yang minim, saya harus memilih untuk tidak membuat rumah mewah karena dana yang tidak mencukupi.
Dan keniscayaan pembatasan diri yang terkandung dalam setiap pilihan dan tindakan, membuat kita menjadi menderita, apabila kita harus bertindak.


Tindakan Sebagai Penentuan Diri

Dalam tindakan, manusia sekaligus menentukan diri. Sebelum ia bertindak, ia belum menentu, belum pasti dan jelas.
Contoh : Seorang penari dan penulis, belum tentu ia penari dan penulis sebelum ia mampu menghasilkan tarian yang indah atau menghasilkan tulisan yang bagus, Bahkan ia tetap bukan penari atau penulis sebelum ia melakukan salah satunya.
“ tindakan itu sesuatu yang satu dan tentu.. “
Jadi melalui tindakannya, manusia menentukan diri untuk selamanya.

Potensialitas dan Realitas

Menurut Hegel manusia itu bukanlah suatu ketidakadaan sedang bekerja kea rah ketidakadaan melainkan bekerja menurut hakekatnya.
Bertindak itu bukan berarti sesuatu begitu saja diciptakan dari kekosongan, melainkan bahwa suatu potensialitas dijadikan realitas.

Realitas Manusia : Memahami diri
Menurut Hegel, manusia sebagai mahluk rohani hanya mencapai realitasnya apabila ia mengobyektifkan diri, dan itu berarti , hanya apabila ia dapat memandang dan memahami diri sendiri.
Pekerjaan itu adalah tindakan yang menyatakan manusia, karena didalamnya manusia melahirkan apa yang hanya secara potensiil ada padanya, kedalam kenyataan yang obyektif sehingga ia dan orang – orang lain dapat memandang dan memahami diri.
 

Pekerjaan Sebagai Pernyataan Manusia (filsafat)

Pekerjaan

Segala kegiatan yang direncanakan,yang memerlukan pemikiran khusus, dan tidak dapat dijalankan oleh binatang, yang dilakukan tidak hanya karena pelaksanaan kegiatan itu sendiri menyenangkan ( permainan ), melainkan karena kita mau, dengan sungguh- sungguh dengan tujuan yang menghasilkan.

Pekerjaan Sebagai Pernyataan Manusia

Hegel menempatkan pekerjaan kedalam keseluruhan konteks kegiatan manusia.

Dalam proses pernyataan atau perealisasian diri manusia sebagai mahluk yang menyadari dan memiliki diri, pekerjaan memainkan salah satu peranan kunci.

Karena Hegel tidak mengajukan suatu teori tentang pekerjaan, melainkan menggali apa yang terkandung dalam pengalaman yang kita sadari sendiri. Berikut suatu analisa terhadap cara manusia menyadari diri.

Cara Manusia Menyadari Diri
Adanya konsep “ Keakuan Kita?”
Apabila kita membuka mata, kita akan melihat pelbagai pandangan. Semua yang kita lihat, dengar, cium dan sebagainya, kita istilahkan sebagai suatu obyek.
“Obyek” itu segala sesuatu yang berhadapan dengan “Aku”.
“Subyek” itu “Aku”

Fakta bahwa saya menyadari saya sebagai bukan subyek yang berhadapan dengan obyek- obyek, mengandung dua segi :
Pertama : Manusia menyadari keakuannya, dirinya, secara negative : sebagai yang bukan obyek. Keakuan ini dalam peristilahan Hegel adalah “ kesatuan Negatif “(die negative Einheit) daripada obyek- obyek kita.
Negative karena kita bukan sebagai pohon, bukan orang itu, bukan dingin, bukan rumah, dsb.
Kedua : Tidak adanya kesadaran diri tanpa adanya obyek. Kita hanya dapat menyadari diri dalam membedakan diri terhadap obyek- onyek tersebut.
Tanpa obyek tak ada “Aku”.

Masalah Pembenaran Diri

Untuk mempertahankan keakuan kita terhadap suatu ancaman, kelihatan hanya ada satu jalan, yaitu menaklukkan dan meniadakannya.
Dalam istilah Hegel, kesadaran diri berupa nafsu  ( “Begierde” ) untuk meniadakan semua obyek yang berhadapan dengan kita.
Sangat jelas, bahwa penghancuran dunia obyektif bukan jalan keluar. Kalau semua obyek kita tiadakan, kita meniadakan diri kita sendiri, karena keakuan kita justru karena adanya obyek- obyek itu dan tubuh kita pun bersifat obyektif.

Pekerjaan

Agar keakuan kita dapat membenarkan diri, tanpa kita menghilangkan obyek yaitu dengan mengubah dunia obyektif menjadi obyektifikasi dari keakuan itu sendiri. Itulah yang tercapai dalam pekerjaan.
 
Contoh : Seorang pembuat perahu. Sebuah pohon ( merupakan obyek bagi sipembuat perahu ) dengan sedemikian rupa mengubah pohon tersebut menjadi sebuah perahu. Dalam hal ini dunia obyektif telah berubah menjadi obyektifikasi. Suatu bentuk yang alamiah kehilangan alamiahnya dan mendapat bentuk baru, yaitu bentuk manusia dalam arti sesuai dengan apa yang dipikirkan, diinginkan, dikehendaki, dicita-citakan oleh manusia.

Dengan menghilangkan bentuk alamiah dari suatu benda alam,manusia meniadakan keasingan obyek itu.

Salah satu pokok filsafat Hegel ialah bahwa kenyataan itu hanya tercapai dalam menjadi obyektif.

Maka pekerjaan itu proses dimana manusia menyatakan diri.




HUKUM DAN TEORI ILMIAH (filsafat)

 HUKUM DAN TEORI ILMIAH


1, Hukum sebab-akibat.

Ilmu pengetahun pada dasarnya bertujuan untuk mengkasj hubungan khusus antara peristiwa tertentu dengan peristiwa lainnya. Ilmu pengetahuan ilmiah bertujuan untuk menjelaskan berbagai peristiwa atau fenomena alam. Yang mau dijelaskan adalah (a) apakah ada kaitan antara peristiwa yang satu denga peristiwa yang lain? Mungkin nampak peristiwa-peristiwa berdiri sendiri-sendiri, namun sebenarnya punya kaitannya. (b) Di sini dijelaskan: apa hubungan atau kaitan tersebut? Contoh: buku jatu dan bunyi hentakan yang mengagetkan, besi berkarat dan udara lembab, air mendidi dan lilin yang mencair. Setelah ditelit dengan saksama, maka ada kaitan erat antara keduanya. Kalau peristiwa yang satu terjadi pasti peristiwa lain pun terjadi. Atau kalau peristiwa itu terjadi, maka peristiwa yang lain pasti sudah lebih dulu terjadi. Hubungan antar peristiwa satu yang menyebabkan peristiwa lain di sebut hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan sebenarnya meneliti hubungan sebab akibat yang terjadi dalam alam semesta ini atau dalam diri manusia. Hubungan ini punya sifat pasti karena kalau peristiwa tertentu itu terjadi pasti yang lain akan menyusul. Dan dalam ilmu pengetahuan hubungan ini disebut sebagai hukum. Jadi, mengkaji hubungan sebab akibat antara berbagai peristiwa disebut juga mengkaji hukum ilmiah.

 

2. Sifat Hukum Ilmiah

Hukmu ilmiah mempunyai sifat-sifat pasti, lebih berlaku umum dan universal, daya terangnya lebih kuat.

 

a. Lebih Pasti

Perlu ditegaskan bahwa hukum ilmiah adalah perkembangan dari hipotesis yang telah mendapat status yang lebih pasti sifatnya, karena telah terbukti benar dengan didukung oleh fakta dan data yang tidak terbantahkan. Karenanya dapat kita katakan bahwa, semakin pasti sebuah hipotesis, hipotesis itu akan berubah menjadi sebuah hukum ilmiah. Contoh: ada hubungan sebab akibat antara A dan B. Dalam hukum hubungan itu terbukti benar. Maka, kalua A terjadi, maka B juga pasti terjadi. Dikatakan bahwa status hukum ilmiah lebih pasti karena telah terbukti benar dan didukung oleh fakta dan data yang tak terbantahkan. Tapi perlu diperhatikan bahwa kepastian di sini masih mengandung hipotesis, sehingga walau pasti namun kebenarannya masih bersifat sementara.

 

b. Berlaku Umum dan Universal

Setiap hukum yang pasti sifatnya dengan sendirinya akan lebih umum dan universal. Hukum itu bersifat universal karena pertama, hukum mengungkapkan hubungan yang universal antara dua peristiwa. Hubungan ini sejauh merupakan hukum ilmiah dapat berlaku untuk peristiwa khusus lainnya, kapan saja dan di mana saja. Kedua, sejauh merupakan hukum ilmiah, siapapun akan sepakat dan menyetujui bahwa memang benar ada hubungan sebab akibat antar dua peristiwa sejenis.

 

c. Punya daya terang yang lebih luas

Kedua sifat di atas belum cukup untuk menentukan dengan jelas di mana letak batas antara hipotesis dan hukum. Hal yang membedakan hukum dari hipotesis adalah bahwa hukum mempunyai daya terang yang lebih jelas. Dengan hukum ilmiah, seorang ilmuah ingin mendapatkan penjelasan ilmiah yang memperlihatkan secara gamblang hubungan antar satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, antara satu unsur dan unsur lainnya. Dengan hukum yang memberi penjelasan mengenai hubungan antar peristiwa yang dikaji,

peristiwa-peristiwa tersebut menjadi bisa dimengerti dan masuk akal.

peristiwa-peristiwa dalam alam semesta ini, yang sebelumnya terlihat seakan berdiri sendiri-sendiri, menjadi jelas bahwa ada hubungan satu dengan yang lainnya.

Alam semesta dan segala peristiwa yang ada di dalam alam ini, bukannya merupakan peristiwa yang acak, yang kacau balau, melainkan adalah peristiwa yang sangat teratur karena dibalik yang kacau balau dan tidak teratur itu ada suatu hukum menyatukan dan mengaitkannya satu sama lain.

Manusia dapat meramalkan berbagai peristiwa tertentu yang belum terjadi dan dengan demikian dapat merencanakan hidupnya secara lebih pasti dan teratur.

 

3. Evolusi dan Kontinuitas Pengetahuan

Evolusi dalam alam sudah terjadi dan diakui dalam teori-teori ilmiah. Banyak ahli yang tidak meragukan adanya evolusi juga dalam ilmu pengetahuan. Dikatakan bahwa pikiran selalu mengalami perkembangan. Perkembangan itu terjadi baik dalam pikiran ilmuan maupun dalam komunitas ilmuwan. Setiap ilmuwan selalu berkembang karena penelitiannya pun berkembanga dari waktu ke waktu. Ia juga mewariskan ilmunya kepada generasi-generasi berikutnya. Demikian juga mereka mewariskan hasil penelitiannya dan didiskusikan dan diteruskan kepada generasi berikutnya. Selain pikiran pribadi dari para ilmuan, metode ilmu pengetahuan juga mengalami perkembangan yang sama. Metode yang kita gunakan sekarang adalah warisan dari para pendahulu kita. Metode mereka juga mengalami perkembangan lewat kritik dan perbaikan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Karena itu dapat kita katakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebuah proses, suatu penelitian tanpa henti. Ilmuwan yang benar adalah ilmuwan yang selalu berusaha untuk terus mengembangkan penelitiannya dan terus menyempurnakan metodenya.

 

4. Dari Hukum Menuju Teori

Ada kaitan erat antara hukum dan teori. Fungsi teori adalah untuk menjelaskan hukum ilmiah. Memang ada kaitan tetapi juga ada perbedaan yang besar antar keduanya. Hukum lebih bersifat empiris dan harus diperiksa dan ditolak berdasarkan data empiris. Sebaliknya teori, lebih merupakan pandangan umum yang sulit diperiksa langsung secara empiris. Teori itu himpunan pengetahuan yang meliputi banyak kenyataan dan hukum yang sudah diketahui dan diperiksa berdasarkan kenyataan empiris. 

Metode Ilmu (filsafat)

 METODE ILMU

Hidup manusia dipenuhi dengan berbagai macam pengetahuan, mulai dari pengetahuan paling sederhana hingga pada pengetahuan yang paling rumit; dari pengetahuan harian biasa hingga pada pengetahuan yang paling ilmiah.  Tapi perlu disadari bahwa tidak semua pengetahuan manusia itu disebut ilmu, karena pengetahuan yang disebut ilmu adalah pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat sebuah ilmu pengetahuan. Syarat-syarat itu ada di dalam apa yang disebut metode. Metode didefinisikan dalam bermacam-macam cara. Peter R. Senn mendefinisikannya sebagai suatu prosedur sistematis (Senn, 1971: hal. 4). Sedangkan kamus bahasa Indonesia menyatakan metode dalam ilmu pengetahuan adalah cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai tujuan ( Hal. 652). Lalu Oxford Dictionary mendefinisikan Metode sebagai: a special form of procedure atau the orderly arrangement of ideas (Allen, 1990: hal. 746). Jadi metode merupakan suatu prosedur sistematis yang khusus untuk mengkaji setiap pengetahuan manusia. Istilah yang dekat adalah metodologi yang didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang metode (Kamus Umum, 1997: hal. 653;  Allen, 1990: hal. 746). Dengan demikian metode ilmu pengetahuan adalah suatu bentuk prosedur yang harus di penuhi suatu pengetahuan.

Disini kita akan bicarakan metode, hukum dan teori ilmiah yang biasa digunakan suatu ilmu pengetahuan. Metode-metode yang akan kita bicarakan antara lain: abduksi, deduksi dan Induksi.

1. Metode Abduksi

Prosedur suatu ilmu pengetahuan mulai dengan pengumpulan data, lalu diikuti dengan analisis data atau mencari penjelasan mengenai data-data itu. Seorang ilmuan tidak boleh puas dengan hanya menerima data begitu saja, data memerlukan pemikiran untuk menjelaskan temuan data-data tersebut. Dengan demikian ilmu pengetahuan merupakan suatu proses hidup yang dijalani ilmuan dalam menemukan hipotesis untuk menjelaskan fenomena atau data. Proses di atas yang terjadi dalam pikiran ilmuan oleh C. S. Pierce disebut Abduksi (Keraf dan Dua, 2001: 92).

Pikiran Pierce mengenai abduksi mengalami perkembangan yang cukup panjang. Pada mulanya ia melihat abduksi sebagai suatu bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu proposisi hukum (rule), proposisi kasus (case), dan proposisi kesimpulan (result). Di dalam abduksi sendiri, hukum, kasus, dan kesimpulan dibentuk dalam satu silogisme hipotetis yang terdiri dari premis mayor, minor, dan kesimpulan. Pikiran Pierce berubah pada tahun 1893. Ia sadar bahwa abduksi lebih dari sekedar suatu bentuk logis. Abduksi itu hadir sebagai tahap awal dari suatu penelitian ilmiah, ketika orang mulai heran terhadap peristiwa atau fakta tertentu. Jadi, abduksi sebenarnya merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari fakta, di mana dari fakta itu kita merumuskan hipotesis itu untuk menjelaskan kasus atau fakta tersebut. Hipotesis itu mengandung makna universal. Abduksi pertama-tama berfungsi untuk menawarkan suatu hipotesis yang bisa memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta itu. Ada fakta, lalu fakta itu harus dijelaskan dengan sebuah hipotesis. Karena itu silogisme abduksi selalu mulai dari fakta dan dari fakta itu dirumuskan sebuah hipotesis untuk menjelaskan fakta tersebut. Pierce mengemukakan dua ciri abduksi antara lain: (1) abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan eksplanasi yang probable. Istilah probable ini digunakan untuk menyatakan bahwa hipotesis pada prinsipnya merupakan satu kemungkinan penjelasan. Hipotesis berfungsi sebagai suatu dugaan atau konjektur. Ilmuan sadar bahwa jika penjelasannya benar maka fakta-fakta-fakta yang diobserfasi akan dijelaskan dengan benar pula. Kebenaran hipotesis itu harus dibuktikan lagi dengan verifikasi. (2) Hipotesis itu dapat memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsung. Di sini Pierce berlawanan dengan aliran positivisme A. Comte yang mengatakan bahwa hipotesis itu harus dapat secara langsung menjelaskan fakta. Selanjutnya Pierce mengatakan bahwa semua hipotesis memang harus diverivikasi tetapi tidak perlu dibuktikan dengan observasi langsung. Cukup hipotesis itu dapat menjelaskan fakta yang diobservasi dan ada kemungkinan untuk diverivikasi melalui pengalaman di masa depan. Menurut Pierce, suatu teori tidak hanya bisa menjelaskan fakta yang bisa diamati, tetapi juga fakta yang tidak dapat diamati, sekarang dan di sini. Sebagai contoh, teori Kopernikus tentang heliosentrisme. Teori ini memberikan dampak yang sangat besar dan luas dan janji masa depan yang besar. Atas dasar teori ini, muncullah teori pengukuran matematis yang dikemukakan oleh Galileo, Kepler dan Newton. Contoh lain, teori genetika Mendel yang membuka usaha penelitian lebih lanjut dalam bidang genetika modern dewasa ini. Abduksi hanya menghasilkan hipotesis sebagai penjelasan sementara. Abduksi juga hanya memberikan konjektur atau dugaan yang masuk akal, sebagai salah satu cara untuk memahami fakta. Hipotesis abduksi harus dibuktikan melalui indiksi dan deduksi.

Sekarang kita lihat syarat pemilihan hipotesis abduksi. Abduksi memang merupakan proses yang sahih untuk merumuskan hipotesis, namun persoalannya adalah alasan logis mana sehingga hipotesis A lebih preferable, lebih pantas diuji dibandingkan dengan hipotesis B. Syarat manakah yang perlu diperhatikan sehingga suatu hipotesis lebih pantas diperhatikan dibandingkan dengan hipotesis lainnya. Syarat utamanya adalah bahwa (1) hipotesis itu harus dapat diverivikasi secara eksperimental, namun sebelumnya pemilihan hipotesis perlu mendapat pertimbangan ekonomi. Perlu ada pertimbangan terhadap kemampuan dan keterbatasan ilmuan itu sendiri. Keterbatasan ekonomis dan waktu. Seorang ilmuan perlu realistis terhadap pertimbangan-pertimbangan di atas pada permulaan mengevaluasi hipotesis-hipotesis yang ada, dan (2) hanya memilih hipotesis yang membuka jalan lebih besar bagi pengetahuan. Bahkan setelah ada pertimbangan ekonomi, waktu, uang dan tenaga, maka mempertimbangkan memilih (3) hipotesis yang paling cepat dan mudah ditolak dari pada memilih hipotesis yang memakan waktu banyak waktu dan tenaga untuk diverivikasi lebih lanjut. Menurut Pierce, hipotesis yang baik adalah hipotesis yang bisa diuji dan sangat membantu bagi perkembangan ilmu itu. Hipotesis yang idealistik, yaitu bukun hanya bisa diuji, tetapi harus bisa dibuktikan benar dengan pelbagai macam alat pembuktian, sehingga mendorong perkembangan ilmu itu sendiri secara dinamis.

 

2. Metode Deduksi

Pengujian hipotesis dapat dimulai dengan memeriksa implikasi eksperiensial dari hipotesis. Setelah seorang ilmuan memilih hipotesis, langkah berikutnya adalah menyimpulkan prediksi-prediksi eksperiensial dari hipotesis itu, mencatat dan menyeleksi prediksi serta akhirnya mengamati apakah prediksi itu terjadi atau tidak. Proses menarik prediksi-prediksi dari suatu hipotesis kita sebut proses deduksi (Keraf dan Dua, 2001: 97). Dalam ilmu logika dikatakan bahwa penalaran deduktif adalah penalaran yang konklusinya tidak lebih luas dari premis atau dua proposisi sebelumnya Soekadijo 1985: 6).

Contoh: Semua benda yang dipanasi memuai,

ban mobil dalam perjalanan selalu panas,

Jadi: ban mobil sedang memuai.  

Proposisi sebelumnya harus lebih luas dari proposisi berikut dan semakin menyempit pada kesimpulan. Demikian juga dalam kajian ilmiah lainnya. Hipotesis general dibahas hingga menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih sempit, dan terfokus pada suatu hal yang lebih sempit dan tajam. Jadi metode deduksi adalah usaha untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi eksperiensial dari hipotesis eksplanatoris. Tugasnya adalah mengeksplikasikan hipotesis dengan cara menarik konsekuensi eksperiensial dari suatu hipotesis. Bagaimana menarik konsekuensi eksplanatoris dari suatu hipotesis? Jawabannya adalah bahwa setiap hipotesis eksplanatoris selalu mengandung prediksi generalitas. Artinya, predikat hipotesis mengklasifikasikan suatu peristiwa dalam suatu kelas yang lebih umum. Dalam proses memikirkan prediksi dari hipotesis, seorang ilmuan berkonsentrasi hanya pada makna generalitas dari hipotesis. Membahas mulai dari yang lebih umum dan makin lama makin sempit, atau makin lama makin jelas dan mudah dipahami. Dalam deduksi real, hipotesis itu sendiri berfungsi sebagai premis minor.

Contoh: Semua anggota kelas A memiliki ciri x, y, z.

Teguh adalah anggota kelas A

Jadi Teguh memiliki ciri x, y, z.

Di sini kepastian sebuah konklusi sangat ditentukan oleh kepastian dalam premis minor. Premis minor di sini merupakan hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Konklusi yang dirumuskan dalam silogisme ini diterima hanya karena bersifat logis, karena itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Proses deduktif dalam penelitian ilmiah harus berhenti pada prediksi dalam bentuk: jika – maka. Ini berarti juga hasil dari pengujian belum diketahui. Seorang ilmuan harus terus bertanya: apakah Teguh (dalam contoh di atas) memiliki ciri x, y, z?. Dalam ketidak tahuannya ia harus menanti jawaban dari alam, atau dari pengalamannya tentang alam. Jika hipotesis benar, prediksi dapat terjadi. Sebelum ada pemeriksaan yang serius mengenai hasil-hasil eksperimen, ia tetap harus mempertanyakan kebenaran dari hipotesisnya. Hasil-hasil eksperimen ini disebut prediksi. Jadi, fase deduktif berakhir dengan perumusan prediksi yang ditarik secara logis dari hipotesis eksplanatoris.

 

3. Metode Induksi

  Induksi adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau partikular tertentu untuk menarik kesimpulan umum tertentu. Dengan kata lain, dari sejumlah fenomena, fakta, atau data tertentu yang dirumuskan dalam proposisi-proposisi tunggal tertentu, ditarik kesimpulan yang dianggap sebagai benar dan berlaku umum. Cara kerjanya dimulai dengan penelitian untuk mengamati berbagai fenomena dan mengumpulkan berbagai macam fakta dan data yang kemudian dievaluasi untuk bisa melahirkan suatu kesimpulan umum tertentu. Kesimpulan ini umumnya merupakan generalisasi dari fakta dan data atau generalisasi dari proposisi tunggal yang ada yang memperlihatkan kesamaan, keterkaitan dan regularitas diantara fakta yang ada. Mari kita lihat contoh sederhana in:

Logam I dipanasi dan memuai

Logam 2 dipanasi dan memuai

Logam 3 dipanasi dan memuai

Logam 4 dipanasi dan memuai

Logam 5 dipanasi dan memuai

Kesimpulan umum: semua logam memuai kalau dipanasi

Perlu diketahui di sini bahwa walau kita dapat menarik suatu kesimpulan yang benar dan berlaku secara umum, entah itu suatu teori atau hukum, namun kebenaran itu harus diterima sebagai kebenaran sementara. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa walau kita memiliki fakta-fakta yang benar, lalu menarik suatu kesimpulan yang benar, namun ini tidak dengan sendirinya menjamin bahwa kesimpulan itu sungguh benar, atau benar secara mutlak. Mengapa? Karena ciri dasar dari induksi itu selalu tidak lengkap. Dalam kegiatan ilmiah kita hanya bekerja dengan pengamatan dan data yang sangat terbatas sifatnya, kita tidak pernah mencakup semua data yang relavan karena jumlahnya yang tak terbatas.

 

1. Induksi Gaya Bacon

Orang yang paling berjasa dalam dalam mengembangkan metode induksi adalah Francis Bacon (1561-1626). Inti dari induksi gaya Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bermula dari dan dikendalikan oleh pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandaian apapun. Ilmuwan harus mendekati alam atau obyek penelitiannya dengan menggunakan mata yang polos dan lugu, dan tidak dikuasai oleh anggapan dan praduga-praduga apap pun. Ada tiga pokok yang mau dikatakan Bacon di sini, (1) ketika mengadakan penelitian ilmiah, seorang ilmuan harus bebas dari segala pengandaian, spekulasi, teori, anggapan, dan dugaan yang mempengaruhi dia dalam mengamati obyek penelitian. Semua hal di atas harus disingkirkan sehingga memungkinkan kita menangkap obyek sebagaimana adanya. Tujuannya adalah untuk mencegah bias ilmuah, yakni hanya memperhatikan data dan fakta yang sekedar mendukung pemikiran atau teori yang ada. Kalau kita menangkap obyek apa adanya, maka kita akan menarik kesimpulan yang benar dan sampai pada kebenaran obyektif, yaitu kebenaran yang didukung oleh fakta dan data sebagaimana adanya. (2) Perlu juga memperhatikan fakta dan data yang saling bertentangan satu sama lain, karena data dan fakta yang menyimpang kadang memunculkan sesuatu yang baru. (3)Setelah pengumpulan fakta dan data, langkah berikutnya data dan fakta itu evaluasi, diklasifikasi, dirumuskan dan disimpulkan sesuai dengan kemampuan ayang dimiliki ilmuan tersebut. Menurut Bacon, baru pada tingkat inilah ilmuan dapat menggunakan berbagai macam teori dan konsep yang telah diketahuinya untuk mengolah data yang ada. Pada tingkat inilah akal budi dan pengamatan indrawi saling menunjang untuk memperoleh kesimpulan yang dapat diandalkan. Ada dua manfaat dari induksi gaya Bacon: (1) dengan metode ini ilmuan melihat kenyataan secara obyektif dan bukan kenyataan sesuai kaca mata ilmuan. Artinya kenyataan tidak dipaksakan untuk cocok sesuai apa yang dipikirkan ilmuan. Jadi ilmuan dapat sampai pada kenyataan obyektif lewat metode ini. (2) Lewat metode ini kegiatan ilmiah tidah jatuh nilainya menjadi idelogi. Pola dan cara kerja ideologi cenderung membenarkan ideologi yang ada, lewat rumusan-rumusan baku. Ilmuan justru sebaliknya harus membongkar rumusan-rumusan baku tersebut. Kegiatan ilmiah di sini bukan mencari data dan fakta untuk membenarkan diri, melainkan berusaha mengungkapkan obyek sebagaimana adanya. Ada dua keberatan menyangkut induksi gaya Bacon, pertama: bahwa kita tidak pernah mengamati, mendekati, meneliti, dan membaca alam dengan mata telanjang yang kosong sama sekali. Sekurangnya ada ide tertentu atau kita dipengaruhi oleh ide tertentu sebelum mengamati sesuatu. Kita sudah punya konsep tertentu bahwa yang kita amati adalah batu. Kita juga perlu asmusi teoritis dalam meneliti sesuatu, namun perlu diingat juga bahwa asumsi teoritis itu harus tetap terbuka untuk diubah berdasarkan fakta dan data. Asumsi teoritis di sini berfungsi sebagai alat bantu dan bukan tujuan. Bisa terjadi bahwa asumsi teoritis berubah sama sekali di tengah penelitian, bahkan apa yang kita anggap sebagai hukum atau teoti ilmiah bisa muncul tiba-tiba dan mendadak tanpa kita duga sebelumnya. Kedua, Fakta, data, fenomena tidak pernah menampilkan dirinya kepada kita sebagai fakta, data atau fenomena yang telanjang begitu saja. Fakta yang ada perlu ditafsirkan. Oleh karena itu, Bacon keliru kalau dia menyingkarkan begitu saja spekulasi ilmiah. Karena ketika kita menafsirkan data perlu ada spekulasi, imaginasi aktif dari ilmuan. Data dan fakta yang ada tidak memiliki nilai ilmiah sama sekali. Fakta itu harus ditangkap dan punya makna dan arti tertentu bagi ilmuan.

 

2. Langkah metode Induksi

Metode induksi mengenal dua macam atau model induksi, yakni metode induksi murni dan metode induksi yang sudah dimodifikasi.

 

a. Langkah Metode Induksi Murni

Ada empat langkah penting yang perlu diketahui dalam metode induksi murni antara lain, (1) Identifikasi masalah: pada tahap ini ada situasi yang disebut sabagai situasi masalah. Di sini ada berbagai macam gejala yang memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang “aneh” atau yang menarik. Ada kejadian atau peristiwa tertentu yang belum bisa dijelaskan secara masuk akal. Peristiwa atau gejala tersebut tidak diketahui sebabnya. Prinsipnya: dalam tahap pertama ini kita menetapkan dan merumuskan masalah yang ingin dipecahkan. (2) langkah kedua yang perlu diperhatikan adalah pengamatan dan pengumpulan data. Tujuannya adalah untuk membuat pengamatan secara lebih saksama atas gejalah-gejalah yang menimbulkan masalah diatas. Berdasarkan pengamatan tersebut lalu dikumpulkan berbagai fakta dan dara yang diduga dapat menjelaskan masalah tersebut di atas. Fakta dan data tersebut lalu diklasifikasi, dikaji, dan dianalisis untuk mendapatkan suatu gembaran yangjelas yang dapat memberi penjelasan tentatif tentang sebab dari masalah di atas. (3) Tahap ketiga adalah perumusan hipotesis. Berdasarkan fakta dan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tadi, diajukanlah sebuah hipotesis yang berfungsi untuk menjelaskan sebab dari masalah tersebut di atas. Sebab tersebut hanya merupakan jawaban sementara berdasarkan fakta dan data yang telah dikumpulkan. Hipotesis ini didasarkan pada dugaan mengenai hubungan yang terjalin antara antara berbagai fenomena, antara berbagai fakta dan data, khususnya menyangkut masalah dan gejala yang menjadi masalah tersebut. (4) langkah keempat adalah tahap pengujian hipotesis lebih lanjut untuk membuktikan apakah sebab yang menjadi dugaan dalam hipotesis tadi memang benar. Caranya adalah dengan membuat prediksi yang memperlihatkan adanya kaitan yang tak terbantahkan dan terbukti benar antara sebab yang diduga dalam hipotesis dan gejala yang menjadi masalah tersebut di atas. Prediksi itu mulai diujicobakan. Kalau mendukung hipotesis, dalam arti prediksi tadi terjadi, maka hipotesis tadi diterima sebagai banar. Dan bila dibuktikan terus menerus sebagai benar maka akan diterima sebagai hukum ilmiah. Kalau tidak lulu dalam pengujian selanjutnya maka akan gugur dengan sendirinya. Jika demikian maka perlu diuji hipotesis baru, entah bisa dengan mengumpulkan data dan fakta baru, atau dengan data yang ada tapi menafsirnya secara berbeda.

 

b. Metode Induksi yang telah dimodifikasi.

Ada empat langkah yang perlu diperhatikan dalam medote induksi modifikasi ini. Keempat langkah tersebut merupakan jalan keluar atas keberatan induksi gaya Bacon. (1) tahap pertama sama dengan induksi murni, yaitu adanya situasi masalah. Ada masalah yang sulit dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang ada. Karena itu ada dorongan untuk melakukan penelitian guna menjawab dan menjelaskannya. (2) tahap kedua adalah pengajuan hipotesis. Ada perbedaan dalam tahap ini antara induksi murni dan induksi modifikasi. Dalam induksi murni hipotesis dibentuk berdasarkan fakta dan data yang diperoleh melalui penelitian, dalam metode modifikasi hipotesis dibentuk hanya berdasarkan akal sehat, dugaan murni, spekulasi, imajinasi, dan asumsi tertentu berdasarkan pengetahuan tertentu yang telah dimilki. Dengan kata lain, dalam induksi murni, masalah yang ingin dipecahkan dijawab dengan  berpaling pada fakta dan data yang diperoleh dari lapangan. Sedang dalam induksi modifikasi, masalah dijawab dengan berpaling pada hipotese tertentu yang langsung diajukan berdasarkan pengetahuan tentatif tertentu. Dalam penelitian modern sekarang langkah ini mencakup studi kepustakaan. Tujuannya adalah sebagai pengetahuan awal yang bersifat umum sekitar masalah yang dihadapi. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh mana masalah di atas telah dijawab  oleh ilmuan tertentu, dan membantu kita untuk merumurskan masalah tersebut secara lebih akurat dan jelas. (3) tahap ketiga adalah penelitian lapangan. Di sini kita mengamati dan mengumpulkan fakta dan data sebanyak mungkin dengan dibimbing oleh hipotesis tadi. Langkah ini sedikit berbeda dengan langkah induksi murni, di mana hipotesis baru dibentuk setelah ada penelitian lapangan. Dalam induksi modifikasi penelitian lapangan dalam tahap ini lebih dimaksudkan untuk menjawab masalah tadi berdasarkan hipotesis yang telah diajukan. Ada bahaya besar seperti kritik Bacon dan Popper bahwa penelitian lapangan hanya sekedar untuk meneguhkan hipotesis atau teori yang sudah ada. Untuk mengatasi kelemahan itu maka hipotesis awal haruls diperlakukan sekadar  alat bantu, atau titik pangkal untuk mengarahkan penelitian dan eksplorasi lapangan. Sebagai alat bantu kita harus bersedia untuk mengubah atau menggantu dengan hipotesis baru sama sekali sesuai dengan fakta dan data yang ditemukan dalam lapangan. (4) langkah keempat adalah pengujian Hipotesis. Di sini hipotesis awal atau yang telah diganti diuji berdasarkan fakta dan data yang kita temukan dan kumpulkan. Kalau hipotesis itu didukung oleh fakta dan data yang ada maka akan diterima sebagai yang benar. Kalau tidak, maka dianggap gugur dan perlu diajukan hipotesis baru sama sekali. Contoh hipotesis berikut: Kenakalan remaja yang ada sekarang disebabkan oleh peran ganda ibu. Hipotesis ini benar kalau fakta dan data yang dikumpulkan secara akurat itu menunjukkan bahwa sebagian besar anak nakal berasal dari keluarga yang memiliki ibu peran ganda (sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah atau wanita karier). Latar belakang hipotesis ini bahwa orang tua yang keduanya bekerja akan kurang memperhatikan remajanya yang sedang berkembang dan membutuhkan pendampingan. 

Kepastian (Filsafat)

KEPASTIAN

Kita memulai pembahasan kita dengan pertanyaan: apa itu kepastian? Apakah ada kepastian dalam ilmu pengetahuan? Untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan di atas Verhaar dan Haryono (1989: 111) membedakan kepastian dan evidensi dalam kesatuan subyek-obyek. Menurut mereka, evidensi terletak pada obyek, sedangkan kepastian terletak pada subyek. Evidensi merupakan terang atau daya obyek yang menampakkan diri sebagai benar, sedangkan kepastian adalah keyakinan dalam diri subyek bahwa yang dikenalnya adalah betul-betul obyek yang ingin diketahuinya.  Selanjutnya Keraf dan Dua (2001: 77) menjelaskan dua pandangan atau teori yang akan menjawabi pertanyaan di atas, yaitu pandangan kaum rasionalis yang menekankan kebenaran rasioanal-logis, dan pandangan kaum empiris yang menekankan kebenaran empiris. Pertama: menurut kaum rasionalis kepastian berkaitan dengan subyek. Mereka sangat yakin bahwa kebenaran sebagai keteguhan bersifat pasti, yaitu pasti benar. Karena kesimpulan yang mengandung kebenaran sebenarnya hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan, teori atau hukum ilmiah lainnya. Karena itu sejauh pernyataan sebelumnya benar (proposisi-proposisi) kesimpulan tersebut dengan sendirinya pasti benar. Lalu, apakah ada kebenaran sementara dalam kebenaran rasional? Kaum rasional selalu menganggap tidak ada kepastian sementara, yang ada hanyalah kepastian, suatu keteguhan. Tapi bagaimana pun juga kesimpulan yang dianggap benar tetap bergantung pada kebenaran pernyataan, teori sebelumnya. Bisa saja ada sebagian teori yang salah, atau ada kemungkinan salah di dalamnya. Kedua, Kaum empiris tidak pernah bermaksud untuk menghasilkan suatu pengetahuan yang pasti benar tentang alam. Menurut kaum empirisis ilmu pengetahaun tidak sama dengan iman dalam agam. Iman dalam agama mengkleim diri sebagai suatu yang benar tidak diganggu gugat, sedangkan ilmu pengetahuan mengklaim diri lebih moderat. Bahwa kita tidak dapat memberikan yang psti tentang obyek penelitiannya, ilmu pengetahuan tidak pernah memberikan formulasi yang final dan absolut tentang seluruh universum. Pengakuan ini dalam filsafat ilmu pengetahuan disebut falibilisme: bersikap kritis terhadap apa yang telah dicapai. Jadi, boleh kita katakan bahwa kepastian empiris adalah kepastian sementara, kepastian yang masih terus diselidiki, masih terus dikritisi. Jadi menurut kaum empirisis bahwa cita-cita dasar ilmu pengetahuan adalah berusaha menemukan kebenaran dalam penemuan ilmiahnya. Tapi sikap terbuka dan terus mengeritik penemuan ini untuk terus diteliti merupakan suatu sikap ilmiah yang perlu dipupuk demi penemuan kebenaran yang pasti. Kita tidak mungkin sampai pada suatu kebenaran yang sepasti-pastinya, tapi ada perjuangan untuk mencapai kebenaran itu. 

Kebenaran (Filsafat)

KEBENARAN

Dalam bagian kedua ini kita akan berbicara mengenai kebenaran. Salah satu syarat penting dari suatu pengetahuan adalah kebenaran yang dikandungnya.

1. Teori kebenaran

Banyak orang mempertanyakan hakekat kebenaran dari setiap pengetahuan, apa itu kebenaran sesungguhnya. Ada berbagai macam teori tentang kebenaran. Dalam sejarah filsafat paling kurang ada empat teori besar yang berbicara mengenai kebenaran (Keraf cs. 2001: 65). Keempat teori itu antara lain: teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth), (b) teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth), (c) teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth), (d)teori permormatif tentang kebenaran (the performative theory of truth).

a. Teori kebenaran sebagai persesuaian

Teori ini muncul sudah sejak masa purba dalam pandangan Herakleitos, diteruskan oleh Aristoteles dan muncul dalam bentuk yang agak sedang dalam pandangan Thomas Aquinas, yang selanjutnya didukung oleh para ilmuan dan filsuf Inggris hingga masa pencerahan budi. Aristoteles melawan pemikiran Plato yang menganggap hal yang ada sebagai yang tidak ada dan hal yang tidak ada sebagai yang ada. Sebaliknya mengatakan yang benar adalah hal yang ada sebagai yang ada dan yang tidak ada sebagai yang tidak ada. Dengan pernyataan ini sebenarnya Aristoteles telah meletakkan dasar bagi teori kebenaran persesuaian yang mengatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu dapat dibuktikan dalam kenyataan, atau kalau pernyataan itu ada dalam realitas hidup harian manusia atau ada dalam dunia nyata. Keberana adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar atau salah ditentukan oleh kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau juga bisa kita katakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara subyek dan obyek, keseseuaian antara apa yang dikatakan subyek dan realitas yang ada pada obyek. Model kebenaran di atas dapat juga disebut kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, preposisi dan teori ditentukan oleh fakta.  Contoh:  “Api itu panas” adalah pernyataan yang benar karena kenyataan membuktikan bahwa api itu panas. Demonstrasi mahasiswa yang berlangsung terus akhir-akhir ini didalangi pihak ketiga. Pernyataan ini benar kalau kenyataannya memang demikian. Jadi, apa yang diketahui subyek sebagai yang benar harus sesuai dan cocok dengan obyek. Inti teori ini bahwa suatu konsep, ide atau pun teori yang benar, harus mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Dengan demikian, mengungkapkan realitas adalah pokok bagi kegiatan ilmiah. Teori ini mengungkapkan beberapa hal yang perlu kita angkat (Sony Keraf Cs. 2001: 67), (1) teori ini nampak sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Karena itu pula sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris guna mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Konsekuensinya bahwa teori  ini juga lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori yaitu pengetahuan yang hanya terungkap lewat pengalaman dan percobaan empiris. (2) teori ini juga cenderung menegaskan dualisme antara subyek dan obyek, antara sipengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak dualistis ini teori ini lalu menekankan pentingnya obyek bagi kebenaran pengetahuan manusia. Ekstrimnya teori ini berpendapat, yang paling berperan dalam menentukan kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek, sedang subyek dalam hal ini akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan obyek. (3) teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Dan bukti ini bukanlah apriori, konstruksi, dan hasil imajinasi akal budi, tapi diberikan dari obyek yang ditangkap lewat pancaindra manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya kalau apa yang dinyatakan dalam proposisi sesuai atau ditunjang oleh kenyataan.

Persoalan yang muncul bahwa semua pernyataan atau proposisi yang tidak terbukti dengan fakta atau atayu yang tidak ditangkap dengan pancaindra tidak diterima sebagai kebenaran. Contohnya, adanya Tuhan, tidak dianggap sebagai suatu kebenaran, karena tidak ada bukti. Karena tidak ada bukti maka tidak dianggap sebagai suatu pengetahuan. Contoh lain, Indonesia adalah negara demokrasi, tidak dianggap sebagai kebenaran karena antara proposisi ini tidak diterima sebagai kebenaran karena tidak adanya fakta dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dua contoh di atas hanya merupakan suatu keyakinan atau idiologi, karena suatu keyakinan tidak selamanya harus dibuktikan dalam kenyataan.  

b. Teori Kebenaran sebagai Keteguhan

Pandangan mengenai teori ini telah ada sejak zaman Yunani kuno, dalam pemikiran Pythagoras dan Parmenides, lalu   dirumuskan oleh kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Hegel dan kelompok rasionalis lainnya. Menurut mereka, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi, pernyataan atau hipotese dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Jadi suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi dan hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi dan hipotesis lainnya, khususnya apabilah hipotesis itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Kaum rasionali menganggap bahwa tidak mungkin pengetahuan itu keluar dari pikiran manusia untuk berhadapan langsung dengan kenyatan untuk mengetahui apakah benar ataua tidak pengetahuan itu. Matematika dan ilmu pasti lainnya sangat menekankan teori kebenaran sebagai suatu keteguhan. Jadi, inti dari kebenaran menurut kaum rasionalis adalah bahwa proposisi yang satu berkaitan dan meneguhkan proposisi yang lain atau tidak. Contoh: Semua manusia pasti mati (proposisi I), Sokrates manusia (proposisi II), kalau demikian maka Sokrates pasti mati (Proposisi III). Kebenaran terletak pada proposisi III, dan merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu proposisi I: semua manusia pasti mati, dan proposisi II: Sokrates manusia. Di sini sesungguhnya kebenaran  sesungguh sudah terkandung dalam kebenaran I, karena itu kebenaran III tidak ditentukan oleh kenyataan Sokrates mati atau tidak. Contoh lain, “Lilin akan mencair kalau dimasukan ke dalam air yang mendidih”.  Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana anda tahu? Kaum empiris akan menjawab: coba saja, dan buktikan apakah benar atau tidak. Kaum rasionalis akan menjawab, mudah saja, tidak perlu pembuktian empiris. Mari kita uraikan. Semua bahan parafin mencair pada suhu enam puluh derajat celsius (I), Lilin itu bahan Parafin (II), lilin pasti mencair kalau dimasukan dalam air yang mendidi (III).

Dari uraian di atas jelas bahwa (1) teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan cara kerja duduktif. Dalam hal ini pengetahuan yang benar hanya dideksi atau diturunkan sebagai konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Jadi kebenaran suatu pengetahuan sudah diandaikan secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada. Dengan demikian maka (2) teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti validasinya bahwa apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara sahih dari preposisi lain yang telah diterima sebagai benar.

Ada kesulitan  dan keberatan terhadap teori ini. Karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada pernyataan lain, maka timbul pertanyaan: bagaimana dengan pernyataan lain itu? Atau bagaimana kebenaran proposisi I dn proposisi II?. Kebenarannya memang ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan itu sesuai dengan pernyataan lainnya? Memang tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan teori ini perlu digabung dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita memang tidak perlu mencek kebenaran pernyataan sesuai realitas sebaliknya mengandalkan kebenaran apriori, tapi dalam situasi lainnya kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.

Mari kita lihat perbedaan kebenaran empiris dengan kebenaran logis di bawah ini:

 

Kebenaran Empiris

Kebenaran Logis

Mementingkan obyek

Menghargai cara kerja induktif dan aposteriori

Lebih mengutamakan pengamatan indra

 

Mementingkan subyek

Menghargai cara kerja deduktif dan apriori

Lebih mengutamakan penalaran logis dari akal budi

c. Teori Pragmatisme tentang Kebenaran

Teori ini dikemukakan oleh para filsuf pragmatis Amerika seperti Charles Peirce dan William James. Menurut mereka kebenaran tidak dapat dilepaskan dari kegunaan. Benar sama dengan berguna. Suatu Ide atau konsep dikatakan benar kalau ide, konsep, pernyataan atau hipotesis itu berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan sesorang melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Di sini berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide itu benar atau tidak. Contoh, kemacetan lalu lintas di jakarta disebabkan karena banyaknya kenderaan. Sebagai jalan keluar dilarang untuk mengendrai mobil sendirian di jalan-jalan terntentu. Hipotesis ini perlu diuji kebenarananya bahwa apakah berguna bagi masyarakat atau tidak larangan macam ini. Ternyata kemacetan tak dapat diatasi dengan cara itu, berarti tidak benar dan berguna hipostesis di atas. Peirce berpendapat bahwa ide yang jelas dan benar mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Artinya kalau ide itu benar maka bila diterapkan akan berguna dan berhasil memecahkan suatu persoalan dan menentukan perilaku manusia. Sedangkan William James mengemukakan bahwa ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan kebutuhan manusia. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak berguna atau tidak bisa berfungsi membantu manusia memenuhi kebutuhannya. Jadi menurut William James Ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna, ide yang berhasil membantu manusia untuk bertindak. Di sini kebenaran sama dengan berguna. Kebenaran yang ditekankan kaum pragmatis ini adalah kebenaran yang menyangkut “know how” (pengetahuan bagaimana). Suatu ide yang benar adalah suatu ide yang memungkinkan saya memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Menurut John Dewey, bila kita ingin melihat kebenaran suatu ide, atau teori maka kita perlu melihat bagaimana ide atau teori itu berlaku atau berfungsi dalam penggunaannya. Bagaimana ide atau teori tersebut membantu kita memecahkan berbagai persoalan hidup kita. Yang penting di sini bukan benar tidaknya suatu ide secara abstrak, melainkan bagaimana kita dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis yang muncul dalam kehidupan kita dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Dewey dan kaum pragmatis lainnya menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmuah. Dewey sendiri mengalami bahwa penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Bahkan ia menggambarkannya dengan contoh seorang yang tersesat di sebuah hutan, kemudian menemukan sebuah jalan kecil, untuk keluar dari hutan itu dan menemukan pemukiman manusia. Kebenaran pragmatis mencakup pula kebenaran empiris, hanya saja kebenaran pragmatis bersifat lebih radikal, bukan sekedar sesuai realitas tetapi realitas dan kenyataan yang benar dan berguna bagi kepentingan manusia. Selanjutnya kebenaran empiris juga menyangkut suatu sifat yang baik. Suatu ide atau teori itu benar kalau baik memiliki nilai moral yang baik. Kebenaran merupakan sebuah nilai moral karena dengan kebenaran manusia sampai pada sesuatu. William James menolak kebenaran rasionalis yang hanya memberikan definisi-fefinisi yang abstrak tanpa punya relavansi praktis bagi kehidupan manusia.

 d. Teori kebenaran Performatif

Tokoh dan penganut aliran kebenaran ini adalah Frank Ramsy, John Austin, dan Peter Strawson. Para filsuf ini mau menantang teori klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Anggap bahwa proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang benar dan sebaliknya, yang mau dilawan oleh para filsuf ini. Menurut mereka suatu teori dianggap benar kalau ia menciptakan realitas. Jadi, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang menjelaskan realitas tetapi pernyataan yang menciptakan realitas, sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam pernyataan atau ide itu. Contoh, dengan ini saya mengangkat kamu menjadi kepala desa. Pernyataan ini menciptakan suatu realitas baru, realitas menjadi kepala desa. Teori ini bisa dipakai secara positip maupun negatip. Positipnya bahwa dengan pernyataan tertentu orang berusaha  untuk mewujudkan apa yang dinyatakannya. Contoh: seorang suami: saya bersumpah akan menjadi seorang suami yang baik; saya ingin menjadi mahasiswa yang baik; dan seterusnya. Negatipnya, orang terlena dengan pernyataan dan ungkapan lalu lupa bertindak. Contoh: saya berdoa agar kamu berhasil; saya bersumpah akan setia. Ada banyak sumpah yang dilakukan banyak pejabat, tetapi kenyataan tidak sesuai dengan sumpah tersebut.

2. Sifat dasar kebenaran Ilmiah

Telah dikatakan sebelumnya bahwa kita membutuhkan baik kebenaran logis maupun kebenaran empiris dan bahkan kebenaran logis dan empiris yang dapat diterapkan dan berguna bagi kehidupan manusia. Sehingga dengan demikian dapat kita katakan bahwa kebenaran ilmiah paling kurang memiliki tiga sifat dasar yaitu, struktur rasional-ligis, isi empiris, dan dapat diterapkan atau pragmatis (Sony Keraf Cs. 2001: 75). (1) Struktur kebenaran yang rasional-logis yaitu, kebenaran ilmiah yang selalu dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi dan premis-premis yang benar pula. Proposisi yang menjadi kesimpulan dapat diperoleh melalu jalan deduksi atau induksi. Kesimpulan benar dalam deduksi berarti proposisi khusus atau lebih sempit tak terbantahkan yang diperoleh dari proposisi umum yang benar pula. Kesimpulan benar dalam induksi berarti suatu proses generalisasi yang mengungkapkan hubungan tertentu diantara berbagai fakta. Kesimpulan merupakan proposisi umum yang diperoleh dari premis-premis khusus dalam fakta. Kebenaran ilmiah bersifat rasional dapat dipahami oleh semua orang yang menggunakan akal budinya secara baik. Dan kebenaran ilmiah akhirnya diakui sebagai kebenaran yang universal. (2) Kebenaran ilmiah empiris adalah kebenaran ilmiah yang diuji dengan kenyataan yang ada. Para penganut aliran ini berpendapat bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dalam kenyataan. Karena kebenaran berarti kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Di sini ada spekulasi dalam ilmu pengetahuan, tatapi tetap diuji dan dicek dalam kenyataan. (3) kebenaran pragmatis menggabungkan kedua kebenaran di atas. Dalam arti ini bahwa kalau suatu pernyataan dianggap benar secara rasional dan empiris, pernyataan tersebut juga harus berguna bagi kehidupan masyarakat, yaitu berguna untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi manusia. 

Sumber Pengetahuan (filsafat)

SUMBER PENGETAHUAN,
KEBENARAN DAN KEPASTIANNYA

 

I. SUMBER PENGETAHUAN

Pada umumnya para filsuf barat membedakan dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diperoleh lewat daya indrawi dan pengetahuan yang diperoleh budi atau rasio. Pembagian ini tidak berarti keduanya berbeda secara seratus persen atau dapat dipisahkan secara total. Keduanya saling berhubungan, menunggal dan berjenjang. Selain itu para filsuf Timur memiliki tradisi pengetahuan sendiri yang perlu juga kita tambahkan di sini yakni pengetahuan lewat intuisi.

 

1. Pengetahuan Rasionalisme atau pengetahuan intelektif

Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya yakno pengetahuan yang tidak mungkin salah ( Keraf, 2001 : 43). Menurut pandangan ini bahwa sumber satu-satunya pengetahuan adalah akal budi. Mereka menolak pandangan yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh lewat pengalaman indrawi.

Pengetahuan Rasionlisme disebut juga pengetahuan intelektif (Watloly, 2001: 144). Istilah intelektif diambil dari kata intelektual, yang berasal dari bahasa Latin: intelektus berarti “dalam pikiran” atau dalam akal. Dalam konteks ini pengetahuan intelektif berarti pengetahuan yang diperoleh dalam proses pikiran atau akal yang mendalam. Pengetahuan yang dicapai lewat rasio, atau intelegensi yang merupakan khas kemampuan manusia dibandingkan dengan makluk hidup lainnya. Selain istilah di atas, ada juga istilah inteligensi yang diambil dari kata latin intellectus dan kata kerja intellegere. Kata intellegere terdiri dari kata intus artinya dalam pikiran atau akal, dan kata legere yang berarti membaca atau menangkap. Dengan demikian kata intellegere berarti membaca dalam pikiran atau akal segala hal dan menangkap artinya yang dalam. Menjadi intelegen berarti mampu menangkap apa yang esensial dari suatu gejala, melihat apa yang hakiki dari kegiatan ini atau itu. Berikut ini kita akan melihat beberapa pandangan mengenai aliran rasionalisme.

 

a. Plato

Plato adalah seorang filsuf dan pengarang Yunani terkenal.  Ia lahir pada tahun 427 S.M. dan meninggal pada tahun 347 S.M.  Ia mendapat pendidikan biasa sebagai seorang remaja Atena.  Ia berasal dari keluarga baik-baik dibidang musik, sastra dan olahraga senam.  Ketika kurang lebih berusia 20 tahun, ia menjadi murid Socrates dan tinggal pada gurunya sampai ia berusia 28 tahun.  Setelah kematian Sokrates, Plato meninggalkan Atena untuk belajar bersama-sama dengan Euclid, dan bepergian secara ekstensif ke Mesir, Italia, dan Sisilia.  Segera setelah ia pulang, ia mendirikan akademinya yang termasyur di kebunnya sendiri di Atena, dan mengajar di situ selama 40 tahun dengan metode diskusi, dan percakapan.  Beberapa orang muridnya menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan terkenal dengan caranya sendiri-sendiri, termasuk Aristoteles, Demosthenes dan Lycurgus.  Karya-karya plato yang diterbitkan diantaranya Dialogues, The Republic, Lows, Phaedris, Symposium, Gorgias, dan Phaedo.  

Plato dianggap sebagai rasionalis pertama, karena rasionalisme muncul pertama kali dalam pemikiran-pemikiran Plato. Plato mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan dan tak berubah adalah episteme yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Yang ditangkap dan diserap pancaindra hanyalah tiruan ide-ide abadi yang cacat, dan karena yang diserap pancaindra itu tiruan, tidak nyata dan tidak sempurna. Dunia fana merupakan bayangan dari ide yang abadi, dan bayangan itu banyak dan bermacam-macam. Bila manusia melihat bayangan itu, ia ingat akan ide abadi. Jadi, pengetahuan menurut Plato adalah hasil ingatan yang melekat erat pada manusia. Di sini Plato mendefinisikan pengetahuan sebagai pengenalan kembali akan hal-hal yang sudah diketahui dalam ide abadi, juga sebagai kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia. Jadi, untuk mengetahui sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu dan untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita cukup mengandalkan akal budi yang telah mengenal ide abadi. Selanjutnya plato ( Lavine, 1982: 36) mengatakan bahwa obyek dari pemahaman rasional atau intelek adalah adalah konsep-konsep kebenaran yang berlawanan dengan obyek kepercayaan. Ia juga membedakan antara obyek persepsi (pengindra) dan obyek pemahaman intelek yakni bahwa obyek pamahaman perseptif adalah hal-hal konkrit, particular, yang masih berubah, hal-hal yang selalu dalam proses menjadi. Sebaliknya obyek pemahaman intelek adalah hal-hal abstrak, konsep-konsep umum dan universal, hal-hal yang tak berubah, dan yang abadi.

 

b. Rene Descartes

Descartes adalah seorang ahli matematika, ahli ilmu faal, Filsuf berkebangsaan Perancis yang hidup dari tahun 1596 hingga 1650.   Descartes meneruskan sikap kaum skeptis dalam pandangannya mengenai pemahaman rasional. Ia setuju dan menganggap serius anggapan kaum skeptis bahwa kita perlu meragukan semua keyakinan kita, dan ia menganggap bahwa pandangan kaum skeptis adalah pandangan yang tepat. Sasaran utama pandangan Descartes adalah bagaimana supaya kita bisa sampai pada pengetahuan yang benar dan pasti. Menerut dia bahwa kita perlu meragukan segala sesuatu sebelum sampai pada ide yang jelas dan pasti. Kita perlu meragukan untuk sementara apa yang belum dilihat dengan terang akal budi sebagai sesuatu yang benar dan pasti. Kita perlu meragukan segala sesuatu sampai kita menemukan ide yang jelas dan tepat. Descartes menghendaki agar kita tetap meragukan untuk sementara waktu apa saja yang tidak bisa dilihat dengan terang akal budi sebagai yang pasti benar dan tidak diragukan lagi. Keraguan ini disebut sebagai keraguan metodis, yang berfungsi sebagai alat untuk menyingkirkan semua prasangka, tebakan dan dugaan yang menipu sehingga kita tidak sampai pada pengetahuan yang benar-benar punya dasar yang kuat. Selanjutnya Descartes mengatakan bahwa hanya akal budi yang membuktikan bahwa ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui. Descartes meragukan segala kebenaran yang diperoleh lewat pancaindra. Ia menganggap bahwa salah satu hal yang menipu dan mengahalangi kita untuk sampai pada pengetahuan sejati adalah pengalaman indrawi kita. Contoh: kita melihat botol yang berisi air putih sebagai botol kosong, benda-benda luar angkasa sebagai suatu benda kecil, bahkan jika kita sedang menulis buku pun diragukan, jangan-jangan itu sebagai mimpi belaka. Jangan-jangan ada setan jenius yang menipunya bahwa ada bumi, ada langit, ada obyek-obyek di luar dirinya, ada bentuk ada tempat dan seterusnya. Menurut Descartes semakin jelas suatu ide dalam akal budi, maka semakin ide tersebut sesuai dengan realitas. Bukan sebaliknya ide itu benar bila semakin sesuai dengan realitas. Descartes terkesan dengan metode deduksi akal budi dari matematika dan ilmu ukur yang mencapai kebenaran tak terbantahkan, dan tak bisa diragukan. Karena itu ia berpendapat bahwa untuk pada pengetahuan yang benar tak terbantahkan dan tak diragukan maka perlu mengandalkan kemampuan akal budi. Kita perlu meragukan pengetahaun yang diperoleh dengan pancaindra hanya hanya pengetahuan lewat akal budi yang bisa memberikan kita kepastian. Metode Descartes untuk mencapai kebenaran adalah meragukan segala pengetahuan lewat indra, sambil menyingkirkan yang diragukan kita terus mencari hingga menemukan pengetahuan yang benar dan tak bisa diragukan lagi. Keraguan itu penting supaya kita bisa sampai pada suatu pengetahuan yang benar, termasuk pengalaman kita masing-masing. Semua itu kita lakukan dengan akal budi, dengan berpikir. Diktum Descartes yang tekenal adalah Cogito Ergo sum, saya berpikir maka saya ada.  Berpikir merupakan kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan yang sekaligus menjadi landasan  pemikiran dan pengetahuan manusia. Di sini Descartes menegaskan bahwa berpikir, akal budi adalah unsur pokok dari manusia sekaligus bagi pengetahuannya. Karena berpikir, akal budi adalah hal yang paling pokok bagi manusia, maka apa yang lolos dari seleksi akal budi manusia pasti benar tak terbantahkan.

 

c. kesimpulan

Ada beberapa hal penting perlu kita tentang rasionalisme. Pertama, kaum rasionalis lebih mengandalkan geometri atau ilmu ukur dan matematika yang memiliki aksioma-aksioma umum lepas dari pengalaman pancaindra kita. Kita hanya dapat sampai pada pengetahuan yang benar tak terbantahkan dengan akal budi. Kedua, konsekuensinya kaum rasionalis mengabaikan sampai pada taraf meremehkan peran pengalaman dan pengamatan pancaindra bagi pengetahuan. Pengalaman Descartes bahwa indra bisa menipu kita seperti benda angkasa luar yang dianggap sebagai benda kecil, merupakan salah satu contoh di mana indra tak bisa diandalkan sebagai sumber pengetahuan yang benar. Ketiga, metode deduktif merupakan bentuk yang paling cocok bagi kaum rasionalis akibat dari mengandalkan ilmu ukur dan matematika sebagai dasar kebenaran semua pengetahuan. Akibat lebih lanjut bahwa pengetahuan manusia itu bersifat partikular dan umum

 

2. Pengetahuan Indrawi atau pengetahuan eksperimental

a. Hakekat pengetahuan Indrawi

Alexisi Carrel, menyetujui kebenaran bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh lewat kemampuan indranya, namun selalu bersifat rasional. Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makluk biotik, namun tidak semua makluk biotik karena pohon tidak memilikinya. Daya indra menghubungkan manusia dengan hal-hal konkrit-material. Pengetahuan indra tersebut bersifat parsial, karena adanya perbedaan antar indra yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan indrawi itu berbeda-beda menurut perbedaan indra dan keterbatasan organ-organ indra tersebut. Contoh. Orang yang telinganya terganggu, matanya minus, penciuman yang kurang tajam dll. Pengetahuan indrawi hanya terletak pada permukaan kenyataan karena terbatas pada hal-hal indrawi scara individual.

John Locke (1632-1704) adalah seorang filsuf Inggris yang sangat terkenal dalam filsafat politik. Yang ingin kita lihat di sini adalah pendapatnya tentang filsafat pengetahuan. Yang menarik untuk diketahui dalam filsafat pengetahuan John Locke (Magnis-Suseno, 1992: 73) yaitu anggapan bahwa seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman. Locke menolak kaum rasionalis yang mengatakan bahwa manusia lahir dengan ide-ide bawaan, dengan prinsip-prinsip pertama yang mutlak  dan umum. Menurut dia manusia dilahirkan ke bumi seperti sebuah kertas putih kosong, tanpa ada ide atau konsep apapun. Jiwa manusia seperti tabuka rasa. Locke mengatakan bahwa semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia dan pengelaman itu diperoleh dari pancaindra atau refleksi atas apa yang diberikan pancaindra. Ia menambahkan bahwa akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi dari pancaindra, akal budi kita mirip dengan kerta putih yang belum ditulis apa-apa. Selanjutnya Locke membedakan antara dua macam ide yaitu, ide-ide sederhana dan ide-ide kompleks. Ide sederhana adalah ide yang ditangkap melalui pancaindra ( penciuman, penglihatan, rabaan, dll). Pada waktu indra kita menangkap sesuatu obyek secara langsung dan spontan, muncullah ide-ide sederhana tentang obyek tersebut, seperti manis, pahit, besar, kecil, kasar, halus. Akal budi kita tidak menerima secara pasif ide-ide itu dari luar. Ia mulai mengolah ide-ide itu dengan memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang diberikan pancaindra, sehingga dengan demikian lahirlah suatu reflseksi. Refleksi-refleksi inilah yang memungkinkan adanya ide-ide kompleks. Locke juga membedakan antara sifat atau kualitas primer dan sifat atau kualitas sekunder dari obyek di sekitar kita. Kualitas primer itu menyangkut berat, gerak, luas dan jumlah. Sedangkan kualitas sekunder menyangkut rasa, warna, panas, dingin dan semacamnya. Kualitas sekunder ini hanya mereproduksi sifat luar dari obyek saja. Karena itu kualitas sekunder tidak bisa sampai pada pengetahuan yang pasti, sebaliknya kualitas primer yang ditangkap pancaindra dapat membawa kita pada pengetahuan yang pasti, tak bisa diragukan dan bersifat universal. Kualitas sekunder itu menghasilkan pendapat yang berbeda-beda, tetapi yang berhubungan dengan kualitas primer, semua orang akan memberikan pendapat yang sama. Locke menambahkan bahwa ide muncul karena akal budi melalui pencaindra menangkap suatu obyek, sebaliknya kualitas muncul karena obyek memproduksi dalam diri kita ide tertentu.

David Hume (1711-1776) juga salah satu tokoh empirisme yang mengatakan bahwa semua materi pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, namun ada sedikit perbedaan antara Hume dan Locke. Menurut Hume, pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal, masa depar, dan sebab, dan bahwa kepastian-kepastian ini merupakanb bagian dari nalauri alamaiah manusia, yang tidak dapat dihasilkan atau dicegah oleh akal budi manusia. Jadi melalui naluriah alamiah manusia, manusia dapat sampai pada kepastian-kepastian yang mememungkinkan pengetahuan manusia. Hume membedakan dua proses mental yaitu, pertama: kesan (impresi) yang adalah pencerapan pancaindra yang lebih hidup dan langsung sifatnya. Yang kedua adalah ide yang kurang hidup yang kurang langsung sifatnya. Dar impresi muncul ide-ide sederhana berkaitan dengan obyek yang kita tangkap secara langsung dengan pancaindra. Lalu dari ide sederhana itu akal budi manusia dapat melahirkan ide-ide majemuk tentang hal-hal yang tidak ditangkap pancaindra kita. Ide-ide majemuk diatas terlepas satu sama lain, tapi akan diolah lebih lanjut oleh akal budi manusia sehingga melahirkan keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan itu dicapai lewat suatu prinsip yang disebut Hume sebagai  hokum asosiasi. Hukum asosiasi ini terdiri dari tiga prinsip: (1) prinsip kemiripan: ide tentang suatu obyek cenderung melahirkan dalam akal budi kita obyek lainnya yang serupa atau mirip. Dengan prinsip ini kita mampu membuat klasifikasi: ide yang serupa atau murip dikelompokkan menjadi satu. (2) prinsip kontinuitas dalam tempat dan waktu: kecenderungan akal budi untuk mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa lainnya. Ingat PKI ingat Aidit, G 30 S, Soeharto. (3) Prinsip sebab-akibat: Ide yang satu memunculkan yang lain, ide yang satu menjadi sebab atau akibat dari ide lain. Di sini Hume mau mengatakan bahwa walaupun akal budi tidak memiliki ide bawaan tetapi ada kecenderungan bawaan untuk mengolah data-data yang diberikan pancaindra sesuai dengan ketiga prinsip di atas. Kecenderungan bawaan inilah yang memungkinkan kita untuk berpikir dan menalar, mengumpulkan ide-ide menjadi pemikiran atau proposisi. Hume juga menambahkan bahwa semua obyek akal budi manusia dibagi menjadi dua yaitu relasi ide-ide dan kenyataan. Yang termasuk dalam relasi ide-ide adalah ilmu ukur dan matematika atau ilmu pasti. Obyek-obyek ini diketahui secara intuitif dan demonstratif. Contoh: 3 x 5 = 15. Ini pasti cukup dengan akal budi, dan tidak perlu dibuat eksperimen atau melihat kenyataan. Kenyataan: adalah obyek kedua dari akal budi manusia, sulit dipastikan kebenarannya karena hal yang sebaliknya sangat mungkin terjadi.

 

b. Kebenaran dan ciri pandangan kaum empiris (Pengindra)

Stelah melihat ketiga pandangan di atas, maka kita dapat bertanya: apakah ada kebenaran dan kepastian di dalam pengetahuan indrawi? Apakah cirri pandangan kaum empiris? Ada beberapa catatan sekaligus kesimpulan tentang kebenaran dan cirri pandangan empiris: (1) persepsi atau proses pengindraan sampai pada tahap tertentu tidak dapat diragukan, bebas dari kemungkinan salah, karena kemungkinan salah tidak ada tempatnya pada apa yang disebut given, atau yang menurut Watloly (2001: 53) disebut kebenaran in itself atau kebenaran an sich: ada kesesuaian antara kesan-kesan dan kenyataan. Menurut Hume bahwa persepsi tak dapat diragukan. Yang keliru adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap pancaindra. Tidak ada keraguan tentang kebenaran lewat pancaindra, bahkan ekstrim bahwa satu-satunya kebenaran adalah lewat pengalaman. (2)  Pandangan Hume memperlihatkan bahwa empirisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu pengetahuan ttg dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia. Empirisme mengakui bahwa ada pengetahuan yang tidak diperoleh lewat pengalaman indrawi. (3) karena kaum empirisme lebih menekankan pengalaman, maka empirisme lebih menekankan metode induktif, yaitu cara kerja ilmu yang mendasarkan diri pada pengamatan, pada eksperimen untuk sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan. Oleh karena itu pengetahuan yang ditekankan adalah pengetahuan aposteriori.

 

3. Intuisi

Sumber pengetahuan lewat intuisi sangat kuat muncul dalam filsafat Timur baik filsafat Cina maupun dalam Budhisme India. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Menurut para filsuf Timur (Watloly, 2001: 45) pusat kepribadian manusia bukanlah inteleknya tetapi hatinya yang mempersatukan akal budi dan intuisi, inteligensi dan perasaan. Hati memiliki pertimbangan tersendiri, yang tak dapat diketahui akal budi karena berada di luar jangkauan rasional. Menurut mereka ada hal-hal yang perlu dibicarakan, tapi ada pula hal-hal yang hanya dapat dihargai dengan hati, karena makin banyak kata-kata (dibicarakan) makin jauhlah kita dari artinya dan kebenarannya. Pandangan Jainisme India (Watloly, 2001: 50)  mengatakan bahwa intuisi adalah tahap pengetahuan manusia yang paling sempurna, yang hanya bisa dirasakan dan dimiliki oleh orang yang jiwanya sudah mendapat kelepasan. Jenis pengetahuan langsung ini lebih luas dari pengetahuan indrawi, sebab ia dapat menembus segala seluk-beluk yang diketahuinya. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung tanpa bantuan dari luar, terjadi dalam suatu kejernian batin yang murni, dan dapat mengetahui hal yang belum terjadi atau hal yang telah terjadi di tempat yang jauh. Budhisme India mengemukakan juga bahwa untuk sampai pada pengetahuan intuitif langsung maka orang perlu menghindari unsur suka atau tidak suka, karena pengetahuan intuitif langsung yang tidak dirintangi unsur suka atau tidak suka akan melengkapi seseorang dengan pengertian yang mendalam tentang keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu. Pada tingkat yang biasa intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan (Jujun Suryasumantri, 2001: 52). Intuisi tidak bisa diandalkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, tapi boleh digunakan sebagai hipotesis dalam analasis selanjutnya untuk menentukan kebenarannya. Pengetahuan intuitif itu memang ada pada orang-orang given dan dapat di sandingkan dengan pengetahuan analitik untuk menemukan kebenaran. 

Kenali Kepribadianmu Dengan Big Five

✨ “Kenali Kepribadianmu dengan Big Five!” ✨ 🔹 1. Neurotisisme – Cemas & mudah gugup (Kebaikan) ↔ Tenang & percaya diri 🔹 2. Ekstra...