Proses Manajemen Stratejik (Tahap 2)






Menghadirkan Audit Eksternal dan Internal 

Manajer mendasarkan rencana stratejik mereka pada analisis situasi internal dan eksternal dengan metode tertentu. Hal mendasar dari rencana stratejik adalah memilih arah tindakan perusahaan yang masuk akal, berkaitan dengan kesempatan dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dan kekuatan serta kelemahan internal yang dimiliki. Untuk memfasilitasi audit internal dan eksternal, banyak manajer mulai melakukan SWOT analysis. Ini melibatkan penngunaan diagram SWOT.

Lebih jelasnya diagram SWOT , klik disini

Proses Manajemen Stratejik (Tahap 1)






Proses Manajemen Stratejik

Manajemen stratejik perusahaan terbagi menjadi beberapa tahap, pada segmen ini saya akan mencoba membahas tahap pertama yaitu :

Mendefinisikan Bisnis dan Misi 

Keputusan stratejik fundamental yang dihadapi oleh para manajer adalah : " Di mana kita sekarang berada berkaitan dengan bisnis kita, dan bisnis apa yang ingin kita masuki, apa kesempatan dan ancaman, dan kekuatan dan kelemahan perusahaan kita ?" Kemudian, para manajer memilih arahan tindakan stratejik seperti membeli perusahaan asing atau melakukan perluasan ke luar negeri, untuk meraih keberhasilan membawa perusahaan dari tempatnya saat ini menuju apa yang diinginkannya di kemudian hari.

Para ahli manajemen menggunakan istilah visi dan misi untuk membantu mendefinisikan bisnis perusahaan saat ini dan di masa depan. Visi cenderung lebih luas dan lebih berorientasi ke depan daripada misi. Visi perusahaan adalah "pernyataan umum tentang tujuan yang direncanakan, yang merupakan sumber perasaan emosional anggota organisasi."

Misi perusahaan lebih spesifik dan jangka pendek. Misi "tersedia untuk mengomunikasikan" siapa kita, apa yang kita lakukan dan dimana kita dapat memimpin.





Beberapa Kesalahan yang Tidak Ingin Dilakukan Manajer



Beberapa kesalahan yang tidak ingin dilakukan oleh manajer :
  • Mempekerjakan orang yang salah untuk pekerjaan tersebut
  • Mengalami proses pergantian yang tinggi 
  • Orang-orang yang anda andalkan tidak melakukan yang terbaik
  • Menghabiskan waktu untuk wawancara yang tidak berguna
  • Membuat perusahaan anda dituntut oleh pengadilan karena tindakan diskriminasi
  • Membuat perusahaan anda diawasi oleh pengawas undang-undang keamanan pekerjaan federal karena tidak memperhatikan keamanan 
  • Mengakibatkan sebagian karyawan berpikir bahwa gaji mereka tidak adil dan tidak sebanding dengan karyawan lainnya di dalam organisasi
  • Membiarkan kurangnya pelatihan mengakibatkan berkurangnya efektivitas divisi anda
  • Melakukan praktek pekerja yang tidak adil


 (Dessler, 2003)          


Tiga Macam Pengetahuan Dalam Metakognisi



Secara harfiah metakognisi berarti kognisi tentang kognisi – atau pengetahuan tentang pengetahuan (“cognition about cognition – or knowledge about knowledge”) Pengetahuan tersebut digunakan untuk memonitor dan mengatur proses kognisi yaitu: penalaran, pemahaman, pemecahan masalah, pembelajaran dan lain sebagainya.

Metakognisi meliputi tiga macam pengetahuan, yaitu:
  1. Pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan “yang dapat dinyatakan, biasanya secara verbal”, melalui ceramah, buku, tulisan, pertukaran kata-kata, braille, bahasa sandi, notasi matematika dan sebagainya.
  2. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan “mengenai cara melakukan sesuatu”, seperti membagi pecahan atau membersihkan karburator. Pengetahuan prosedural harus didemonstrasikan.
  3. Pengetahuan kondisional adalah pengetahuan “mengenai mengapa dan kapan”, melakukan pengetahuan deklaratif ataupun prosedural (Schraw & Markman, 1993, dalam Woolfolk, 1998: 267).
Pengetahuan metakognisi digunakan untuk mengatur kegiatan berpikir dan belajar (Brown, 1987, Nelson, 1996, dalam Woolfolk, 1998: 267).

Metakognisi





Menurut Baker dan Brown (1984 dalam Hamilton & Ghatala, 1994: 132), ada dua macam tipe metakognisi, yaitu:
  1. Pengetahuan tentang kognisi (knowledge about cognition)
  2. Pengaturan kognisi (regulation of cognition)
Pengetahuan tentang kognisi meliputi pengetahuan seseorang tentang sumber daya (resources) kognisinya sendiri, dan kesesuaian antara karakter pribadi seseorang pembelajar dengan situasi belajar. Baker dan Brown berpendapat bahwa pengetahuan tentang kognisi bersifat stabil sepanjang waktu. Pengetahuan tentang kognisi merupakan suatu bentuk pengetahuan deklaratif. Baker dan Brown juga berpendapat bahwa pengetahuan kognisi seseorang berkembang terlambat dibandingkan usianya, dan menjadi lebih sempurna pada usia yang lebih tua (Baker & Brown, 1984: 354 dalam Hamilton & Ghatala, 1994: 132).

Sedang pengaturan kognisi merupakan mekanisme pengaturan diri yang digunakan oleh siswa yang aktif selama memecahkan masalah. Pengaturan kognisi meliputi aktivitas mengecek hasil dari setiap usaha memecahkan masalah, merencanakan aktivitas berikutnya, memonitor efektivitas dari setiap usaha dengan melakukan pengetesan, melakukan perbaikan dan evaluasi dari strategi belajar siswa (Baker & Brown, 1984: 354 dalam Hamilton & Ghatala, 1994: 132). Pengaturan kognisi bersifat tidak stabil, karena siswa mungkin menggunakannya dalam beberapa kesempatan tetapi tidak dalam kesempatan lain. Pengaturan kognisi merupakan bentuk pengetahuan prosedural. Walaupun pengaturan kognisi lebih sering digunakan oleh anak yang lebih tua atau orang dewasa, tetapi anak muda dapat mengatur aktivitasnya sendiri pada masalah yang sederhana.

Donald Miechenbaum dan koleganya menguraikan metakognisi sebagai ”kesadaran seseorang tentang proses kognisi mereka sendiri dan bagaimana proses itu bekerja” (“awarness of their own cognitive machinery and how the machinery works”) (Miechenbaum dkk, 1985: 5 dalam Woolfolk, 1998: 267). Secara harfiah metakognisi berarti kognisi tentang kognisi – atau pengetahuan tentang pengetahuan (“cognition about cognition – or knowledge about knowledge”) Pengetahuan tersebut digunakan untuk memonitor dan mengatur proses kognisi yaitu: penalaran, pemahaman, pemecahan masalah, pembelajaran dan lain sebagainya.

Pemrosesan Informasi



Dalam pemrosesan informasi, dijelaskan oleh Howard (1983) dan Atkinson & Shiffrin (dalam Berk, 1989, dalam Djiwatampu, 1993) bahwa pemrosesan informasi terdiri 3 subsistem yaitu
  1. register sensorik (sensory registers), 
  2. memori yang bekerja (working memory) atau memori jangka pendek (short-term memory) dan 
  3. memori jangka panjang (long-term memory). 
Fungsi register sensorik adalah menyimpan informasi walaupun dengan durasi waktu yang sangat singkat. Fungsi memori yang bekerja adalah menyimpan informasi dalam waktu yang lebih lama; terutama bila dilakukan latihan (rehearsal), maka informasi tidak mudah dilupakan. Penyimpanan informasi tidak dalam bentuk aslinya, tetapi dengan pengkodean (coding).

Memori jangka panjang berfungsi menyimpan informasi secara permanen (tetap), dan fungsi paling pentingnya adalah melakukan semantik (semantic) atau pemberian makna terhadap suatu memori. Di samping itu juga memori jangka panjang berfungsi melakukan pengkodean (coding) dan berfungsi sebagai prosedur (procedures) atau proses kontrol.

Fungsi sebagai prosedur ini dapat disamakan dengan komputer. Komputer tidak hanya berfungsi menyimpan data tetapi juga sebagai program memanipulasi data sehingga memori jangka panjang mampu memecahkan masalah dalam berbagai bidang. Atau dengan kata lain melakukan proses kontrol (control processes) yang dapat dianalogikan dengan program komputer yang mengontrol alur informasi sehingga informasi disimpan dalam memori jangka panjang, dan dapat digunakan bila diperlukan.

Memori jangka panjang juga merupakan strategi memecahkan masalah, mengingat kembali (recalling), memahami dan menghasilkan bahasa. Dalam pemrosesan informasi ini ada fungsi yang lain lagi yang disebut pengenalan pola (pattern recognation) yang intinya berfungsi melakukan identifikasi susunan stimulus sensorik yang kompleks.

Hukum Sebab-Akibat


Ilmu pengetahun pada dasarnya bertujuan untuk mengkasj hubungan khusus antara peristiwa tertentu dengan peristiwa lainnya. Ilmu pengetahuan ilmiah bertujuan untuk menjelaskan berbagai peristiwa atau fenomena alam. Yang mau dijelaskan adalah
  • apakah ada kaitan antara peristiwa yang satu denga peristiwa yang lain? Mungkin nampak peristiwa-peristiwa berdiri sendiri-sendiri, namun sebenarnya punya kaitannya. 
  • Di sini dijelaskan: apa hubungan atau kaitan tersebut? Contoh: buku jatu dan bunyi hentakan yang mengagetkan, besi berkarat dan udara lembab, air mendidi dan lilin yang mencair. Setelah diteliti dengan saksama, maka ada kaitan erat antara keduanya. 
Kalau peristiwa yang satu terjadi pasti peristiwa lain pun terjadi. Atau kalau peristiwa itu terjadi, maka peristiwa yang lain pasti sudah lebih dulu terjadi. Hubungan antar peristiwa satu yang menyebabkan peristiwa lain di sebut hubungan sebab-akibat.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan sebenarnya meneliti hubungan sebab akibat yang terjadi dalam alam semesta ini atau dalam diri manusia. Hubungan ini punya sifat pasti karena kalau peristiwa tertentu itu terjadi pasti yang lain akan menyusul. Dan dalam ilmu pengetahuan hubungan ini disebut sebagai hukum. Jadi, mengkaji hubungan sebab akibat antara berbagai peristiwa disebut juga mengkaji hukum ilmiah.

Teori Kebenaran Sebagai Persesuaian (filsafat)



Teori kebenaran

Banyak orang mempertanyakan hakekat kebenaran dari setiap pengetahuan, apa itu kebenaran sesungguhnya. Ada berbagai macam teori tentang kebenaran. Dalam sejarah filsafat paling kurang ada empat teori besar yang berbicara mengenai kebenaran (Keraf cs. 2001: 65). Keempat teori itu antara lain: teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth), (b) teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth), (c) teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth), (d) teori permormatif tentang kebenaran (the performative theory of truth). Disini akan dibahas satu persatu, pertama adalah teori kebenaran sebagai persesuaian.

Teori kebenaran sebagai persesuaian

Teori ini muncul sudah sejak masa purba dalam pandangan Herakleitos, diteruskan oleh Aristoteles dan muncul dalam bentuk yang agak sedang dalam pandangan Thomas Aquinas, yang selanjutnya didukung oleh para ilmuan dan filsuf Inggris hingga masa pencerahan budi. Aristoteles melawan pemikiran Plato yang menganggap hal yang ada sebagai yang tidak ada dan hal yang tidak ada sebagai yang ada. Sebaliknya mengatakan yang benar adalah hal yang ada sebagai yang ada dan yang tidak ada sebagai yang tidak ada.

Dengan pernyataan ini sebenarnya Aristoteles telah meletakkan dasar bagi teori kebenaran persesuaian yang mengatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu dapat dibuktikan dalam kenyataan, atau kalau pernyataan itu ada dalam realitas hidup harian manusia atau ada dalam dunia nyata. Kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar atau salah ditentukan oleh kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau juga bisa kita katakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara subyek dan obyek, keseseuaian antara apa yang dikatakan subyek dan realitas yang ada pada obyek.

Model kebenaran di atas dapat juga disebut kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan, preposisi dan teori ditentukan oleh fakta. Contoh: “Api itu panas” adalah pernyataan yang benar karena kenyataan membuktikan bahwa api itu panas. Demonstrasi mahasiswa yang berlangsung terus akhir-akhir ini didalangi pihak ketiga. Pernyataan ini benar kalau kenyataannya memang demikian. Jadi, apa yang diketahui subyek sebagai yang benar harus sesuai dan cocok dengan obyek. Inti teori ini bahwa suatu konsep, ide atau pun teori yang benar, harus mengungkapkan realitas yang sebenarnya.

Dengan demikian, mengungkapkan realitas adalah pokok bagi kegiatan ilmiah. Teori ini mengungkapkan beberapa hal yang perlu kita angkat (Sony Keraf Cs. 2001: 67), (1) teori ini nampak sangat menekankan aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Karena itu pula sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris guna mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Konsekuensinya bahwa teori ini juga lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori yaitu pengetahuan yang hanya terungkap lewat pengalaman dan percobaan empiris. (2) teori ini juga cenderung menegaskan dualisme antara subyek dan obyek, antara si pengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak dualistis teori ini lalu menekankan pentingnya obyek bagi kebenaran pengetahuan manusia.

Ekstrimnya teori ini berpendapat, yang paling berperan dalam menentukan kebenaran pengetahuan manusia adalah obyek, sedang subyek dalam hal ini akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan obyek. (3) teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan. Dan bukti ini bukanlah apriori, konstruksi, dan hasil imajinasi akal budi, tapi diberikan dari obyek yang ditangkap lewat pancaindra manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya kalau apa yang dinyatakan dalam proposisi sesuai atau ditunjang oleh kenyataan. Persoalan yang muncul bahwa semua pernyataan atau proposisi yang tidak terbukti dengan fakta atau atayu yang tidak ditangkap dengan pancaindra tidak diterima sebagai kebenaran.

Contohnya, adanya Tuhan, tidak dianggap sebagai suatu kebenaran, karena tidak ada bukti. Karena tidak ada bukti maka tidak dianggap sebagai suatu pengetahuan. Contoh lain, Indonesia adalah negara demokrasi, tidak dianggap sebagai kebenaran karena antara proposisi ini tidak diterima sebagai kebenaran karena tidak adanya fakta dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dua contoh di atas hanya merupakan suatu keyakinan atau idiologi, karena suatu keyakinan tidak selamanya harus dibuktikan dalam kenyataan. Tuhan Itu Ada Dan Buktinya Kitab Yang Sudah Diturunkannya Firman ALLAH

Intuisi (Intuition)


Intuisi

Sumber pengetahuan lewat intuisi sangat kuat muncul dalam filsafat Timur baik filsafat Cina maupun dalam Budhisme India. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Menurut para filsuf Timur (Watloly, 2001: 45) pusat kepribadian manusia bukanlah inteleknya tetapi hatinya yang mempersatukan akal budi dan intuisi, inteligensi dan perasaan.

Hati memiliki pertimbangan tersendiri, yang tak dapat diketahui akal budi karena berada di luar jangkauan rasional. Menurut mereka ada hal-hal yang perlu dibicarakan, tapi ada pula hal-hal yang hanya dapat dihargai dengan hati, karena makin banyak kata-kata (dibicarakan) makin jauhlah kita dari artinya dan kebenarannya. Pandangan Jainisme India (Watloly, 2001: 50) mengatakan bahwa intuisi adalah tahap pengetahuan manusia yang paling sempurna, yang hanya bisa dirasakan dan dimiliki oleh orang yang jiwanya sudah mendapat kelepasan.

Jenis pengetahuan langsung ini lebih luas dari pengetahuan indrawi, sebab ia dapat menembus segala seluk-beluk yang diketahuinya. Pengetahuan ini diperoleh secara langsung tanpa bantuan dari luar, terjadi dalam suatu kejernian batin yang murni, dan dapat mengetahui hal yang belum terjadi atau hal yang telah terjadi di tempat yang jauh. Budhisme India mengemukakan juga bahwa untuk sampai pada pengetahuan intuitif langsung maka orang perlu menghindari unsur suka atau tidak suka, karena pengetahuan intuitif langsung yang tidak dirintangi unsur suka atau tidak suka akan melengkapi seseorang dengan pengertian yang mendalam tentang keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu.

Pada tingkat yang biasa intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan (Jujun Suryasumantri, 2001: 52). Intuisi tidak bisa diandalkan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, tapi boleh digunakan sebagai hipotesis dalam analasis selanjutnya untuk menentukan kebenarannya. Pengetahuan intuitif itu memang ada pada orang-orang given dan dapat di sandingkan dengan pengetahuan analitik untuk menemukan kebenaran.

Pengetahuan Indrawi atau Pengetahuan Eksperimental (Fisafat)



Hakekat pengetahuan Indrawi

Alexisi Carrel, menyetujui kebenaran bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh lewat kemampuan indranya, namun selalu bersifat rasional. Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makluk biotik, namun tidak semua makluk biotik karena pohon tidak memilikinya. Daya indra menghubungkan manusia dengan hal-hal konkrit-material. Pengetahuan indra tersebut bersifat parsial, karena adanya perbedaan antar indra yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan indrawi itu berbeda-beda menurut perbedaan indra dan keterbatasan organ-organ indra tersebut. Contoh. Orang yang telinganya terganggu, matanya minus, penciuman yang kurang tajam dll. Pengetahuan indrawi hanya terletak pada permukaan kenyataan karena terbatas pada hal-hal indrawi scara individual.

John Locke (1632-1704) adalah seorang filsuf Inggris yang sangat terkenal dalam filsafat politik. Yang ingin kita lihat di sini adalah pendapatnya tentang filsafat pengetahuan. Yang menarik untuk diketahui dalam filsafat pengetahuan John Locke (Magnis-Suseno, 1992: 73) yaitu anggapan bahwa seluruh pengetahuan kita berasal dari pengalaman. Locke menolak kaum rasionalis yang mengatakan bahwa manusia lahir dengan ide-ide bawaan, dengan prinsip-prinsip pertama yang mutlak dan umum. Menurut dia manusia dilahirkan ke bumi seperti sebuah kertas putih kosong, tanpa ada ide atau konsep apapun. Jiwa manusia seperti tabuka rasa.

Locke mengatakan bahwa semua konsep atau ide yang mengungkapkan pengetahuan manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia dan pengalaman itu diperoleh dari pancaindra atau refleksi atas apa yang diberikan pancaindra. Ia menambahkan bahwa akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi dari pancaindra, akal budi kita mirip dengan kerta putih yang belum ditulis apa-apa.

Selanjutnya Locke membedakan antara dua macam ide yaitu, ide-ide sederhana dan ide-ide kompleks. Ide sederhana adalah ide yang ditangkap melalui pancaindra ( penciuman, penglihatan, rabaan, dll). Pada waktu indra kita menangkap sesuatu obyek secara langsung dan spontan, muncullah ide-ide sederhana tentang obyek tersebut, seperti manis, pahit, besar, kecil, kasar, halus. Akal budi kita tidak menerima secara pasif ide-ide itu dari luar.

Ia mulai mengolah ide-ide itu dengan memikirkan, meragukan, mempertanyakan, menggolongkan, dan mengolah apa yang diberikan pancaindra, sehingga dengan demikian lahirlah suatu reflseksi. Refleksi-refleksi inilah yang memungkinkan adanya ide-ide kompleks. Locke juga membedakan antara sifat atau kualitas primer dan sifat atau kualitas sekunder dari obyek di sekitar kita. Kualitas primer itu menyangkut berat, gerak, luas dan jumlah. Sedangkan kualitas sekunder menyangkut rasa, warna, panas, dingin dan semacamnya. Kualitas sekunder ini hanya mereproduksi sifat luar dari obyek saja. Karena itu kualitas sekunder tidak bisa sampai pada pengetahuan yang pasti, sebaliknya kualitas primer yang ditangkap pancaindra dapat membawa kita pada pengetahuan yang pasti, tak bisa diragukan dan bersifat universal.

Kualitas sekunder itu menghasilkan pendapat yang berbeda-beda, tetapi yang berhubungan dengan kualitas primer, semua orang akan memberikan pendapat yang sama. Locke menambahkan bahwa ide muncul karena akal budi melalui pencaindra menangkap suatu obyek, sebaliknya kualitas muncul karena obyek memproduksi dalam diri kita ide tertentu.

David Hume (1711-1776) juga salah satu tokoh empirisme yang mengatakan bahwa semua materi pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, namun ada sedikit perbedaan antara Hume dan Locke. Menurut Hume, pemahaman manusia dipengaruhi oleh sejumlah kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal, masa depan, dan sebab, dan bahwa kepastian-kepastian ini merupakan bagian dari nalauri alamiah manusia, yang tidak dapat dihasilkan atau dicegah oleh akal budi manusia. Jadi melalui naluriah alamiah manusia, manusia dapat sampai pada kepastian-kepastian yang mememungkinkan pengetahuan manusia.

Hume membedakan dua proses mental yaitu, pertama: kesan (impresi) yang adalah pencerapan pancaindra yang lebih hidup dan langsung sifatnya. Yang kedua adalah ide yang kurang hidup yang kurang langsung sifatnya. Dari impresi muncul ide-ide sederhana berkaitan dengan obyek yang kita tangkap secara langsung dengan pancaindra. Lalu dari ide sederhana itu akal budi manusia dapat melahirkan ide-ide majemuk tentang hal-hal yang tidak ditangkap pancaindra kita. Ide-ide majemuk diatas terlepas satu sama lain, tapi akan diolah lebih lanjut oleh akal budi manusia sehingga melahirkan keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan itu dicapai lewat suatu prinsip yang disebut Hume sebagai hukum asosiasi.

Hukum asosiasi ini terdiri dari tiga prinsip: (1) prinsip kemiripan: ide tentang suatu obyek cenderung melahirkan dalam akal budi kita obyek lainnya yang serupa atau mirip. Dengan prinsip ini kita mampu membuat klasifikasi: ide yang serupa atau murip dikelompokkan menjadi satu. (2) prinsip kontinuitas dalam tempat dan waktu: kecenderungan akal budi untuk mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa lainnya. Ingat PKI ingat Aidit, G 30 S, Soeharto. (3) Prinsip sebab-akibat: Ide yang satu memunculkan yang lain, ide yang satu menjadi sebab atau akibat dari ide lain. Di sini Hume mau mengatakan bahwa walaupun akal budi tidak memiliki ide bawaan tetapi ada kecenderungan bawaan untuk mengolah data-data yang diberikan pancaindra sesuai dengan ketiga prinsip di atas. Kecenderungan bawaan inilah yang memungkinkan kita untuk berpikir dan menalar, mengumpulkan ide-ide menjadi pemikiran atau proposisi.

Hume juga menambahkan bahwa semua obyek akal budi manusia dibagi menjadi dua yaitu relasi ide-ide dan kenyataan. Yang termasuk dalam relasi ide-ide adalah ilmu ukur dan matematika atau ilmu pasti. Obyek-obyek ini diketahui secara intuitif dan demonstratif. Contoh: 3 x 5 = 15. Ini pasti cukup dengan akal budi, dan tidak perlu dibuat eksperimen atau melihat kenyataan. Kenyataan: adalah obyek kedua dari akal budi manusia, sulit dipastikan kebenarannya karena hal yang sebaliknya sangat mungkin terjadi.

Maka kita dapat bertanya: apakah ada kebenaran dan kepastian di dalam pengetahuan indrawi? Apakah ciri pandangan kaum empiris? Ada beberapa catatan sekaligus kesimpulan tentang kebenaran dan ciri pandangan empiris: (1) persepsi atau proses pengindraan sampai pada tahap tertentu tidak dapat diragukan, bebas dari kemungkinan salah, karena kemungkinan salah tidak ada tempatnya pada apa yang disebut given, atau yang menurut Watloly (2001: 53) disebut kebenaran in itself atau kebenaran an sich: ada kesesuaian antara kesan-kesan dan kenyataan.

Menurut Hume bahwa persepsi tak dapat diragukan. Yang keliru adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan apa yang ditangkap pancaindra. Tidak ada keraguan tentang kebenaran lewat pancaindra, bahkan ekstrim bahwa satu-satunya kebenaran adalah lewat pengalaman. (2) Pandangan Hume memperlihatkan bahwa empirisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan empiris, yaitu pengetahuan tentang dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia.

Empirisme mengakui bahwa ada pengetahuan yang tidak diperoleh lewat pengalaman indrawi. (3) karena kaum empirisme lebih menekankan pengalaman, maka empirisme lebih menekankan metode induktif, yaitu cara kerja ilmu yang mendasarkan diri pada pengamatan, pada eksperimen untuk sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan. Oleh karena itu pengetahuan yang ditekankan adalah pengetahuan aposteriori.

Rene Descartes (Filsuf)


Rene Descartes

Descartes adalah seorang ahli matematika, ahli ilmu faal, Filsuf berkebangsaan Perancis yang hidup dari tahun 1596 hingga 1650. Descartes meneruskan sikap kaum skeptis dalam pandangannya mengenai pemahaman rasional. Ia setuju dan menganggap serius anggapan kaum skeptis bahwa kita perlu meragukan semua keyakinan kita, dan ia menganggap bahwa pandangan kaum skeptis adalah pandangan yang tepat.

Sasaran utama pandangan Descartes adalah bagaimana supaya kita bisa sampai pada pengetahuan yang benar dan pasti. Menurut dia bahwa kita perlu meragukan segala sesuatu sebelum sampai pada ide yang jelas dan pasti. Kita perlu meragukan untuk sementara apa yang belum dilihat dengan terang akal budi sebagai sesuatu yang benar dan pasti. Kita perlu meragukan segala sesuatu sampai kita menemukan ide yang jelas dan tepat.

Descartes menghendaki agar kita tetap meragukan untuk sementara waktu apa saja yang tidak bisa dilihat dengan terang akal budi sebagai yang pasti benar dan tidak diragukan lagi. Keraguan ini disebut sebagai keraguan metodis, yang berfungsi sebagai alat untuk menyingkirkan semua prasangka, tebakan dan dugaan yang menipu sehingga kita tidak sampai pada pengetahuan yang benar-benar punya dasar yang kuat. Selanjutnya Descartes mengatakan bahwa hanya akal budi yang membuktikan bahwa ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui. Descartes meragukan segala kebenaran yang diperoleh lewat pancaindra. Ia menganggap bahwa salah satu hal yang menipu dan mengahalangi kita untuk sampai pada pengetahuan sejati adalah pengalaman indrawi kita. Contoh: kita melihat botol yang berisi air putih sebagai botol kosong, benda-benda luar angkasa sebagai suatu benda kecil, bahkan jika kita sedang menulis buku pun diragukan, jangan-jangan itu sebagai mimpi belaka. Jangan-jangan ada setan jenius yang menipunya bahwa ada bumi, ada langit, ada obyek-obyek di luar dirinya, ada bentuk ada tempat dan seterusnya.

Menurut Descartes semakin jelas suatu ide dalam akal budi, maka semakin ide tersebut sesuai dengan realitas. Bukan sebaliknya ide itu benar bila semakin sesuai dengan realitas. Descartes terkesan dengan metode deduksi akal budi dari matematika dan ilmu ukur yang mencapai kebenaran tak terbantahkan, dan tak bisa diragukan. Karena itu ia berpendapat bahwa untuk pada pengetahuan yang benar tak terbantahkan dan tak diragukan maka perlu mengandalkan kemampuan akal budi. Kita perlu meragukan pengetahaun yang diperoleh dengan pancaindra hanya hanya pengetahuan lewat akal budi yang bisa memberikan kita kepastian.

Metode Descartes untuk mencapai kebenaran adalah meragukan segala pengetahuan lewat indra, sambil menyingkirkan yang diragukan kita terus mencari hingga menemukan pengetahuan yang benar dan tak bisa diragukan lagi. Keraguan itu penting supaya kita bisa sampai pada suatu pengetahuan yang benar, termasuk pengalaman kita masing-masing. Semua itu kita lakukan dengan akal budi, dengan berpikir. Diktum Descartes yang tekenal adalah Cogito Ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Berpikir merupakan kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan yang sekaligus menjadi landasan pemikiran dan pengetahuan manusia. Di sini Descartes menegaskan bahwa berpikir, akal budi adalah unsur pokok dari manusia sekaligus bagi pengetahuannya. Karena berpikir, akal budi adalah hal yang paling pokok bagi manusia, maka apa yang lolos dari seleksi akal budi manusia pasti benar tak terbantahkan.

(PERHATIAN SESUDAH MEMBACA INI JANGAN MEMBUAT IMAN ANDA GOYAH)



Plato (filsuf)



Plato 


Plato adalah seorang filsuf dan pengarang Yunani terkenal. Ia lahir pada tahun 427 S.M. dan meninggal pada tahun 347 S.M. Ia mendapat pendidikan biasa sebagai seorang remaja Atena. Ia berasal dari keluarga baik-baik dibidang musik, sastra dan olahraga senam. Ketika kurang lebih berusia 20 tahun, ia menjadi murid Socrates dan tinggal pada gurunya sampai ia berusia 28 tahun. Setelah kematian Sokrates, Plato meninggalkan Atena untuk belajar bersama-sama dengan Euclid, dan bepergian secara ekstensif ke Mesir, Italia, dan Sisilia.

 Segera setelah ia pulang, ia mendirikan akademinya yang termasyur di kebunnya sendiri di Atena, dan mengajar di situ selama 40 tahun dengan metode diskusi, dan percakapan. Beberapa orang muridnya menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan terkenal dengan caranya sendiri-sendiri, termasuk Aristoteles, Demosthenes dan Lycurgus. Karya-karya plato yang diterbitkan diantaranya Dialogues, The Republic, Lows, Phaedris, Symposium, Gorgias, dan Phaedo.

Plato dianggap sebagai rasionalis pertama, karena rasionalisme muncul pertama kali dalam pemikiran-pemikiran Plato. Plato mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan dan tak berubah adalah episteme yaitu pengetahuan tunggal dan tak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Yang ditangkap dan diserap pancaindra hanyalah tiruan ide-ide abadi yang cacat, dan karena yang diserap pancaindra itu tiruan, tidak nyata dan tidak sempurna. Dunia fana merupakan bayangan dari ide yang abadi, dan bayangan itu banyak dan bermacam-macam. Bila manusia melihat bayangan itu, ia ingat akan ide abadi. Jadi, pengetahuan menurut Plato adalah hasil ingatan yang melekat erat pada manusia.

Di sini Plato mendefinisikan pengetahuan sebagai pengenalan kembali akan hal-hal yang sudah diketahui dalam ide abadi, juga sebagai kumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia. Jadi, untuk mengetahui sesuatu, untuk menyelidiki sesuatu dan untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita cukup mengandalkan akal budi yang telah mengenal ide abadi.

Selanjutnya plato ( Lavine, 1982: 36) mengatakan bahwa obyek dari pemahaman rasional atau intelek adalah adalah konsep-konsep kebenaran yang berlawanan dengan obyek kepercayaan. Ia juga membedakan antara obyek persepsi (pengindra) dan obyek pemahaman intelek yakni bahwa obyek pamahaman perseptif adalah hal-hal konkrit, particular, yang masih berubah, hal-hal yang selalu dalam proses menjadi. Sebaliknya obyek pemahaman intelek adalah hal-hal abstrak, konsep-konsep umum dan universal, hal-hal yang tak berubah, dan yang abadi.

Pengetahuan Rasionalisme atau Pengetahuan Intelektif


Pengetahuan Rasionalisme atau pengetahuan intelektif

Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan yang tidak mungkin salah ( Keraf, 2001 : 43). Menurut pandangan ini bahwa sumber satu-satunya pengetahuan adalah akal budi. Mereka menolak pandangan yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh lewat pengalaman indrawi.

Pengetahuan Rasionlisme disebut juga pengetahuan intelektif (Watloly, 2001: 144). Istilah intelektif diambil dari kata intelektual, yang berasal dari bahasa Latin: intelektus berarti “dalam pikiran” atau dalam akal. Dalam konteks ini pengetahuan intelektif berarti pengetahuan yang diperoleh dalam proses pikiran atau akal yang mendalam.

Pengetahuan yang dicapai lewat rasio, atau intelegensi yang merupakan khas kemampuan manusia dibandingkan dengan makluk hidup lainnya. Selain istilah di atas, ada juga istilah inteligensi yang diambil dari kata latin intellectus dan kata kerja intellegere. Kata intellegere terdiri dari kata intus artinya dalam pikiran atau akal, dan kata legere yang berarti membaca atau menangkap.

Dengan demikian kata intellegere berarti membaca dalam pikiran atau akal segala hal dan menangkap artinya yang dalam. Menjadi intelegen berarti mampu menangkap apa yang esensial dari suatu gejala, melihat apa yang hakiki dari kegiatan ini atau itu. Selnjutnya pada materi yang mendatang kita akan melihat beberapa pandangan mengenai aliran rasionalisme.

Job Satisfaction and Customer Satisfaction


Job Satisfaction and Customer Satisfaction
  • Satisfied employees increase customer satisfaction because:
  1. They are more friendly, upbeat, and responsive. 
  2. They are less likely to turnover which helps build long-term customer relationships. 
  3. They are experienced.
  • Dissatisfied customers increase employee job dissatisfaction.

How Employees Can Express Dissatisfaction


How Employees Can Express Dissatisfaction 
  • Voice
Active and constructive attempts to improve conditions.
  • Loyalty 
Passively waiting for conditions to improve.
  • Neglect 
Allowing conditions to worsen.
  • Exit 
Behavior directed toward leaving the organization.

Struktur Organisasi



STRUKTUR ORGANISASI

Cushway & Lodge (1995): Struktur organisasi adalah kerangka kerja yang menjelaskan bagaimana sumber-sumber daya dan alur-alur komunikasi serta pembuatan keputusan dialokasikan dan ditangani.

Ini biasanya ditunjukkan dengan garis-garis pada bagan organisasi, dan biasa disebut “organigram” atau “pohon keluarga”. Garis-garis yang menggambarkan struktur tersebut merupakan gambaran resmi saluran-saluran komunikasi dan komando (tidak selalu menunjukkan yang sebenarnya).

Maksud utama struktur organisasi adalah untuk memastikan bahwa organisasi dirancang dengan cara yang paling baik untuk mencapai sasaran-sasaran dan tujuan-tujuannya.

Robbins (1998): Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasi secara formal.

TUJUAN STRUKTUR ORGANISASI :
  • Menunjang strategi organisasi
  • Mengorganisasikan sumber daya dengan cara yang paling efisien dan efektif 
  • Mengadakan persiapan pembagian tugas dan pertanggungjawaban yang efektif antara perorangan dan kelompok, khususnya bila organisasi menjadi besar dan rumit. 
  • Memastikan koordinasi kegiatan organisasi yang efektif dan menggambarkan proses pembuatan keputusan 
  • Mengembangkan dan menggambarkan garis-garis komunikasi 
  • Memungkinkan peninjauan dan pemantauan kegiatan-kegiatan organisasi secara efektif 
  • Menyediakan mekanisme untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pasar, produk, dan keadaan lingkungan internal dan eksternal 
  • Memberikan sarana penanganan keadaan genting dan masalah 
  • Membantu memotivasi, mengatur, dan memberikan kepuasan kerja kepada setiap anggota organisasi
  • Mempersiapkan penggantian manajemen (suksesi)

Dark Psychology (Narsissism)

Orang narsisis dikategorikan sebagai orang yang memiliki gambaran berlebihan tentang dirinya dan sering kecanduan berfantasi tentang dirinya...