Pengetahuan Indrawi atau Pengetahuan Eksperimental (Fisafat)



Hakekat pengetahuan Indrawi

Alexisi Carrel, menyetujui kebenaran bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh lewat kemampuan indranya, namun selalu bersifat rasional. Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makluk biotik, namun tidak semua makluk biotik karena pohon tidak memilikinya. Daya indra menghubungkan manusia dengan hal-hal konkrit-material. Pengetahuan indra tersebut bersifat parsial, karena adanya perbedaan antar indra yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan indrawi itu berbeda-beda menurut perbedaan indra dan keterbatasan organ-organ indra tersebut. Contoh. Orang yang telinganya terganggu, matanya minus, penciuman yang kurang tajam dll. Pengetahuan indrawi hanya terletak pada permukaan kenyataan karena terbatas pada hal-hal indrawi scara individual.

John Locke (1632-1704) adalah seorang filsuf Inggris yang sangat terkenal dalam filsafat politik. Yang ingin kita lihat di sini adalah pendapatnya tentang filsafat pengetahuan. Yang menarik untuk diketahui dalam filsafat pengetahuan John Locke (Magnis-Suseno, 1992: 73) yaitu anggapan bahwa seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman. Locke menolak kaum rasionalis yang mengatakan bahwa manusia lahir dengan ide-ide bawaan, dengan prinsip-prinsip pertama yang mutlak dan umum. Menurut dia manusia dilahirkan ke bumi seperti sebuah kertas putih kosong, tanpa ada ide atau konsep apapun. Jiwa manusia seperti tabuka rasa.

Locke mengatakan bahwa semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia dan pengalaman itu diperoleh dari pancaindra atau refleksi atas apa yang diberikan pancaindra. Ia menambahkan bahwa akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi dari pancaindra, akal budi kita mirip dengan kerta putih yang belum ditulis apa-apa.

Selanjutnya Locke membedakan antara dua macam ide yaitu, ide-ide sederhana dan ide-ide kompleks. Ide sederhana adalah ide yang ditangkap melalui pancaindra ( penciuman, penglihatan, rabaan, dll). Pada waktu indra kita menangkap sesuatu obyek secara langsung dan spontan, muncullah ide-ide sederhana tentang obyek tersebut, seperti manis, pahit, besar, kecil, kasar, halus. Akal budi kita tidak menerima secara pasif ide-ide itu dari luar.

Ia mulai mengolah ide-ide itu dengan memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang diberikan pancaindra, sehingga dengan demikian lahirlah suatu reflseksi. Refleksi-refleksi inilah yang memungkinkan adanya ide-ide kompleks. Locke juga membedakan antara sifat atau kualitas primer dan sifat atau kualitas sekunder dari obyek di sekitar kita. Kualitas primer itu menyangkut berat, gerak, luas dan jumlah. Sedangkan kualitas sekunder menyangkut rasa, warna, panas, dingin dan semacamnya. Kualitas sekunder ini hanya mereproduksi sifat luar dari obyek saja. Karena itu kualitas sekunder tidak bisa sampai pada pengetahuan yang pasti, sebaliknya kualitas primer yang ditangkap pancaindra dapat membawa kita pada pengetahuan yang pasti, tak bisa diragukan dan bersifat universal.

Kualitas sekunder itu menghasilkan pendapat yang berbeda-beda, tetapi yang berhubungan dengan kualitas primer, semua orang akan memberikan pendapat yang sama. Locke menambahkan bahwa ide muncul karena akal budi melalui pencaindra menangkap suatu obyek, sebaliknya kualitas muncul karena obyek memproduksi dalam diri kita ide tertentu.

David Hume (1711-1776) juga salah satu tokoh empirisme yang mengatakan bahwa semua materi pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, namun ada sedikit perbedaan antara Hume dan Locke. Menurut Hume, pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal, masa depan, dan sebab, dan bahwa kepastian-kepastian ini merupakan bagian dari nalauri alamiah manusia, yang tidak dapat dihasilkan atau dicegah oleh akal budi manusia. Jadi melalui naluriah alamiah manusia, manusia dapat sampai pada kepastian-kepastian yang mememungkinkan pengetahuan manusia.

Hume membedakan dua proses mental yaitu, pertama: kesan (impresi) yang adalah pencerapan pancaindra yang lebih hidup dan langsung sifatnya. Yang kedua adalah ide yang kurang hidup yang kurang langsung sifatnya. Dari impresi muncul ide-ide sederhana berkaitan dengan obyek yang kita tangkap secara langsung dengan pancaindra. Lalu dari ide sederhana itu akal budi manusia dapat melahirkan ide-ide majemuk tentang hal-hal yang tidak ditangkap pancaindra kita. Ide-ide majemuk diatas terlepas satu sama lain, tapi akan diolah lebih lanjut oleh akal budi manusia sehingga melahirkan keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan itu dicapai lewat suatu prinsip yang disebut Hume sebagai hukum asosiasi.

Hukum asosiasi ini terdiri dari tiga prinsip: (1) prinsip kemiripan: ide tentang suatu obyek cenderung melahirkan dalam akal budi kita obyek lainnya yang serupa atau mirip. Dengan prinsip ini kita mampu membuat klasifikasi: ide yang serupa atau murip dikelompokkan menjadi satu. (2) prinsip kontinuitas dalam tempat dan waktu: kecenderungan akal budi untuk mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa lainnya. Ingat PKI ingat Aidit, G 30 S, Soeharto. (3) Prinsip sebab-akibat: Ide yang satu memunculkan yang lain, ide yang satu menjadi sebab atau akibat dari ide lain. Di sini Hume mau mengatakan bahwa walaupun akal budi tidak memiliki ide bawaan tetapi ada kecenderungan bawaan untuk mengolah data-data yang diberikan pancaindra sesuai dengan ketiga prinsip di atas. Kecenderungan bawaan inilah yang memungkinkan kita untuk berpikir dan menalar, mengumpulkan ide-ide menjadi pemikiran atau proposisi.

Hume juga menambahkan bahwa semua obyek akal budi manusia dibagi menjadi dua yaitu relasi ide-ide dan kenyataan. Yang termasuk dalam relasi ide-ide adalah ilmu ukur dan matematika atau ilmu pasti. Obyek-obyek ini diketahui secara intuitif dan demonstratif. Contoh: 3 x 5 = 15. Ini pasti cukup dengan akal budi, dan tidak perlu dibuat eksperimen atau melihat kenyataan. Kenyataan: adalah obyek kedua dari akal budi manusia, sulit dipastikan kebenarannya karena hal yang sebaliknya sangat mungkin terjadi.

Maka kita dapat bertanya: apakah ada kebenaran dan kepastian di dalam pengetahuan indrawi? Apakah ciri pandangan kaum empiris? Ada beberapa catatan sekaligus kesimpulan tentang kebenaran dan ciri pandangan empiris: (1) persepsi atau proses pengindraan sampai pada tahap tertentu tidak dapat diragukan, bebas dari kemungkinan salah, karena kemungkinan salah tidak ada tempatnya pada apa yang disebut given, atau yang menurut Watloly (2001: 53) disebut kebenaran in itself atau kebenaran an sich: ada kesesuaian antara kesan-kesan dan kenyataan.

Menurut Hume bahwa persepsi tak dapat diragukan. Yang keliru adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap pancaindra. Tidak ada keraguan tentang kebenaran lewat pancaindra, bahkan ekstrim bahwa satu-satunya kebenaran adalah lewat pengalaman. (2) Pandangan Hume memperlihatkan bahwa empirisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu pengetahuan tentang dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia.

Empirisme mengakui bahwa ada pengetahuan yang tidak diperoleh lewat pengalaman indrawi. (3) karena kaum empirisme lebih menekankan pengalaman, maka empirisme lebih menekankan metode induktif, yaitu cara kerja ilmu yang mendasarkan diri pada pengamatan, pada eksperimen untuk sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan. Oleh karena itu pengetahuan yang ditekankan adalah pengetahuan aposteriori.

2 comments:

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...